Tentang para kupu- kupu.
DAN zebra lelaki berhidung belang…
Bukan hanya kupu- kupu malam, tapi para lelaki berhidung belang yang kutemui saat berada dalam perjalanan juga selalu membuatku merasa tak nyaman.
Walau untunglah, situasi seperti itu tak sering terjadi…
Selama aku bekerja dan entah telah berapa kali bepergian sendiri untuk keperluan pekerjaan, baru dua kali aku merasakan takut yang amat sangat sehubungan dengan hal ini. Yang pertama, terjadi duluuuu bertahun yang lalu, saat aku baru mulai bekerja dan masih lajang. Dan yang kedua, terjadi belakangan, ketika aku sudah lebih matang, telah menikah dan memiliki pengalaman bekerja cukup panjang.
Tapi sungguh, pengalaman serupa itu sama sekali bukan hal yang menyenangkan, dan bagiku sebenarnya termasuk dalam situasi yang tergolong sebagai 'kondisi darurat'...
***
Zebra. Ilustrasi: kapstadt.org
Setelah pengalaman tak menyenangkan harus menginap di hotel dimana para kupu- kupu malam berkeliaran, aku pernah pula mengalami saat dimana harus kuhadapi para lelaki hidung belang.
Aku dalam perjalanan menuju USA saat itu. Dan perjalanan panjang itu mengharuskanku untuk berganti pesawat beberapa kali.
Tempat transit pertama adalah Singapore.
Pesawat yang membawaku dari Jakarta ke Singapore mendarat di bandara Changi sekitar jam 11 malam, sementara pesawat berikutnya untuk penerbangan Singapore- Hong Kong baru akan berangkat jam 6 pagi keesokan harinya. Karena itulah perusahaan penerbangan yang kugunakan menyediakan sebuah kamar di transit hotel bandara bagiku.
Kali itu adalah pengalaman pertamaku memasuki sebuah transit hotel.
Meja resepsionis di transit hotel itu ternyata sempit. Dan hanya satu.
Jadi tak seperti hotel pada umumnya dimana para pengunjung dilayani dalam deretan yang berbeda oleh beberapa orang resepsionis sehingga masing- masing memiliki privacy, pengunjung yang hendak check in di transit hotel ini harus berdiri menanti di tempat yang sama di sebuah meja resepsionis yang tak luas.
Jelas tak menjamin privacy. Apapun yang dikatakan oleh atau kepada orang di meja resepsionis akan dapat terdengar oleh tamu lain yang berdiri di situ.
Kusapu dengan pandangku suasana sekeliling saat melangkahkan kakiku ke arah hotel.
Hanya ada seorang lelaki sedang duduk di depan laptop di meja yang berada di ruangan terbuka di muka resepsionis. Mudah ditebak, dia tamu yang sedang menggunakan fasilitas jaringan internet gratis yang tersedia di seluruh ruang publik di bandara Changi.
Lumayan, pikirku. Aman.
Kesimpulan yang terlalu cepat kuambil, ternyata. Karena semenit kemudian ketika baru saja kusodorkan lembaran kertas reservasi yang diberikan oleh perusahaan penerbangan pada resepsionis hotel, kudengar suara- suara di belakangku.
Beberapa orang lelaki tiba. Mereka saling berbicara dalam bahasa Indonesia.
Entah bagaimana bahkan ketika baru suara terdengar dan belum kulihat mereka, ada sinyal tanda bahaya menyala di hatiku. Perasaan tak enak di hatiku menguat ketika salah seorang dari mereka mendekati meja resepsionis dan berdiri di sampingku.
Dalam kondisi normal, bertemu teman sebangsa di tempat asing akan sangat menyenangkan. Tapi tidak kali itu. Sebab alarm tanda bahaya dalam diriku bahkan berbunyi makin kencang saat lelaki yang tak kukenal itu berada cukup dekat seperti itu. Jadi, walau saat itu sudah sangat lelah dan mengantuk, kupaksakan untuk tetap siaga dan sadar penuh.
Kuucapkan doa dalam hati. Semoga tak ada apa- apa yang terjadi. Perjalanan ini baru mulai…
Lelaki disampingku berulang kali melirik ke arahku.
Kuabaikan dia.
Tak perlu melihat jelas untuk tahu bagaimana caranya memandangiku. Menyebalkan.
Sebenar- benarnya, seharusnya aku tidak terlalu menarik perhatian. Sebab aku lusuh dan mengantuk. Rambutku kuikat sekedarnya. Jangan tanya lagi apakah ada jejak bedak atau lipstick di mukaku. Sama sekali tidak. Aku juga hanya mengenakan celana jeans dan t-shirt serta berjacket katun yang gombrong dan agak panjang. Mestinya, itu bukan penampilan yang bisa membuat orang sengaja memperhatikan aku.
Tapi entahlah, para hidung belang mungkin memang melirik semua perempuan, he he. Menyebalkan, ya?
