Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tas Mahal Akan Membuatmu Lebih Pintar di Sekolah?

30 Maret 2017   17:42 Diperbarui: 31 Maret 2017   05:00 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari yang lalu, di Inggris.

KAMI ada di sebuah toko yang diantaranya menjual tas- tas berkualitas bagus dengan harga yang reasonable.

Aku sudah hampir dua minggu disana, saat itu. Sedang megunjungi cah ayu, putri sulung kami  yang kuliah disana. Sudah datang ke asramanya, masuk ke kamarnya, dan karenanya tahu, bahwa tak banyak barang- barang baru dimilikinya.

Tas, sepatu dan berbagai barang lain adalah barang lama, kecuali satu dua barang kecil dan winter coat yang dibelinya beberapa bulan yang lalu, saat jacket- jacket yang dibawanya dari Indonesia tak lagi cukup untuk bisa menghangatkan badannya di tengah udara dingin yang menggigit.

Maka begitulah. Dia memiliki coat baru. Sementara sepatu dan tas-nya, masih barang yang kukenali, yang sudah dimiliki dan dipakainya sejak masih di tanah air..

***

Aku berkeliling melihat isi toko dan menemukan sebuah tas lalu menunjukkan pada putriku.

" Nduk," kataku, " Lihat ini. Bagus ya? "

Dia mengamati tas itu, yang lalu kuangsurkan padanya. Tas bagus, kuat, yang rasanya cocok untuknya.

" Mau, nggak? Untukmu. Kalau mau, bayarlah.. "

Dia tersenyum.

" Nggak usah bu. Aku masih cukup. "

Eh?

" Kalau mau, ambil aja, " kataku, sambil menegaskan, " Ibu bayarin. "

Anakku tertawa.

" Ngga usah, bu. Aku ngga perlu.."

Hmmm.. Hmmm..

Ya sudahlah, kalau dia tidak mau. Maka, tas itu kembali ke rak tempatnya berada sebelumnya.

Dan aku jadi teringat, peristiwa bertahun- tahun silam.

Dia kelas 2 SD saat itu, dan suatu hari berkata padaku, " Bu, aku ingin tas yang seperti punya F.. "

F adalah temannya di sekolah. Si sulung gadis cilikku saat itu bersekolah di SD swasta terkenal di kota kami. Sekolah yang uang pangkal dan uang sekolahnya cukup mahal. Maka secara otomatis tersaring bahwa yang bersekolah disana adalah anak- anak dari para orangtua yang kemampuan ekonominya baik.

' Tas seperti milik F' yang disebutkannya, aku tahu pasti, berharga mahal..

***

Suatu hari, bertahun yang lalu, di sebuah mall mewah di ibukota.

Kami ada di sebuah toko yang diantaranya menjual tas- tas bergambar tokoh- tokoh kartun dan boneka- boneka yang digemari kanak- kanak.

“ Seperti ini tasnya? “ tanyaku pada gadis kecil kelas 2 SD itu.

Dia mengangguk senang.

Saat beberapa hari sebelumnya dia mengatakan padaku ingin memiliki ‘ tas seperti punya F ‘, aku segera tahu tas seperti apa yang diinginkannya.

Sebab aku ibu bekerja, aku memang tak setiap hari bisa mengantar putriku ke sekolah. Tapi pada saat- saat yang memungkinkan, aku mengatur pekerjaanku sehingga sekali- sekali bisa melakukan teleworking. Bekerja dari rumah, dan karenanya bisa datang ke sekolah anak- anak sekali- sekali.

Yang sekali- sekali itu cukup bagiku untuk bisa mengamati ini dan itu di sekolah. Termasuk seperti apa ‘tas punya F’ itu.

Dan siang itu, putri sulungku menatapku penuh harap, di depan tas yang diidamkannya. Tas sekolah bagus, yang mahal sekali. Model tas yang beberapa hari sebelumnya dia minta padaku.

Aku berjongkok di depan tas tersebut. Kubalikkan label harga tas itu. Harga yang tertera tak jauh dari apa yang kuperkirakan.

“ Nduk, “ kutunjukkan label harga tas itu pada putriku, “ Ini harga tasnya. “

Putriku menatap label harga itu. Pada usia sebesar itu dia belum terlalu paham nilai uang.

