Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

6. Rusman: Raden Sekartanjung, Adipati Tuban yang Terbunuh

12 September 2018   23:41 Diperbarui: 1 Maret 2019   14:58 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Di sekitar tahun 1625 M tersebutlah seorang adipati muda yang memimpin Kadipaten Tuban. Beliau adalah Raden Sekartanjung putra Balewot yang termasuk juga trah Ranggalawe. Jika dihitung dari Adipati Wilatikta (ayah Sunan Kalijaga) Raden Sekartanjung termasuk keturunan yang ke-5.

Sang adipati memiliki seorang adik yang bernama Raden Ngangsar putra Balewot yang konon memiliki jiwa lebih dinamis. Banyak ide yang dia kemukakan kepada kakandanya, namun sang kakak sering menganggapnya sebagai hal yang sulit diwujudkan.

Konon Raden Ngangsar senang menimba ilmu dari berbagai penjuru. Dia memiliki banyak teman dari berbagai kalangan dan akibatnya banyak dikenal di mana-mana.

Sedangkan kakanda adipati lebih senang mengurai ilmu di dalam lingkungan istana sendiri, beliau hanya memperdalam berbagai ajaran kanuragan dari sang ayah, yaitu mendiang Raden Balewot.

"Apa yang diajarkan ayahanda itu saja, jika kita dalami sungguh-sungguh akan sangat berguna," begitu dia sering menasehati adiknya.

Suatu saat seperti yang biasa beliau lakukan, Adipati Sekartanjung melaksanakan tetirah ke wilayah timur. Melihat-lihat suasana sebelah timur yang kebetulan di situ juga ada makam leluhur, ialah makam agung Syeh Asmara Kandhi. Maka sambil pulang dari nganglang, beliau mengajak para pengawal untuk berziarah sebentar ke makam leluhur tersebut.

Tetapi tanpa disangka dalam perjalanan pulang saat melewati muara sungai Kradenan, beliau dan rombongan telah dihadang oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai orang dekat Raden Ngangsar. Terkesiap hati sang adipati mendengar pengakuan mereka.

"Kalau kalian mengaku sebagai teman adinda Ngangsar, mengapa kalian bersikap kasar kepada kami?" Tanya Adipati Tuban itu.

"Kami hanya ingin berdamai dengan tuan, caranya adalah agar tuan berkenan memberi kesempatan tuan Ngangsar untuk menggantikan memimpin Tuban."

"He, jangan menggigau kalian !" berkata para pengawal Tuban.

"Sebentar kakang, biarlah aku yang menjelaskan," berkata sang adipati kepada para pengawalnya, "maaf paman, boleh aku tahu siapakah sebenarnya paman ini?"

Lelaki yang dipanggil paman itu tersenyum sinis, lalu jawabnya: "kalau tuan adipati ingin tahu, namaku adalah Ki Ajar Talun. Ketahuilah pula bahwa aku adalah paman guru dari adindamu raden Ngangsar."

"Oh, benarkah?" Tanya Raden Sekartanjung setengah tak percaya, "seingatku Dinda Ngangsar belum pernah bercerita bahwa dia memiliki pembimbing selain ramanda Balewot."

"Apa salahnya berguru pada orang lain pula. Tuanku Ngangsar merasa belum puas dengan ilmu yang dimilikinya. Dia merasa ramandanya telah pilih kasih di antara dua putranya."

"Ma'af paman, aku tidak senang kau merendahkan ramanda Dipati yang sudah tiada. Jangan mbebuthek air yang sudah bening. Adikku Ngangsar selama ini baik-baik saja, kalianlah yang sengaja memancing persoalan."

"Jangan berceloteh kau Denmas Tanjung. Kalau secara halus tidak bisa diminta mundur, maka cara yang kedua yang akan kami gunakan."

Demikianlah, maka tak dapat dihindari lagi pertempuran antara dua kelompok kecil itupun terjadi di muara sungai Kradenan. Di atas timbunan pasir yang banyak berserekan di pantai utara.

