Raden Sekartanjung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku menjadi pening Ki Sanak. Aku tidak dapat bertahan terlalu lama didalam lingkaran prahara itu."
"Oh," Ki Ajar Talun mengangguk-angguk, "karena itu kau meloncat keluar?"
"Ya," jawab Raden Sekartanjung.
"Apakah berarti kau telah menyerah dan mau memilih jalan terbaik yang aku tawarkan bagimu?" bertanya Ki Ajar Talun lagi.
Raden Sekartanjung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jangan bergurau Ki Ajar, karena ini bukan waktunya."
"Aku tidak bergurau anak muda," jawab Ki Ajar Talun, "bukankah kau sudah kehilangan akal untuk melawan? Sayang, bahwa aku tidak berhak memberimu ampun sehingga aku harus menunaikan tugasku. Dan kalau kau tetap bersikukuh, terpaksa harus kau terima nasibmu."
Raden Sekartanjung tersenyum. Katanya, "Alangkah pendeknya hidup ini andai aku harus menyerahkan diri. Tetapi ma'af, aku masih tetap bisa bertahan."
"Kau memang keras kepala adipati." Bentak Ki Ajar Talun.
"Bukan keras kepala Ki Ajar, namun caramulah yang sekarang tidak menarik lagi bagiku. Aku sekarang sudah tahu, bagaimana harus keluar dari putaran prahara milikmu. Ternyata hanya dengan melangkahkan kaki sebelah aku pasti bisa keluar dari putaran itu."
"Kau salah sangka anak muda," berkata Ki Ajar Talun, "aku memang melepaskan kau keluar dari pusaranku. Tetapi sebenarnya aku dapat menghantam kau dan melemparkanmu kembali ke dalam putaran kalau aku mau."
Sejenak orang tua itu menatap musuhnya, lalu katanya melanjutkan, "Aku dapat membunuhmu dengan caraku, sebab jika putaran itu berhenti kau sudah terkapar dengan luka arang keranjang di tubuhmu."