Mohon tunggu...
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri)
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri) Mohon Tunggu... Guru - Guru SD, Penulis buku

Hidup bermanfaat lebih beruntung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aksara Untuk Ibu di Barzah

15 Agustus 2024   06:29 Diperbarui: 15 Agustus 2024   06:34 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi peziarah saat di pemakaman. Gambar dari detik.com

Pusara itu tampak sepi setelah para pengantar jenazah pergi meninggalkan makam. Saya termenung sambil mengusap gundukan tanah yang masih basah. Kedua anakku memegangi pundakku seraya berkata: "Sudahlah Pa, semua sudah pulang, kita ikut pulang yuk", ajak anak bungsu saat melihat papanya lunglai.

Saya pun berdiri dan berjalan meninggalkan makam yang tertulis nama Ibu di atas pusara.

"Le, kapan kowe bali?", pertanyaan Ibu sehari sebelum meninggal.

Saat itu ibu menelpon dan menagih janji, saat saya memberikan harapan supaya menunggu masa purna yang tinggal lima tahun lagi.

Saya tiga bersaudara, kakak dan adik berada di samping rumah Ibu, sedangkan saya satu-satunya anak yang menurut ibu paling sabar di antara yang lain.

Ibu sering bercerita, sewaktu kecil saya sering sakit-sakitan, bahkan saat masa-masa kritis Bapak pernah bilang merelakan saya pergi, jika memang Tuhan menghendaki takdirnya.

Namun Ibu dengan lantang menyatakan: "Bapak !, jangan bicara seperti itu, Anak ini kelak yang akan menjaga dan yang akan saya ngengeri",

Mengingat masa-masa itu, Ibu memberikan tumpuhan yang lebih diantara anak-anakanya, karena berharap kelak saat usinya semakin tua dan udzur, saya akan menjadi teman hidupnya.

Tahun 1993 saya mendapatkan rezeki dengan diterima menjadi CPNS di Kemenag, tepatnya di Kantor Urusan Agama.

Tentu Ibu menjadi bangga, karena anak kesayangannya diterima menjadi abdi negara di salah satu kota di Jawa Tengah. Saya pun berangkat memenuhi tugas dan kewajiban saya sebagai Korp Pegawai Negeri Sipil.

Saya meninggalkan Ibu di rumah sendiri. Kakak telah berumah tangga demikian juga dengan adik. Keduanya telah membina rumah tangga dan mengurus keluarganya, layaknya rumah tangga yang lain. Sedangkan Ibu menempati rumah sendiri.

Seperti yang saya sampaikan di depan, sejak dulu Ibu ingin tinggal bersama dan menikmati hari tuanya bersama saya.

Setahun setelah diangkat sebagai PNS saya menikah dengan gadis pujaan hati. Di awal saya menikah Ibu memberikan komitmen kepada saya juga istri bahwa saat Ibu sudah udzur akan ikut kami.

Dengan senang hati saya dan istri menyepakatinya. Bahkan sering setiap ada momen keluarga saya mudik ke Pekalongan.

Setiap bercengkerama, Ibu selalu mengingatkan kami berdua bahwa suatu saat nanti saat Ibu sudah sepuh, "Saya akan ikut kamu",

Saya selalu mengatakan,'Iya beres Bu, pokok e Ibu nanti akan saya openi", kalimat itu yang selalu saya sampaikan saat mudik di Pekalongan.

Sudah dua puluh tiga tahun penantian itu, tak kunjung datang. Saya dan istri sepakat untuk membangun rumah di Pekalongan, supaya hati Ibu menjadi tenang bahwa saat purna nanti kami akan kembali ke pangkuan Ibu.

Ada uang tabungan yang sengaja saya celengi  ditambah dana pinjaman dari salah satu Bank, saya pun membangin rumah. Tujuan pertama  supaya Ibu menjadi ayem saat mengetahui rencana hidup di Pekalongan saat masa pensiun.

Hari demi hari, bulan berganti purnama tahun pun berjalan sesuai arah mata angin. Kami pun saling menjaga dan saling menguatkan. Dengan sabar Ibu menunggu kapan saya pensiun dan bisa berkumpul seperti yang sudah digadang-gadang.

Untuk memenuhi keinginan ibu, Setiap satu minggu sekali kami pun saling bertukar kabar melalui handphone.

Ucapan pertama yang selalu diucapkan ibu adalah: "Le kapan kowe bali?',

Jika diucapkan pada istri maka akan menyapa: "Nduk kapan kowe bali?'.

***

Kata-kata itu saat ini sudah tak terdengar lagi. Karena setahun yang lalu ibu wafat meninggalkan kami untuk selamanya.

Rumah yang saya bangun di Pekalongan yang selama ini ditempati Ibu menjadi saksi penantian ibu yang begitu lama, menunggu kapan saya pulang. Namun tugas negara ini belum selesai. Saya harus mengabdikan diri sesuai dengan SK yang sudah saya terima.