Orang tua yang mengaku bernama Ki Ajar Talun itu langsung memilih lawan Adipati Sekartanjung sendiri. Sementara beberapa kawannya mencoba menangkap para pengawal termasuk sang permaisuri yang juga ikut dalam rombongan itu.

Ki Ajar Talun yang sedang berusaha menguasai Raden Sekartanjung ingin menjajagi setiap tingkat kemampuan anak muda yang kini memimpin Tuban itu.

Seorang Adipati yang telah mampu membunuh adik seperguruannya yang bernama Ki Gede Waleran. Karenanya Ki Ajar Talun yakin bahwa anak muda ini memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Tetapi pemimpin Tuban yang sering dipanggil Denmas Tanjung oleh orang-orang terdekatnya itu bertempur dengan sangat cermat. Seolah-olah ia tidak ingin membuat kesalahan yang dapat menyeretnya kedalam kesulitan. Denmas Tanjung merasakan bahwa Ki Ajar Talun memulai serangan dari tingkat yang sederhana, namun meningkat selapis demi selapis.

Sebenarnyalah sikap itu telah menyinggung perasaan Raden Sekartanjung. Seolah-olah lawannya itu meragukan kemampuannya sehingga ia harus menjajagi dari tingkat yang paling rendah.

Namun sebagai pemimpin muda ia selalu menahan diri. Ia tidak perlu merasa gelisah, karena kegelisahan justru dapat menggiringnya ke jurang kekalahan.
Pada tataran tertentu putra Balewot itu justru membuat Ki Ajar Talun ragu-ragu, karena pada tekanan-tekanan yang berat anak muda ini tetap mampu bertahan.

Namun diam-diam Demas Tanjung mulai mengetrapkan Ilmu kebalnya, meskipun ia tidak menampakkannya. Semata-mata untuk mengamankan diri dari serangan-serangan yang tak terduga.

Dalam tingkatan tertentu kini Ki Ajar Talun berusaha untuk memaksa lawannya agar meningkatkan kemampuannya yaitu dengan cara menekan lebih berat. Mau tidak mau maka lawannya harus mengimbanginya dengan meningkatkan ilmunya pula.

Akhirnya Ki Ajar Talun menjadi tidak telaten. Ia sadar, bahwa Raden Sekartanjung berusaha untuk merusak pengamatannya. Karena itu, orang tua ini memutuskan untuk langsung mengetrapkan puncak ilmunya.

"Wahai Adipati muda," berkata Ki Ajar Talun kemudian, "ternyata kau benar-benar anak muda yang sombong. Kau tidak mau melangkah pada tataran demi tataran."

"Kaulah yang terlalu merendahkan aku," berkata Raden Sekartanjung, "kau mulai penjajaganmu dari yang paling sederhana, seolah-olah aku memang anak yang baru mulai berguru."

"Apa kau tersinggung," bertanya Ki Ajar Talun.

"Tidak," jawab Adipati Tuban, "bukankah aku tidak berbuat apa-apa. "

"Baiklah, jika demikian aku akan lansung ke tingkat yang tertinggi, meskipun barangkali belum pada ilmu pamungkasku, "berkata Ki Ajar Talun, "dengan demikian, baru kau akan menyadari bahwa kau bukan orang yang dapat dianggap penting dalam dunia ilmu kanuragan." Kemudian ia melanjutkan lagi: "Memang beberapa hari lalu kau berhasil membunuh adikku Waleran. Namun hal itu tentu karena satu kebetulan saja."

"Apapun anggapanmu, silahkan saja," jawab Raden Sekartanjung, "aku membunuh adikmu dengan terpaksa karena ia berani masuk dan mengancam aku di rumahku."

"Persetan dengan ocehanmu anak muda."

Ki Ajar Talun pun kemudian mulai menghentakkan ilmunya. Kini ia justru tidak ingin menggunakan senjata apapun. Orang tua itu benar-benar ingin mengadu ilmu dengan Raden Sekartanjung.