“ Ini mahal, “ kataku padanya.

“ Ibu tidak punya uang? “ tanya putriku.

Aku tak hendak berbohong. Maka kukatakan pada putriku, “ Ibu punya uangnya. Tapi uang sebanyak itu, sebetulnya bisa dipakai untuk banyak hal lain selain tas, Nduk. “

Putriku menatapku. Entah paham entah tidak. Tapi kukatakan padanya, “ Tas yang biasa kau pakai sekarang ke sekolah itu, lucu kan ya ? “

Putriku mengangguk. Ada satu tas favoritnya yang sering dia pakai ke sekolah saat itu.

“ Nah, “ kataku, “ Uang yang harus dibayarkan kalau kita beli tas yang ini – kutunjuk tas yang ‘seperti punya F’ itu – itu jumlahnya bisa dipakai membeli delapan tas seperti yang biasa kau pakai. “

Putriku sepertinya mulai paham apa yang kukatakan. Delapan banding satu itu sepertinya bisa dicerna logikanya.

“ Padahal tas yang kau pakai itu sudah bagus, kan, “ kataku.

Dia mengangguk, lalu menatap lagi tas yang sangat diinginkannya itu.

girl-bags-58dce0937697739c2b5780f9.jpg
girl-bags-58dce0937697739c2b5780f9.jpg
“ Nduk, “ kataku lagi, “ Kalau murid sekolah pakai tas yang mahaalll begini, dia akan pasti jadi lebih pintar tidak di sekolah? “

Putriku menjawab dengan gelengan kepala.

“ Nah, “ kataku, “ Jadi artinya tas semacam ini tidak diperlukan, ya ? Karena tidak bisa langsung bikin murid sekolah jadi pintar ? “

Putriku mengangguk.

“ Nduk, “ kataku menegaskan, “ Walaupun ibu dan Bapak punya uangnya, ibu dan Bapak tidak mau membelikanmu tas serupa ini. Sebab itu berlebihan. Uangnya nanti kita pakai untuk yang lain saja, yang lebih perlu. Kau pakai tasmu yang sekarang saja. Nggak apa- apa ya? “

Putriku menatap lagi tas yang tadinya sangat dia dambakan itu ( dan mungkin saat itu juga masih dia inginkan ). Lalu dia menatapku.

Tidak ada tantrum. Tidak ada protes. Entah saat itu dia memang langsung paham atau sekedar menurut saja, aku tidak tahu. Tapi itulah yang terjadi.

“ Sekarang kita makan aja, ya? “ kataku, lalu kugandeng dia ke gerai makanan yang tak jauh darisana, dimana ayah dan adiknya sudah menanti. Tas idamannya, tak kami beli.

***

Di Inggris beberapa hari yang lalu.

Kenangan itu berputar- putar dalam ingatanku.

Duluuu, belasan tahun yang lalu, gadis cilik kelas 2 SD itu berdiri di depan sebuah tas yang diinginkannya, dan mendengar ibunya ini mengatakan, “ Ibu punya uang segitu, tapi ibu tak mau membelikan tas itu.. “

Ketika itu, aku ingin mengajarkan padanya untuk tak berlebihan. Sekolah itu bukan catwalk. Sekolah itu tempat belajar. Bukan tempat untuk pamer barang- barang mahal ( atau sangat mahal, terlalu mahal ).

Dan kini, belasan tahun kemudian, kutatap anak gadisku. Anak gadis yang tumbuh menjadi gadis mandiri yang gigih, yang kuliah di benua lain atas upayanya sendiri merebut beasiswa dari sebuah lembaga internasional, yang ketika kutawari untuk membeli tas baru menggeleng dan mengatakan, “ Tidak usah bu, aku tidak perlu, aku masih cukup.. “

Aku mengangguk. Baiklah jika begitu katanya.

Dan kami berlalu meninggalkan tas itu tetap berada di rak tempatnya terpajang tadi..

p.s. Kutulis catatan ini dengan mata yang basah. Mendidik anak, tidak pernah mudah. Kadang kita memang harus membatasi banyak hal, agar di masa depan, dia bisa mengendalikan keinginannya. Cerita ini mungkin berakhir lain jika saat bocah perempuan kecil itu dulu meminta segala sesuatu, apapun, segala hal itu selalu kami kabulkan...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun