“Kamu berubah”
Suara Ragil membuat adukan kopi Kinanti berhenti.
“Aku sekarang seperti Power Rangers, begitu?”
Kinanti tertawa sendiri
Ragil tidak mengerti perempuan itu. Lama mereka bersama dan perlahan Kinanti mulai tidak menjadi Kinanti yang ia kenal. Kinanti yang dulu membuatnya sangat tertarik.
“Semua orang berubah, Gil. Tergantung kepada siapa dan di mana mereka berproses. Berharap aku tidak menyukai kopi seperti setahun lalu adalah naif”
Kinanti menyeruput kopinya. Perempuan itu memang selalu mampu membaca pikiran Ragil. Ia memang sangat menyukai kopi. Banyak kisah yang ia bagi tentang kesukaannya itu pada Kinanti. Belasan hingga puluhan kedai kopi di kota itu telah mereka kunjungi. Ragil sendiri tak perlu merasa terkejut jika perlahan perempuan itu menyukai kopi sepertinya sebab seperti yang Kinanti dan dirinya selalu bilang, alah bisa karena biasa.
***
“Kenapa suka kopi sih? Kan pait”
Kinanti menyesap lemon teanya sambil memberi tatapan aneh pada Ragil saat pria itu menuntaskan sesapan terakhir dari gelas black coffee di hadapannya.
“Ga tau, suka aja. Rasa paitnya unik. Pait, tapi enak.”
“Kaya hidup manusia”
Keduanya tertawa.
Ragil gemar berfilosofi soal kopi. Kinanti selalu mendengarkan dengan tatapan bersemangat, pria itu telah hidup dengan banyak kisah menarik dan usianya yang memang terpaut jauh dari Kinanti membuat perempuan yang baru saja genap berkepala dua itu terkagum kagum soal begitu banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam hidup.
“Aku sih kalo minum kopi paling sachetan. Itupun harus mocca atau cappucino. Yang banyakan manisnya dibanding paitnya”
Ragil tertawa
“Iya, makanya kamu manis hahaha. Jangan suka kopi pait kaya aku ya nanti kamu jadi pait juga”
Kinanti cemberut. Membuat Ragil harus menahan diri lebih kuat untuk tidak mencubit pipi perempuan itu.
***
Tidak satupun kawannya percaya bahwa mereka bisa bersama. Ragil yang selalu apatis terhadap banyak hal bisa berlama lama berbicara dengan Kinanti yang periang dan positif. Ragil, seperti kopi yang kerap diminumnya, adalah seorang yang pahit sementara Kinanti selalu tampak manis dan bersemangat.
Ragil mengamini, satu satunya yang membuatnya betah berlama lama bersama Kinanti adalah cara perempuan itu memandang hidup. Tidak sepertinya yang selalu memikirkan kemungkinan terburuk, Kinanti bisa saja tiba tiba melakukan hal yang seolah tanpa pertimbangan dan baik baik saja.
“Ke pantai? Sendirian??”
Ragil terkejut saat Kinanti menelponnya kala ia ingin tidur. Ia tau pantai yang Kinanti maksud berada di luar kota dan tidak seharusnya seorang perempuan berkendara sendirian ke tempat sejauh itu pada malam hari.
“Kalau kendaraannya rusak gimana? Mau minta tolong sama siapa? Kalau kamu dirampok gimana? Orangtua tau? Di sana mau ngapain?”
Cecar pertanyaannya hanya dijawab dengan tawa renyah Kinanti
“Tapi buktinya sampai dengan selamat, kan? Sore tadi pas balik dari kantor mikir kayaknya kalo ke pantai lucu nih. Udah lama juga ga ke sini, bintangnya keliatan banget, itu ada sabuk orion, planet venus..”
Mereka menghabiskan sisa percakapan dengan berbicara soal rasi bintang
Spontanitas Kinanti sering membuatnya khawatir, pada kesehatan perempuan itu, pada keselamatan perempuan itu. Pernah suatu malam ia menelpon Kinanti dan perempuan itu sedang berkemah di luar kota untuk mendaki gunung di hari Minggu padahal Ragil tau betul, Senin pagi Kinanti sudah harus bekerja lagi.