Adipati putra Balewot itu melihat bahwa Ki Ajar Talun telah mempersiapkan ilmunnya yang tertinggi. Karena itu Raden Sekartanjung pun menjadi semakin berhati-hati. Jika Ki Ajar Talun sudah mengetahui bahwa ia telah berhasil membunuh Ki Waleran. maka Ki Ajar Talun tentu merasa mempunyai kelebihan dari Waleran. 

Yang pertama-tama ditrapkan oleh Raden Sekartanjung adalah ilmu kebalnya yang sejak semula telah dipasangnya sebagai perisai. Selebihnya Raden Sekartanjung akan mempergunakan tenaga cadangan yang ada didalam dirinya untuk menjajagi kemampuan puncak lawannya itu. Sebenarnyalah bahwa Ki Ajar Talun tetap menganggap bahwa yang dihadapi adalah seorang anak muda yang memiliki ilmu kanuragan tinggi.

Ternyata Ki Ajar Talun mampu bergerak semakin lama semakin cepat. Dengan loncatan-loncatan panjang Ki Ajar Talun menyerang Denmas Tanjung sambil berlari berputaran. Akhirnya yang terjadi seolah-olah orang tua itu telah hilang dalam putaran angin prahara disekitar tubuh Raden Sekartanjung.

"Bukan main," geram Raden Sekartanjung, "Ilmu apa lagi yang aku hadapi sekarang ini?"

Meskipun demikian dengan penuh kewaspadaan ternyata Raden Sekartanjung tidak kehilangan pengamatannya atas lawannya.

Justru karena lawannya berputaran mengitarinya, maka Raden Sekartanjung pun kemudian berdiri tegak. Tetapi tatapan matanya serta penalarnya selalu mengikuti gerak dan putaran lawannya.

Dalam pada itu semakin lama Raden Sekartanjung menjadi semakin sulit untuk dapat mengamati gerak lawannya. Bahkan sekali-sekali lawannya itu berhasil juga melontarkan serangan dan geseran-geseran pendek.

Untunglah dalam benturan kekuatan Raden Sekartanjung sama sekali tidak mengalami keadaan yang gawat. Ia merasa memiliki tenaga yang cukup untuk mengimbangi tenaga orang yang berlari berputaran itu.

Namun tetap saja semakin lama putaran itu menjadi semakin membingungkan. Bahkan akhirnya seolah-olah bagaikan prahara yang mengamuk diseputarnya.

Kini Adipati Tuban itu justru mendengar deru prahara yang mengamuk diseputarnya. Kian lama kian dahsyat, seolah-olah dirinya berada dipusat putaran bumi dengan segala isinya.

"Gila," geram Denmas Tanjung, "aku tidak akan dapat bertahan dalam keadaan seperti ini. Aku akan menjadi pening dan kehilangan pengamatanku atas lawanku.

Sebenarnyalah pertempuran antara kedua orang sakti ini telah menumbuhkan kekhawatiran bagi mereka yang bertempur disekitamya. Orang-orang itu melihat Ki Ajar Talun hanya berlari berputaran saja, padahal bagi Raden Sekartanjung ia merasa seolah-olah berada pusaran air samudra yang bergejolak.

Kini yang ada adalah kekhawatiran, sang pemimpin Tuban telah kehilangan pengamatan sehingga sekali-sekali serangan lawannya dapat menyentuhnya pula. Untung Den Mas Tanjung telah melindungi dirinya dengan ilmu kebal, sehingga sentuhan lawannya tidak menyakitinya.

Meskipun demikian Raden Sekartanjung masih berusaha untuk mengaburkan penilaian lawan terhadap dirinya. Tetapi perasaan pening itu bukannya dibuat-buat ia benar-benar menjadi pening oleh prahara yang mengamuk mengitarinya, bahkan lawannya yang berlari disekitarnya itu rasa-rasanya menjadi semakin cepat sehingga menjadi sebuah gelang yang bulat. Dengan demikian maka Raden Sekartanjung rasa-rasanya tidak mendapat kesempatan lagi untuk keluar dari lingkaran maut itu.

Sementra itu orang-orang lain disekitarnya melihat Ki Ajar Talun berlari semakin cepat. Namun herannya bahwa Raden Sekartanjung justru telah mematung didalam kecepatan putaran lawannya. Mereka tidak mengetahui bahwa Raden Sekartanjung merasakan dirinya berada di dalam pusat putaran bumi.

 "Ilmu jenis apa yang aku hadapi ini," geram Raden Sekartanjung didalam hatinya.

**

Dalam pada itu agak jauh dari arena pertempuran nampak dua lelaki sedang berbincang.

"Andai Ki Ajar berhasil membunuh Raden Sekartanjung maka istrinyapun pasti akan membunuh diri, "berkata orang yang mengalungkan sarung di pundaknya.

"Sesederhana itukah pikiranmu ?" Tanya temannya yang mengenakan udeng di kepala.

"Ya, aku yakin itu. Bukankah mereka belum dikaruniai anak, buat apa hidup sebatang kara?"

"Oh ya, siapa yang kau sebut sebagai lawan Raden Sekartanjung?" bertanya lelaki berudeng.

"Ki Ajar Talun," ulang yang mengenakan sarung, "aku tidak perlu berpura pura lagi."

"Maksudmu Ki Ajar Talun yang pernah membela Jipang dulu?" bertanya yang memakai udeng pula.

"Betul Raden Sunan. Apakah paduka menjadi cemas?" bertanya lelaki bersarung sambil mengangkat wajahnya.

Lelaki yang dipanggil Raden Sunan itu kemudian berusaha mengenali lawan Raden Sekartanjung.  Memang jaraknya tidak terlalu dekat. Namun ternyata ketajaman penglihatannya akhirnya meyakinkan juga.

"Apakah paduka berhasil mengenalnya ?" tanyanya sesaat kemudian.

"Ya Ki Guru Ngangsar. Aku memang meyakininya sebagai Ki Ajar Talun. Namun aku justru kasihan padanya."

"Kenapa kasihan raden?" Kini laki-laki yang disebut Ki Guru Ngangsar justru menjadi heran.

"Ia memang pernah dekat dengan Adipati Jipang. Tetapi ia bukan orang kepercayaannya." jawab Raden Sunan, "karena itu agaknya ia kurang dapat mengukur kemampunnya sendiri sehingga ia berani melawan Raden Sekartanjung."

"Ah, jangan bergurau. Radenlah yang salah menilai," jawab Ki Guru Ngangsar, "Ki Ajar Talun memang menyadari bahwa orang Tuban itu telah berhasil membunuh Ki Gede Waleran, namun ia merasa masih memiliki kemampuan untuk menyelesaikan Raden Sekartanjung."

Raden Sunan tertawa. Katanya, "Marilah kita lihat. Apa yang telah terjadi."

Numun Ki Guru Ngangsar itu menjawab, "Aku yakin bahwa Raden yang berilmu sempurna dapat melihat Raden Sekartanjung kini berada dalam kesulitan."

Raden Sunan mengerutkan keningnya. Dengan ketajaman penglihatannya ia memang dapat melihat apa yang telah terjadi dengan Raden Sekartanjung.

Sementara itu Raden Sekartanjung memang sudah mulai menjadi pening. Rasa-rasanya seluruh isi alam telah terseret dalam putaran disekelilingnya.

Namun Raden Sekartanjung tidak segera kehilangan akal. Sejenak ia berdiri tegak, namun ia mencoba memusatkan tenaga yang ada padanya. Lelaki muda dan tampan itu tidak mau terus menerus terkurung didalam dinding pusaran lawannya.

Tapia apa yang bisa ia lakukan? Sekarang yang kelihatan olehnya adalah dinding rapat yang mengurungnya dan membuatnya semakin pening. Dengan ilmu kebal dirinya memang bisa saja mengabaikan serangan-serangan yang menyentuhnya, namun rasa pening inilah terutama yang memberatkannya.

Kini dengan segenap kekuatan yang ada ia mencoba meloncat menembus dinding pusaran itu. Betapapun beratnya perjuangan itu, tetap harus mampu ia lakukan.

Tetapi yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Ternyata loncatannya itu sama sekali tidak menyentuh apapun. Karenanya Adipati Tuban itu terlempar oleh kekuatannya sendiri.

