Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Uniknya Anak- anak: Aku Kapten Bagi Jiwaku (1)

24 Maret 2013   21:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:17 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1364136727230272554

Aku berterimakasih

atas jiwaku yang tak tertaklukkan

Aku tuan bagi nasibku

Aku kapten bagi jiwaku

( Dikutip oleh Nelson Mandela dari puisi berjudul ‘Invictus’ karya William Ernest Henley )

SIAPA bilang menjadi ibu itu mudah?

Menjalanihari- hari sebagai seorang ibu sama sekali tidak mudah. Sebab, apa yang dirasakan oleh seorang ibu akan mempengaruhi seluruh keluarga.

Baik suami, maupun anak- anaknya.

Dan itu sebabnya aku tak pernah berminat untuk memperdebatkan apakah pilihan menjadi ibu bekerja atau ibu tidak bekerjakah yang lebih baik. Bagiku, apapun keputusannya, itu sama baiknya. Dengan catatan: keputusan tersebut akan membuat dirinya sendiri bahagia.

Itu saja.

Sepanjang apa yang diputuskan tersebut membuat seorang ibu bahagia, maka keputusan itu baik adanya.

Mengapa bahagia itu yang kutekankan ?

Karena, seperti yang telah kuulas sedikit di atas, apapun yang dirasakan atau dilakukan seorang ibu akan sangat mempengaruhi situasi keluarga. Jadi, jika ibu dalam keluarga tersebut adalah ibu yang berbahagia, maka dia akan juga dapat membuat keluarganya merasakan kebahagiaan tersebut.

Begitu pula sebaliknya.

Menjadi seorang ibu itu tidak mudah.

Sebab, sebenarnya dialah yang akan harus menjadi benteng pertahanan keluarga. Yang akan harus membuat dunia tampak selalu cerah dan gembira. Dia juga yang harus menularkan optimismenya pada keluarga serta menyembunyikan semua kelelahan dan keresahan hatinya. Menyimpan rapat- rapat beragam keraguan dan ketakutan akan masa depan agar anak- anaknya terutama, dapat tumbuh sehat dan bahagia.

***

" Ibu, " begitu biasanya anakku berkata saat dia sedang berjuang untuk menggapai sesuatu yang besar, " Ibu tolong doain aku ya? "

Ya.

Aku akan mengangguk dan menjawab, " Iya, ibu doain. "

Adakalanya anakku menambahkan " Ibu beneran lho bu, Ibu doain aku. Kalau ibu nggak doain aku, aku nggak bisa dapetin itu soalnya. "

Dan aku akan tersenyum lebar, mengangguk lagi, berjanji akan mendoakannya. Tak perduli apapun perasaanku sendiri, jika itu baik untuk masa depannya, maka aku akan mengangguk dan mengatakan padanya, " Iya ibu doain. Yakin deh bisa. Usaha aja. Hasilnya, serahkan sama Allah. Biar Allah yang atur, diberi atau enggak. Saat ini atau ditunda... "

Ah.

Begitu sering dalam perjalanan membesarkan anak- anak itu aku harus menahan beragam rasa yang campur aduk di dalam dada ini.

Anak- anakku mempunyai banyak keinginan. Memiliki beragam cita- cita.

Mereka membaginya padaku.

Beberapa diantaranya membuatku terkesiap. Sebab jika mereka inginkan itu, maka mereka akan harus mencarinya di tempat yang jauh dari rumah. Bukan sesuatu yang terlalu kuinginkan, tentu saja. Seperti semua ibu di dunia, aku ingin kami semua berkumpul di tempat yang berdekatan.

Tapi selama ini, tak pernah kukatakan sepatah katapun hal semacam itu pada anak- anakku.

Sebab tugasku adalah membesarkan hati mereka, membuat mereka kuat, menanamkan keyakinan pada diri mereka bahwa mereka akan bisa meraih cita- cita mereka. Bukan meragukan, bukan membuat mereka sedih. Itu sebabnya, walau sebenarnya dalam banyak saat air mataku membanjir, kuupayakan agar air mata itu tak pernah terlihat oleh para malaikat kecil yang dikaruniakan Tuhan pada kami itu.

***

Tak selalu semua hal berjalan mulus dalam hidup. Baik bagi kami suami istri maupun bagi anak- anak kami.

Catatan tentang kerasnya hidup telah dirasakan oleh putri sulung kami saat dia duduk di kelas 6 SD.

Dia dicurangi ketika itu.

Bukan (hanya) oleh kawan seusianya tapi juga oleh orang tua kawannya itu.

Dan saat dia dicurangi itu, kami, aku dan ayahnya, memilih untuk tak melawan secara frontal kecurangan itu tapi kami bicara pada putri sulung kami bahwa kami tahu dialah seharusnya yang menjadi juara. Tak perlu kecil hati jika kemudian dengan curang gelar juara itu jatuh pada orang lain.

" Semua orang tahu siapa juaranya, " itu yang kami katakan padanya, " Tetaplah berusaha, dan sekian tahun lagi, kita lihat siapa juara sejatinya. "

Putri kami, 11 tahun usianya saat itu, sedang menjalani tahun terakhirnya di SD.

Sulungku ini menyelesaikan SD-nya dalam waktu 5 tahun. Dia termasuk angkatan pertama kelas akselerasi di SD-nya. Namun bukan semata soal kelas akselerasi yang ingin kuceritakan di sini. Yang terpenting yang ingin kuceritakan adalah bahwa membangun mental juara itu bukan pekerjaan instan.

Aku adalah orang tua yang selalu prihatin melihat anak- anak dalam usia dini dipacu untuk mencapai prestasi ini dan itu, dan lalu dipamerkan kemana- mana bahwa dia juara. Aku sendiri tak pernah berminat menjadikan anak- anakku menjadi bahan pameran seperti itu. Sebab aku percaya, pendidikan anak adalah urusan jangka panjang.

Bukan hanya otaknya yang perlu dibangun, tapi juga hatinya.

Jiwanya.

Pernah kudengar cerita memprihatinkan tentang kakak kelas putriku. Juara ini dan itu sejak SD, termasuk peraih medali emas olimpiade. Dan yang kudengar, anak ini bahkan sejak SD sering menjerit- jerit di sekolah, tak tahan atas tekanan yang diberikan oleh orang tuanya untuk harus berprestasi, harus menjadi juara. Harus selalu nomor satu.

Kudengar, dia makin bermasalah saat dia masuk SMP dan SMA.

Dia masih berprestasi, masih menjadi juara ini dan itu. Dan orang tuanya, terutama ibunya, selalu dengan bangga melaporkan pencapaian prestasi anaknya dimanapun, baik saat mengobrol dengan ibu- ibu lain, juga di status facebooknya.

Luar biasa, memang. Apa yang diraih anak tersebut, tak bisa dipungkiri, cemerlang dan luar biasa.

Hanya saja, kudengar cerita di belakang layar yang sungguh memprihatinkan, yaitu bahkan saat dia baru duduk di kelas dua SMA saja, dia sudah beberapa kali melakukan upaya bunuh diri.

Ya, benar. B-u-n-u-h d-i-r-i.

: Lalu buat apa semua medali dan piala itu, jika hanya itu akhirnya yang terjadi? Jika semua itu harus ditebus dengan jiwa yang rapuh?

***

Oh jangan salah. Aku bukan sedang bicara tentang hidup bersantai- santai dan tak berusaha.

Tidak.

Aku tidak sedang bicara itu.

Aku hanya sedang bicara bahwa tak ada gunanya menjadi juara jika juara itu ada di kulit semata. Menjadi juara itu harus lengkap dengan memiliki mental juara. Tak ada gunanya menjadi juara jika mental juara itu tak dimiliki.

Kegigihan, pantang menyerah, dan meraih semuanya dengan integritas yang baik serta jujur, ditambah dengan bahwa semua itu dilakukan dengan riang gembira merupakan hal yang menurutku sangat penting dimiliki oleh para juara.

Untuk apa jadi juara jika semata tekanan mental yang diperoleh? Untuk apa jadi juara jika demi menjadi juara itu kita harus melakukan kecurangan?

Untuk apa menjadi juara jika tak memiliki mental juara?

Tidak,tak seorangpun dari aku dan suamiku yang menginginkan itu terjadi pada anak- anak kami.

Karenanya, apa boleh buat, pada usianya yang kesebelas, kami memutuskan untuk membiarkan putri kami menghadapi dunia, membiarkannya menelan kecurangan. Membiarkan gelar juara yang seharusnya menjadi miliknya direbut dengan curang dan kasar oleh orang lain.

Karena kami inginkan anak- anak kami menjadi juara dalam jangka panjang. Bukan hanya sesaat.

Karena kami ingin anak- anak kami menjadi juara yang memang memiliki mental juara...

** gambar diambil dari: http://www.classicdesignawards.com/ **

Bersambung ke bagian-2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun