Pesawat yang membawaku dari Jakarta ke Singapore mendarat di bandara Changi sekitar jam 11 malam, sementara pesawat berikutnya untuk penerbangan Singapore- Hong Kong baru akan berangkat jam 6 pagi keesokan harinya. Karena itulah perusahaan penerbangan yang kugunakan menyediakan sebuah kamar di transit hotel bandara bagiku.
Kali itu adalah pengalaman pertamaku memasuki sebuah transit hotel.
Meja resepsionis di transit hotel itu ternyata sempit. Dan hanya satu.
Jadi tak seperti hotel pada umumnya dimana para pengunjung dilayani dalam deretan yang berbeda oleh beberapa orang resepsionis sehingga masing- masing memiliki privacy, pengunjung yang hendak check in di transit hotel ini harus berdiri menanti di tempat yang sama di sebuah meja resepsionis yang tak luas.
Jelas tak menjamin privacy. Apapun yang dikatakan oleh atau kepada orang di meja resepsionis akan dapat terdengar oleh tamu lain yang berdiri di situ.
Kusapu dengan pandangku suasana sekeliling saat melangkahkan kakiku ke arah hotel.
Hanya ada seorang lelaki sedang duduk di depan laptop di meja yang berada di ruangan terbuka di muka resepsionis. Mudah ditebak, dia tamu yang sedang menggunakan fasilitas jaringan internet gratis yang tersedia di seluruh ruang publik di bandara Changi.
Lumayan, pikirku. Aman.
Kesimpulan yang terlalu cepat kuambil, ternyata. Karena semenit kemudian ketika baru saja kusodorkan lembaran kertas reservasi yang diberikan oleh perusahaan penerbangan pada resepsionis hotel, kudengar suara- suara di belakangku.
Beberapa orang lelaki tiba. Mereka saling berbicara dalam bahasa Indonesia.
Entah bagaimana bahkan ketika baru suara terdengar dan belum kulihat mereka, ada sinyal tanda bahaya menyala di hatiku. Perasaan tak enak di hatiku menguat ketika salah seorang dari mereka mendekati meja resepsionis dan berdiri di sampingku.