Sehari sebelum berpulangnya Ibu, beliau sempat menelpon dan menanyakan, kapan pensiunmu Le",

"Walah Bune, lima tahun itu gelis, gak suwe, wis to tak openi", itu adalah kata-kata terahir yang sempat didengar oleh Ibu.

Manusia hanya bisa berencana, merencanakan saat sudah pensiun akan kembali ke kampung halaman, menemani Ibu saat sudah udzur. Namun Tuhan berkehendak lain. Ibu sudah lebih dulu menghadap Sang Kuasa.

Saat ini Ibu telah berpulang, sebelum rencana itu terpenuhi. Ibu selalu memendam kerinduannya untuk selalu berdekatan dengan anak yang diharapkan bisa menemani sampai ahir hayatmya.

Namun takdir berkehendak lain, sebelum keinginannya terwujut Ibu telah berpulang menghadap sang Khaliq. Allohu yarham.

Namun saya pun sedikit lega walaupun secara raga saya tidak pernah bersama Ibu, namun rumah yang saya bangun selama ini telah ditempati Ibu. Itu artinya saya telah membersamai Ibu hingga di ahir hayatnya.

Jika pun saya harus menulis surat untukmu Ibu maka saya akan menyampaikan bahwa sebenarnya kita telah bersama, hati telah tertaut. Penantianmu  tidaklah sia-sia, karena tuhan memberikan kebahagiaan dengan cara yang berbeda.

Jikapun berkesempatan menulis surat untukmu Ibu,  aksara inilah yang menggambarkan ketulusan hati saat engkau berada di barzah.

Asslamu alaikum Warahmatullahi wabarakatuh

Salam sejahtera untuk Ibu tercinta

Kabar ibu, tentu baik-baik saja.

Ibu,,, penantianmu berujung bahagia, Engkau sudah dipertemukan dengan sang Penguasa alam. Saya tahu Ibu tidak menyesal dengan apa yang pernah saya janjikan karena saat ini bagimu itu tidak penting.

Saat ini yang kau butuhkan adalah doa dan hadiah fatihah dari anak cucumu. Saya yakin engkau telah menikmati penantianmu di barzah dengan senyuman. Saya menjadi saksi bahwa engkau adalah orang baik.

Aku mengenalmu sejak dari buaian, engkau suka menolong dan ringan bersedekah. Saya berharap di setiap doa, surga menantimu. Semoga Allah  membukakan pintu rahmatnya. Amiin

Wasaalamu alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Saat Ibu meninggal, saya tidak mengetahui kronologisnya, namun dari cerita adik Ibu meninggal saat akan melaksanakan salat malam. Waktu itu masih di bulan Muharram, seperti biasa Ibu menjalankan puasa. Walaupun sebenarnya keadaan ibu sudah sepuh dan sakit-sakitan, namun keteguhan hatinya untuk melaksanakan ibadah sunah besar sekali.

Sudah sepuluh hari Ibu menjalankan puasa sunah. Merasa kurang enak badan, tiga hari ini Ibu tidur di rumah adik yang bersebelahan dengan rumah tempat tinggal Ibu. Malam itu setelah makan sahur ala kadarnya beliau membangunkan adik dan istrinya yang juga akan melaksanakan sahur.

Setelah keduanya bangun, segera melaksanakan makan sahur, Ibu yang terlebih dahulu sudah makan sahur akan melaksanakan salat malam tiba-tiba jatuh, terdengar suara botol jatuh di lantai.

Menjadi kebiasaan Ibu jika kurang enak badan, menyiapkan botol kecil berisi air panas yang di letakkan di perut dan di tali dengan udet. Menurutnya botol panas itu dapat meringankan rasa sakit di ulu hatinya.

Suara botol tersebut menjadikan adikku berlari ke sumbersuara, adik mendapati ibu sudah tergelentang dan masih menggunakan mukena putih. Saat itulah Ibu sudah tidak bisa ditolong.

Suara Allah,,, Allah,,,, Alldh,,,, terdengar pelan dari mulut Ibu. Adik yang saat itu berasa di sampingnya berusaha menguatkan dan menuntunnya dengan ucapan yang sama, Allah,,,Allah,,,Allah.. Di saat itulah Ibu menghembuskan napas terahirnya dalam keadaan masih menggunakan mukena.

Innalillahi wainna ilahi rajiun, semoga Husnul Khotimah,,,Ibu

Mendengar cerita tersebut saya bersedih selakigus lega dan bangga. Sedih karena Ibu meninggal namun lega karena saat menghembuskan napas terahirnya,  Ibu menyebut kalimat Allah dan dalam keadaan suci. Ibu masih berselimutkan mukena karena akan  melaksanakan salat malam. Alloh yarham Ibu,,,.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun