Kucari kantong plastik, dan kemudian kupenuhi kantong plastik itu dengan berbotol- botol air dan juice buah.
Di tenda kami, air melimpah, juice buah dalam berbagai rasa tak pernah kurang. Kami boleh mengambilnya sebanyak yang kami mau dari kulkas, setiap saat.
Lalu dengan kantong penuh botol air dan juice buah itu, aku kembali berdiri di pinggir jalan, di muka tenda. Kuulurkan air dan juice buah itu pada siapapun yang lewat dan mau menerimanya. Berharap bahwa hal tersebut akan membantu membasahi kerongkongan mereka setelah berjalan jauh.
Tak kupilih siapa yang kusodori air itu. Tak kulihat apa bangsanya, apa warna kulitnya. Jika dia berjalan melenggang tanpa membawa bekal apapun, kusodorkan saja air dan juice itu bahkan tanpa bicara.
Tapi melihat apa yang terjadi tadi pagi, kubawa air dan juice jauh lebih banyak dari apa yang kubutuhkan sendiri. Lalu, kembali dalam perjalanan menuju tempat melempar jumroh dan dalam perjalanan pulang, kuulurkan air dan juice itu pada siapapun yang kebetulan kutemui.
Biarlah seperti menggarami lautan. Biarlah tak seberapa berarti. Biar pulalah itu tak sebanding jumlahnya dengan begitu banyak jamaah. Sebab aku sungguh tak sanggup berdiam diri saja, maka kuturuti apa yang diperintahkan hatiku untuk dilakukan...
Tulisan sebelumnya:Â http://www.kompasiana.com/rumahkayu/mina-di-jalan-depan-tendaku-1_5605f0561f23bdae048b4568
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H