Aku ingat, di akhir masa kelas 4 anakku mempertimbangkan urusan masuk kelas akselerasi. Dia ingin masuk kelas akselerasi saat kelas lima SD. Masuk kelas itu akan membuatnya bisa lulus SD dalam jangka waktu lima tahun saja. Prestasinya selama ini juga memungkinan untuk itu.
Namun...
Suatu hari pulang sekolah, dia bicara pada kami.
" Kata teman- teman di sekolah, mendingan nggak usah masuk akselerasi aja. Soalnya, kalau masuk kelas akselerasi, nanti nggak bisa masuk SMP anu, kalah sama yang nggak akselerasi, yang SD-nya enam tahun " SMP anu yang disebutkannya adalah sekolah favorit di kota kami.
Kami tersenyum saja mendengar apa yang dikatakannya.
Kami balikkan pikiran "kalau masuk akselerasi nggak bisa masuk SMP sekian dengan pertanyaan ini: " Memangnya semua anak yang lulus SD-nya enam tahun bisa masuk SMP anu ? "
Anakku berpikir sejenak lalu menggeleng, " Enggak, " katanya.
" Nah jadi, " kata kami padanya, " Apa bedanya? Kalau nggak masuk akselerasi juga belum tentu bisa masuk situ, kalau akselerasi juga belum tentu bisa masuk. Sama aja kan? Jadi kalau memang ingin masuk akselerasi, masuk saja. "
Kami tambahkan kalimat itu dengan, " Lagipula SMP kan nggak cuma satu. Kalau nggak diterima di SMP itu, nanti Bapak sama ibu cariin SMP lain deh, nggak usah kuatir nggak bisa sekolah... "
Anakku mengangguk dengan senang dan tenang hati. Tahu bahwa kami orang tuanya akan membantu mencarikan solusi dan bisa menjadi jaring pengaman jika situasi mengharuskan.
Hal yang sama, kami lakukan saat menjelang Ujian Nasional. Ketika orang tua lain membekali anaknya dengan pesan " pastikan nilaimu di atas sekian, biar bisa masuk sekolah favorit", kami memilih untuk tak mengatakan apapun pada anak kami.