“Kaya hidup manusia”
Keduanya tertawa.
Ragil gemar berfilosofi soal kopi. Kinanti selalu mendengarkan dengan tatapan bersemangat, pria itu telah hidup dengan banyak kisah menarik dan usianya yang memang terpaut jauh dari Kinanti membuat perempuan yang baru saja genap berkepala dua itu terkagum kagum soal begitu banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam hidup.
“Aku sih kalo minum kopi paling sachetan. Itupun harus mocca atau cappucino. Yang banyakan manisnya dibanding paitnya”
Ragil tertawa
“Iya, makanya kamu manis hahaha. Jangan suka kopi pait kaya aku ya nanti kamu jadi pait juga”
Kinanti cemberut. Membuat Ragil harus menahan diri lebih kuat untuk tidak mencubit pipi perempuan itu.
***
Tidak satupun kawannya percaya bahwa mereka bisa bersama. Ragil yang selalu apatis terhadap banyak hal bisa berlama lama berbicara dengan Kinanti yang periang dan positif. Ragil, seperti kopi yang kerap diminumnya, adalah seorang yang pahit sementara Kinanti selalu tampak manis dan bersemangat.
Ragil mengamini, satu satunya yang membuatnya betah berlama lama bersama Kinanti adalah cara perempuan itu memandang hidup. Tidak sepertinya yang selalu memikirkan kemungkinan terburuk, Kinanti bisa saja tiba tiba melakukan hal yang seolah tanpa pertimbangan dan baik baik saja.
“Ke pantai? Sendirian??”