Wah. Perebutan kekuasaan dimulai.
Anak- anakku sangat mencintai ayahnya. Dan pemikiran bahwa sang ayah akan dengan semena- mena diajak tinggal oleh ibu – yang suka punya ide aneh- aneh -- di tempat yang tak mereka sukai dengan serta merta membuat mereka galau.
Ayah mereka -- suamiku -- juga ada bersama kami saat itu di ruang yang sama.
Dia tersenyum- senyum melihat perdebatan kami. Senyumnya makin lebar ketika salah seorang anakku dengan nada khawatir bertanya padanya, “ Bapak, memangnya Bapak mau ya, tinggal di sana nanti? “
Suamiku tertawa lebar. Dia sengaja menghindari pandanganku ketika menjawab pertanyaan anaknya, “ Mmm... Bapak... di sini aja deh. Dirumah kita yang ini aja. “
Anak- anakku tertawa lega sambil serentak menoleh padaku, sementara ayah mereka tetap senyum- senyum tanpa mau menatapku.
Aduh, aku ‘geram' betul melihat konspirasi Bapak dan anak itu.
Tapi, apa yang bisa kulakukan?
Bagiku, merekalah cahaya dan jiwa rumah kami. Tak ada tempat seindah apapun, tak ada rumah senyaman apapun yang akan terasa indah, nyaman dan hangat tanpa mereka. Rumah, bagiku, adalah tempat dimana orang- orang tercinta itu berada...
Jadiiii...
Di bawah tatapan kemenangan mereka semua, aku terpaksa menyerah.