“Coba kamu jelaskan, seperti apa perubahan yang aku alami?”
Kinanti menatap mata lelaki itu, mempertanyakan ke mana kehangatan yang selalu ia dapatkan pergi. Sinar mata Ragil redup, tak lagi memancarkan keriaan seperti setiap kali mereka bertemu dan berbicara.
“Kamu seperti tidak bahagia bersamaku”
Ungkapan Ragil ada benarnya, sejak Kinanti menyesap kopi hitam pertamanya, perempuan itu perlahan berubah. Ia menjadi banyak berfilosofi, berbicara soal sisi gelap kehidupan dan betapa terkadang semesta mempermainkan manusia melalui kejadian kejadian yang tak bisa ditebak. Kinanti tidak lagi melakukan kebiasaan cerobohnya hingga Ragil mendapati Kinanti menjadi sama pahitnya seperti dirinya.
“Kita tidak bisa selalu bahagia, Gil. Sesekali memang seharusnya aku sedih, agar semuanya seimbang”
Tapi tak semestinya selama ini, tidak saat bersamaku. Ragil urung bersuara
“Aku berproses denganmu berdasar perasaan suka. Ini mungkin seperti groupis yang berupaya keras agar mirip idolanya. Agar ia diterima, agar ia disukai”
Gilang bergumam dengan suara rendah
“Tapi tak seharusnya kamu menjadi seperti aku, Nan”
Kinanti tertawa kecil, namun suara renyahnya telah lama hilang
“Kalau kamu menyukai dirimu sendiri, kamu seharusnya suka jika aku menjadi seperti kamu”