Saya meninggalkan Ibu di rumah sendiri. Kakak telah berumah tangga demikian juga dengan adik. Keduanya telah membina rumah tangga dan mengurus keluarganya, layaknya rumah tangga yang lain. Sedangkan Ibu menempati rumah sendiri.
Seperti yang saya sampaikan di depan, sejak dulu Ibu ingin tinggal bersama dan menikmati hari tuanya bersama saya.
Setahun setelah diangkat sebagai PNS saya menikah dengan gadis pujaan hati. Di awal saya menikah Ibu memberikan komitmen kepada saya juga istri bahwa saat Ibu sudah udzur akan ikut kami.
Dengan senang hati saya dan istri menyepakatinya. Bahkan sering setiap ada momen keluarga saya mudik ke Pekalongan.
Setiap bercengkerama, Ibu selalu mengingatkan kami berdua bahwa suatu saat nanti saat Ibu sudah sepuh, "Saya akan ikut kamu",
Saya selalu mengatakan,'Iya beres Bu, pokok e Ibu nanti akan saya openi", kalimat itu yang selalu saya sampaikan saat mudik di Pekalongan.
Sudah dua puluh tiga tahun penantian itu, tak kunjung datang. Saya dan istri sepakat untuk membangun rumah di Pekalongan, supaya hati Ibu menjadi tenang bahwa saat purna nanti kami akan kembali ke pangkuan Ibu.
Ada uang tabungan yang sengaja saya celengi  ditambah dana pinjaman dari salah satu Bank, saya pun membangin rumah. Tujuan pertama  supaya Ibu menjadi ayem saat mengetahui rencana hidup di Pekalongan saat masa pensiun.
Hari demi hari, bulan berganti purnama tahun pun berjalan sesuai arah mata angin. Kami pun saling menjaga dan saling menguatkan. Dengan sabar Ibu menunggu kapan saya pensiun dan bisa berkumpul seperti yang sudah digadang-gadang.
Untuk memenuhi keinginan ibu, Setiap satu minggu sekali kami pun saling bertukar kabar melalui handphone.
Ucapan pertama yang selalu diucapkan ibu adalah: "Le kapan kowe bali?',