Aku tiba di kota tujuan sore hari. Masih dengan ringan hati. Senang hati, malah. Sebab disana aku akan bisa bertemu seorang kawan baik yang kukenal sejak bertahun sebelumnya saat kami duduk di bangku SMA.
Kawan yang insinyur sipil ini karena pekerjaannya sering berpindah- pindah domisili, dan kebetulan sekali saat itu sedang tinggal di kota yang kukunjungi itu.
Sejak beberapa hari sebelumnya telah kuhubungi dia untuk mengabarkan rencana kedatanganku. Seperti juga aku, dia gembira bahwa kami akan bisa melewatkan waktu bersama- sama di waktu luang saat aku berada dikota tersebut.
Begitulah. Dengan niat untuk mengajakku berjalan- jalan dan makan malam, tak lama setelah aku tiba dan mandi serta berganti baju, kawan ini menjemputku ke hotel tempatku menginap.
Lalu…
Saat kami hendak melangkah keluar hotel, di tangga depan, sebuah becak berhenti. Seorang perempuan turun dari becak tersebut.
Aku terkesiap.
Kutoleh kawan yang berdiri di sisiku dengan pandang penuh tanya. Kawanku menggamit tanganku, mengajakku pergi tanpa mengatakan apapun. Barulah kemudian setelah kami berada agak jauh dari pintu hotel terdengar suaranya,  “ Dee… “ katanya, “ Hotel tempat kamu nginap itu memang terkenal sekali dengan perempuan- perempuan yang seperti itu tadi… Kamu akan lihat lebih banyak lagi malam nanti.“
Whaattttt?????
Aduh. Aku saat lajang dulu itu boleh saja menganggap duduk lesehan di tepi pintu yang setengah terbuka di bordes kereta api sebagai sesuatu yang menyenangkan. Aku juga bisa saja tak perduli saat mentari membakar kulit dan tertawa- tawa menatap kaki yang tergores karang atau tertusuk bulu babi. Tapi...
Harus menginap beberapa hari, sendirian, di hotel yang konon demikian terkenal di kalangan para kupu- kupu malam yang menawarkan jasa pada para lelaki hidung belang?