Selesai urusan administrasi, kuterima kunci yang disodorkan oleh resepsionis lalu kumasuki hotel itu. Kuamati situasi. Lorongnya sepi, dan agak gelap. Pintu- pintu berderet berdekatan. Kamar- kamar di hotel transit ini memang, sesuai fungsinya, tak terlalu besar.
Perasaan tak enak itu memenuhi dadaku kembali. Rasa itu bertambah kuat ketika kumasukkan anak kunci ( yang berupa kunci biasa, bukan kartu berkode magnetik) ke pintu kamar. Pintu itu dapat terbuka hanya dengan seputaran kunci saja.
Kumasuki kamar dan kuperiksa pintu bagian dalam.
Dan rasa cemas makin melandaku dengan amat sangat ketika kutemukan bahwa tak ada pengaman tambahan apapun pada pintu tersebut. Tak ada kait pintu, tak ada rantai, bahkan tak ada pula tombol yang membuat pintu akan mengunci dan hanya akan dapat dibuka dari dalam.
Semua fakta itu membuatku berpikir bahwa jika ada orang yang memegang kunci duplikat kamar itu dan bermaksud buruk, maka dia hanya perlu memasukkan anak kunci itu ke lubang kunci di pintu kamar, memutarnya sekali, dan…
Aku tak terlindungi sama sekali…
Itu sebabnya, kuputuskan untuk keluar dari kamar dan mencari tempat lain saja malam itu.
Kutaruh tas kecil berisi pakaian untuk semalam di dekat tempat tidur. Kupastikan bahwa dompet, passport, ticket, boarding pass serta laptopku semua ada di dalam ransel. Lalu kubawa ransel itu keluar kamar.
Kucari tempat terbuka, area publik di airport Changi itu.
Kudatangi cactus garden yang ternyata dipenuhi para lelaki yang sedang merokok. Jelas bukan pilihan menarik. Kubalikkan badan dan akhirnya kupilih sebuah sofa yang terletak diantara beragam bunga anggrek yang bermekaran. Tempat itu berada di sekitar toko- toko parfum, coklat dan entah apalagi yang buka dua puluh empat jam. Luas, terang benderang, serta aku yakin, akan dilalui petugas keamanan yang berpatroli malam hari itu.
Aman.
Begitulah, aku duduk di situ. Tentu saja aku tak dapat duduk di situ tanpa melakukan apa- apa. Jadi, waktu kulalui dengan menulis di laptopku..
Aku tetap berada di situ sampai subuh menjelang. Baru saat itulah aku kembali ke kamarku di transit hotel.
Dan...
Perasaan tak enak itu menyergapku kembali.
Aku mandi terburu- buru, Â bersiap-siap sebentar, lalu keluar kamar kembali. Kuraih ransel dan tas kecilku, lalu melangkah keluar kamar.
Bunyi anak kunci yang kuputar terdengar sangat jelas di keheningan pagi itu. Dan sedetik kemudian, bunyi itu disusul oleh bunyi detak jantungku yang sama kerasnya.
Sebab hanya beberapa detik dari saat kuputar anak kunci itu, terdengar putaran anak kunci juga dari kamar yang terletak beberapa kamar dari kamarku.
Entah mengapa, hatiku mengatakan bahwa kamar itu adalah kamar si hidung belang yang melirik- lirikku kemarin.
Aduh.
Kuucapkan lagi doa dalam hati, dan kulangkahkan kaki meninggalkan kamarku. Kulalui pintu depan beberapa kamar, dan langkahku membeku...
Intuisiku ternyata benar. Salah satu dari lelaki yang menyebabkan alarm dalam hatiku menyala malam sebelumnya, ada di lorong, itu, berdiri di depan pintu sebuah kamar, Â dia menebarkan senyum dan menyapa.
Tak kubalas senyum maupun sapaan itu. Kusiapkan mentalku untuk menghadapi sesuatu yang terburuk.
Laki- laki itu ada di lorong menuju pintu utama hotel. Tak ada jalan lain. Tak punya pilihan, aku harus melewati tempat itu untuk bisa keluar.
Kuperhatikan sekitar. Dini hari saat itu. Tak terlihat seorang manusiapun di sekitar kami.
Kutarik nafas panjang. Aku berdiri diam. Kutatap tajam lelaki itu...
Sedetik.
Dua detik.
Tiga...
Syukurlah, Yang Maha Kuasa melindungiku. Senyum hilang dari wajah lelaki tersebut. Dia berbalik dan masuk kembali ke dalam kamarnya.
Begitu dia berbalik masuk ke dalam kamarnya, setengah berlari, kutuju pintu keluar, kuserahkan kunci kamarku pada resepsionis hotel dan kulangkahkan kali ke gate dimana pesawat yang akan kutumpangi berada.
Aku tak tidur barang sejenakpun malam itu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H