Hampir saja Den Mas Tanjung jatuh terjerembab, hanya karena kemampuannya menguasai tubuh sajalah maka ia berhasil berdiri tegak kembali.

Terdengar Ki Ajar Talun tertawa, meski tidak terlalu keras. Lelaki tua itu telah berdiri beberapa langkah dari Raden Sekartanjung. Sedang putaran prahara yang semula ia mainkan itu telah lenyap sama sekali.

"Kenapa kau berusaha melarikan diri anak muda," bertanya Ki Ajar Talun.

Raden Sekartanjung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku menjadi pening Ki Sanak. Aku tidak dapat bertahan terlalu lama didalam lingkaran prahara itu."

"Oh," Ki Ajar Talun mengangguk-angguk, "karena itu kau meloncat keluar?"

"Ya," jawab Raden Sekartanjung.

"Apakah berarti kau telah menyerah dan mau memilih jalan terbaik yang aku tawarkan bagimu?" bertanya Ki Ajar Talun lagi.

Raden Sekartanjung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jangan bergurau Ki Ajar, karena ini bukan waktunya."

"Aku tidak bergurau anak muda," jawab Ki Ajar Talun, "bukankah kau sudah kehilangan akal untuk melawan? Sayang, bahwa aku tidak berhak memberimu ampun sehingga aku harus menunaikan tugasku. Dan kalau kau tetap bersikukuh, terpaksa harus kau terima nasibmu."

Raden Sekartanjung tersenyum. Katanya, "Alangkah pendeknya hidup ini andai aku harus menyerahkan diri. Tetapi ma'af, aku masih tetap bisa bertahan."

"Kau memang keras kepala adipati." Bentak Ki Ajar Talun.

"Bukan keras kepala Ki Ajar, namun caramulah yang sekarang tidak menarik lagi bagiku. Aku sekarang sudah tahu, bagaimana harus keluar dari putaran prahara milikmu. Ternyata hanya dengan melangkahkan kaki sebelah aku pasti bisa keluar dari putaran itu."

"Kau salah sangka anak muda," berkata Ki Ajar Talun, "aku memang melepaskan kau keluar dari pusaranku. Tetapi sebenarnya aku dapat menghantam kau dan melemparkanmu kembali ke dalam putaran kalau aku mau."

Sejenak orang tua itu menatap musuhnya, lalu katanya melanjutkan, "Aku dapat membunuhmu dengan caraku, sebab jika putaran itu berhenti kau sudah terkapar dengan luka arang keranjang di tubuhmu."

"Oh ya? Mengerikan sekali," sahut Den Mas Tanjung, "tetapi sudah tentu aku takkan mengalami perlakuan seperti itu."

Ki Ajar Talun mengerutkan keningnya. Ditatapnya anak muda yang berdiri tegak di hadapannya itu. Menilik sorot matanya, anak ini memang tidak menjadi gentar, pikirnya.

Dengan demikian maka kemarahan Ki Ajar Talun pun menjadi semakin menyala. Meskipun ia sudah mendengar bahwa anak muda itu mampu membunuh Ki Gede Waleran, namun kesombongan pemimpin Tuban ini telah membuat ia bagaikan terpanggang oleh luapan emosi.

"Anak muda," berkata Ki Ajar Talun kemudian, "kesombonganmu memang tidak dapat dimaafkan lagi."

"Kau selalu berkata begitu," jawab Raden Sekartanjung, "silahkan berputaran lagi. Aku sudah mempunyai cara yang paling baik untuk melepaskan diri."

Ki Ajar Talun yang tidak dapat menahan diri lagi telah meloncat menyerang Raden Sekartanjung. Tetapi Raden Sekartanjung sudah bersiaga, karena itu iapun segera bergeser menghindari serangan lawannya. (Bersambung) ***

 

Keterangan :

  • Kisah ini imajinasi belaka, namun diilhami dari kisah-kisah seblumnya.
  • Penulis adalah pemerhati sejarah dan praktisi pendidikan di Tuban

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun