Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Aturan Jarak Rumah ke Sekolah di Sekolah Negeri: Ujian Bagi Para Guru

5 Juli 2018   15:41 Diperbarui: 6 Juli 2018   00:28 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TAHUN ini, penerimaan murid baru di sekolah negeri menerapkan aturan ketat tentang penghitungan jarak dari rumah ke sekolah.

Teknis dan istilahnya bisa berbeda- beda. Zonasi, rayon, perhitungan score jarak. Tapi intinya sama. Tujuannya juga sama, ke depan, diharapkan, tidak ada lagi sekolah berlabel 'sekolah favorit'.

Dampak terbesar dari aturan ini adalah akan tersebarnya murid- murid di berbagai sekolah.

Murid dengan kecerdasan dan kemampuan akademik tinggi akan menyebar di banyak sekolah, tidak lagi menumpuk di sekolah favorit. Murid yang prestasi akademiknya biasa-biasa saja juga akan menyebar. 

Dalam beberapa tahun ke depan, jika penerapan aturan serupa dilakukan secara ketat dan konsisten, tujuan utama untuk pemerataan,  mengeliminir adanya kelompok sekolah negeri favorit dan sekolah gurem akan tercapai.

Tahun ini, di banyak provinsi, penerapan aturan tentang jarak secara ketat ini merupakan yang pertama kali.

Dan karenanya, walau termasuk orang tua murid  yang  lumayan bisa menerima aturan serupa ini sebab bisa memahami tujuan positifnya ke depan (oh ya, kami kena dampaknya juga, sebab putra bungsu kami tahun ini akan masuk SMA dan rencananya juga akan kami daftarkan ke SMA Negeri ), secara objektif, menurut pendapatku diperlukan gerak cepat dari pemerintah, Diknas dan instansi terkait untuk melakukan beberapa hal (selain mendistribusikan murid) agar tujuan utama diterapakannya aturan ini bisa tercapai

Salah satu dari banyak hal itu, menurutku, adalah tentang para guru.

Merotasi dan mendistribusikan  guru- guru terbaik ke banyak sekolah, agar tidak semata menumpuk di sekolah favorit, adalah pekerjaan pemerintah selanjutnya.

Lalu setelah itu, mungkin perlu adanya semacam sesi untuk 'memasukkan nilai- nilai baru' untuk menyiapkan  mental bagi para guru. Terutama, guru-guru sekolah favorit dan guru- guru di sekolah-sekolah yang selama ini biasanya menerima siswa-siswa yang secara akademik berada di peringkat terbawah.

Sebab, kalau  guru- gurunya tidak siap mental, output dari aturan yang sebetulnya tujuannya baik ini juga tidak bisa maksimal.

***

Aturan baru, memang selalu bikin gonjang- ganjing. Kaget- kaget.

Saat aturan tentang jarak ini diumumkan, aku melihat banyak sekali kekagetan, kekesalan, kemarahan, rasa frustrasi di pihak para murid dan orang tuanya.

Waktu menghadiri sosialisasi peraturan baru, omelan-omelan tentang "ngapain dong capek- capek belajar kalau seperti ini" banyak sekali terdengar.

Omelan itu tentu saja muncul dari para murid dan orang tua yang prestasi akademiknya ada di peringkat atas, yang anak-anaknya saat duduk di kelas 3 SMP sudah mati- matian belajar untuk dapat nilai Ujian Nasional yang bagus dengan tujuan untuk bisa masuk sekolah favorit tertentu.

Tapi, jangan salah, kekhawatiran ternyata juga muncul di pihak lain. Kekhawatiran yang sebaliknya.

Aku pernah bertemu seseorang yang juga mengomel tentang aturan baru ini. Orang ini khawatir tentang nasib anak-anak yang rumahnya kebetulan ada di sekitar sekolah-sekolah favorit. Standar nilainya tinggi. Sementara kemampuan anaknya biasa-biasa saja.

"Kan kasihan anaknyaaa.." katanya, " Nanti jadi keseret- seret.."

Kukatakan pada orang tua tersebut bahwa rasanya sekolah juga nanti akan menyesuaikan. Melihat peta murid yang dengan cara seleksi serupa ini rentang kemampuannya akan lebih beragam, sekolah juga akan menyesuaikan standar dan cara ajarnya.

Itu kataku, ketika itu.

Dan lalu baru belakangan kusadari, eh.. soal ‘sekolah juga akan menyesuaikan standar dan cara ajar’ itu mungkin ternyata tidak semudah yang diucapkan..

***

Saat seleksi tahap 1 yang lalu, seleksi jalur non akademik, walau tahu bahwa si bungsu tidak punya peluang untuk bisa diterima melalui jalur non-akademik tersebut, aku dan suamiku jalan- jalan ke beberapa SMA di kota kami. 

Putra kami itu bukan anak yang bisa daftar masuk melalui seleksi tahap 1 untuk jalur prestasi non-akademik, orang tuanya bukan guru, serta tidak termasuk anak berkebutuhan khusus.

Kalau mau lewat jalur surat miskin ya kok rasanya kami tidak miskin, juga rumah kami tidak mepet dekat sekolah.

Sementara, hal- hal tersebutlah yang bisa membuat anak didaftarkan melalui saringan tahap pertama tersbut.

Jadi ya sudahlah, dia akan mesti daftar lewat jalur yang masih memperhitungkan capaian akademik, yang terdiri dari dua komponen utama: jarak rumah ke sekolah, dan nilai ujian nasional.

Nah itu, walau sadar bahwa si bungsu hanya akan bisa mendafar di tahap kedua, saat pendaftaran tahap satu yang lalu, kami datang ke beberapa SMA di kota kami, untuk melihat- lihat situasi. Sebab walau ini anak bungsu, anak ketiga, kami tak punya pengalaman mendaftarkan anak dengan cara seperti ini. Dua kakaknya dulu, masuk SMA Negeri melalui testing.

Salah satu SMA yang kami datangi adalah SMA dimana kakak- kakaknya dulu bersekolah.

Dan di SMA itu, SMA Negeri yang konon paling top di kota kami, somehow kami menangkap aura kefrustrasian.

Saat kami mengobrol dengan guru- guru disana, kegemasan bahwa 'entah siapa dan seperti apa murid yang diterima di sekolah ini nanti' tertangkap jelas. Kalimatnya tentu tidak eksplisit seperti itu. Tapi dari gesture dan kalimat implisit, kekhawatiran dan kegemasan itu jelas tampak.

Bisa dibayangkan. SMA itu, SMA dimana biasanya hanya murid- murid dengan nilai rata- rata ujian nasional SMP di atas 90-lah yang akan diterima. Jadi profil muridnya selama ini sudah tampak jelas. Murid- murid disitu adalah anak- anak yang dikaruniai otak cerdas, dan/ atau rajin belajar.

Lalu tiba- tiba sekarang sekolah ini akan harus menerima murid dengan rentang kecerdasan dan prestasi akademik yang berbeda dari sejarah panjang sekolah ini. Profil murid yang berbeda. Peer presure yang juga pasti akan berubah. Guru- guru tentu harus menyesuaikan diri. Dan kesiapan guru secara mental untuk mengajar murid- murid dengan profil yang berbeda ini, pasti akan mempengaruhi suasana belajar dan mengajar di sekolah.

Maka muncullah kegamangan itu.

Sebaliknya perubahan yang mungkin akan besar juga akan dihadapi para guru di sekolah yang tadinya profil muridnya ada di ranking (ter)bawah secara akademik. Sebab sekolah- sekolah ini juga akan kebagian murid- murid cerdas yang berlari cepat.

Dan padahal, menangani murid- murid serupa ini juga tidak mudah. Murid- murid cerdas, tidak semua mudah ditangani. Banyak yang sangat kritis, banyak yang (tampak seperti) pembangkang atau acuh tak acuh. Banyak yang mempertanyakan semua hal dari A sampai Z.  Perlu keahlian dan kesabaran tersendiri untuk menangani murid macam ini agar potensi terbaik merekalah yang keluar, dan bukan malah jadi mogok sekolah sebab bosan, sebal, tidak tertarik sekolah dan sebagainya..

***

Kesan kami terhadap kegemasan dan kekhawatiran guru- guru di SMA favorit yang kami datangi itu ternyata lalu dikuatkan oleh cerita seorang kawan, yang suaminya mengajar di SMP favorit di ibukota provinsi. Di ibukota provinsi, aturan soal jarak ini sudah lebih dulu diterapkan sejak beberapa tahun yang lalu, walau belum seketat tahun ini. Dan konon katanya, beberapa tahun belakangan setelah adanya penerapan aturan tersebut, guru- guru di sekolah favorit juga banyak yang jadi 'lemes, nggak semangat ngajar'.

Pasalnya? Ya itu. Karena rentang kemampuan murid yang sangat beragam itu, gurunya jadi bingung mau mengajar dan membuat standar di level yang mana. Dibuat tinggi, ada yang tak bisa menjangkau. Dibuat rendah, ada yang jadi bosan.

Belum lagi soal keterlibatan orang tua. Sejarahnya, di sekolah- sekolah favorit itu, keterlibatan orang tua terhadap urusan kejuaraan, lomba- lomba, kegiatan ekstra yang akan mengharumkan nama sekolah dan mengangkat prestasi murid, itu sangat tinggi. Sementara dengan profil murid yang lebih beragam sekarang, tidak demikian yang terjadi. Jadi, lebih sulit untuk membuat program- program semacam ini.

Nah.. maka, menurutku, peraturan baru soal jarak, zonasi, rayon ini, juga sedikit banyak akan menjadi ujian bagi para guru, selain bagi sebagian murid yang selama ini biasa bersekolah di sekolah dengan rentang kemampuan yang seragam, hampir setara dalam rentang variasi yang sempit.

***

Dalam hal ini, aku bersyukur bahwa kebetulan putra bungsu kami, sejak SD hingga SMP kemarin, bersekolah di sekolah swasta yang justru sejak awal tidak menyaring kemampuan murid dari kecerdasan ataupun kemampuan akademik.

Falsafah SD dan SMP si bungsu itu adalah bahwa bukan hanya anak cerdas, tapi semua anak berhak sekolah. Maka saat pendaftaran murid tidak disaring berdasarkan kecerdasan atau kemampuan akademik. Ditambah lagi, sekolah itu memiliki faham bahwa pendidikan karakter yang baik lebih penting dan perlu didahulukan daripada kemampuan akademik. Maka sistem penerimaan muridnya adalah, siapa yang mendaftar lebih dulu, selama tempat masih ada, akan diterima.

Jadi, putra bungsu kami sejak usia belia di SD kemudian dilanjutkan saat SMPnya, memang sudah biasa bersekolah di tempat dimana kemampuan akademik siswanya beragam. Semoga hal ini memudahkannya melalui masa penyesuaian di SMA nanti.

Nilai ujian nasional di SMP tempat si  bungsu bersekolah itu, rentangnya juga luas, dari murid dengan nilai rata- rata 60-an sampai murid dengan rata- rata 90-an juga ada.

Dan, mereka selama ini juga baik- baik saja. 

Suasana di sekolah itu, dengan rentang kecerdasan dan kemampuan akademik murid yang beragam itu baik. Murid- murid bersekolah dengan bahagia. Mereka juga saling berteman dengan baik. Di sekolah ini, murid- murid yang lebih cepat menerima pelajaran biasa dan akan dengan senang hati mengajari teman- temannya yang belum bisa menangkap pelajaran tersebut. Sikut- sikutan dan sikap 'ingin pintar sendiri' jadi dengan sendirinya minimal dalam kondisi sekolah seperti itu.

Aku percaya, salah satu kunci mengapa semua berjalan baik di sekolah tersebut selama ini adalah karena guru- gurunya memang secara mental siap, dan sudah terlatih untuk mengajar murid- murid dengan beragam tipe dan kemampuan itu.

Semoga.. semoga peraturan baru di sekolah negeri saat ini bisa diikuti juga dengan kesiapan mental para murid, orang tua dan guru di sekolah terhadap keberagaman kemampuan di sekolah nanti, sebab kesiapan mental itu merupakan salah satu komponen penting agar  tujuan baik aturan baru ini bisa tercapai..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun