"Ya, aku yakin itu. Bukankah mereka belum dikaruniai anak, buat apa hidup sebatang kara?"
"Oh ya, siapa yang kau sebut sebagai lawan Raden Sekartanjung?" bertanya lelaki berudeng.
"Ki Ajar Talun," ulang yang mengenakan sarung, "aku tidak perlu berpura pura lagi."
"Maksudmu Ki Ajar Talun yang pernah membela Jipang dulu?" bertanya yang memakai udeng pula.
"Betul Raden Sunan. Apakah paduka menjadi cemas?" bertanya lelaki bersarung sambil mengangkat wajahnya.
Lelaki yang dipanggil Raden Sunan itu kemudian berusaha mengenali lawan Raden Sekartanjung. Â Memang jaraknya tidak terlalu dekat. Namun ternyata ketajaman penglihatannya akhirnya meyakinkan juga.
"Apakah paduka berhasil mengenalnya ?" tanyanya sesaat kemudian.
"Ya Ki Guru Ngangsar. Aku memang meyakininya sebagai Ki Ajar Talun. Namun aku justru kasihan padanya."
"Kenapa kasihan raden?" Kini laki-laki yang disebut Ki Guru Ngangsar justru menjadi heran.
"Ia memang pernah dekat dengan Adipati Jipang. Tetapi ia bukan orang kepercayaannya." jawab Raden Sunan, "karena itu agaknya ia kurang dapat mengukur kemampunnya sendiri sehingga ia berani melawan Raden Sekartanjung."
"Ah, jangan bergurau. Radenlah yang salah menilai," jawab Ki Guru Ngangsar, "Ki Ajar Talun memang menyadari bahwa orang Tuban itu telah berhasil membunuh Ki Gede Waleran, namun ia merasa masih memiliki kemampuan untuk menyelesaikan Raden Sekartanjung."