Namun entah mengapa, sikap Kinanti yang seperti itu yang diam diam membuatnya kagum. Pada sesuatu yang tidak ia miliki, spontanitas dan kemampuan untuk melihat semua hal dengan perasaan segalanya akan baik baik saja.
Kamu tuh ga kenal takut ya Nan.
Pesan singkat Ragil menyapa layar ponsel Kinanti
Hehe, mungkin. Tapi sejauh ini semuanya worthed kok, puncak gunungnya indah bangeettt
- tapi tetap aja, kamu harus mikir soal gimana hari esok. Kalau naik gunung hari ini besok kerja gimana?
+ langsung ke kantor aja, numpang mandi terus siangnya nyolong tidur.
- kesehatanmu loh
+ iya dijaga kok, kan minum obaatt
Pesannya tak dibalas Ragil. Kinanti menyeruput teh jahenya. Kawan kawannya asik bermain gitar di dekat api unggun. Pada sudut yang agak gelap, Kinanti menggigit lampu senter dan membuka buku kecil yang selalu ia bawa. Sebuah kalimat kecil dengan judul bucket list dicoretnya.
Ke pantai di malam hari untuk melihat bintang
Mendaki gunung saat perayaan ulang tahun
Membuat Ragil jatuh cinta
Kinanti bukannya ceroboh dalam bersikap, keinginan dan rencana untuk melakukan banyak hal dalam bucket listnya sudah dilakukan Kinanti sejak ia mengenal Ragil, lima tahun silam. Ia masih remaja dan mendengarkan banyak kisah luar biasa dari hidup Ragil yang kala itu dikenalnya melalui jejaring sosial.
Diam diam Kinanti bertekad, untuk juga memiliki banyak kisah keren agar kelak bisa dibagi bersama Ragil. Lama mereka lost contact hingga bertemu kembali kala Kinanti telah menggenapi usianya menjadi kepala dua. Selama bertemu Ragil, Kinanti tak ubahnya seperti anak kecil yang baru saja pulang bermain di hutan. Bercerita dengan semangat, tak habis habis. Lelaki itu tidak pernah tau, bagaimana ia sudah mengubah Kinanti.
***
Kinanti dan Ragil masih duduk berhadapan di kedai kopi.
“Coba kamu jelaskan, seperti apa perubahan yang aku alami?”
Kinanti menatap mata lelaki itu, mempertanyakan ke mana kehangatan yang selalu ia dapatkan pergi. Sinar mata Ragil redup, tak lagi memancarkan keriaan seperti setiap kali mereka bertemu dan berbicara.
“Kamu seperti tidak bahagia bersamaku”
Ungkapan Ragil ada benarnya, sejak Kinanti menyesap kopi hitam pertamanya, perempuan itu perlahan berubah. Ia menjadi banyak berfilosofi, berbicara soal sisi gelap kehidupan dan betapa terkadang semesta mempermainkan manusia melalui kejadian kejadian yang tak bisa ditebak. Kinanti tidak lagi melakukan kebiasaan cerobohnya hingga Ragil mendapati Kinanti menjadi sama pahitnya seperti dirinya.
“Kita tidak bisa selalu bahagia, Gil. Sesekali memang seharusnya aku sedih, agar semuanya seimbang”
Tapi tak semestinya selama ini, tidak saat bersamaku. Ragil urung bersuara
“Aku berproses denganmu berdasar perasaan suka. Ini mungkin seperti groupis yang berupaya keras agar mirip idolanya. Agar ia diterima, agar ia disukai”
Gilang bergumam dengan suara rendah
“Tapi tak seharusnya kamu menjadi seperti aku, Nan”
Kinanti tertawa kecil, namun suara renyahnya telah lama hilang
“Kalau kamu menyukai dirimu sendiri, kamu seharusnya suka jika aku menjadi seperti kamu”
***
Mereka berpisah dalam perjalanan pulang. Ragil tak pernah lagi hadir dalam hidup Kinanti selepas itu. Kinanti mengerti, yang Ragil seharusnya lakukan bukanlah menyukainya
Namun belajar untuk menyukai dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H