" Mbak, dia itu istri kedua... "
EH?! Waduh. Sebuah kalimat yang mampir di telingaku membuatku terpaksa merekonstruksi semua pembicaraan aku dengan si pemberi informasi dan orang yang dimaksudkan sebagai istri kedua itu sebelumnya.
Percakapan itu percakapan umum saja, sebetulnya.
Suatu hari dalam perjalanan hajiku yang lalu, tanpa sengaja aku terlibat dalam suatu percakapan yang mulanya dilakukan oleh dua orang yang duduk di dekatku. Yang satu, seorang gadis berusia tiga puluhan dengan seorang perempuan yang juga cukup muda, seorang ibu yang sudah memiliki anak.
Dari percakapan yang kudengar itu, kutahu bahwa sang ibu muda itu berangkat dengan beberapa anggota keluarga besarnya, tidak sendirian, tapi tanpa suaminya.. " Abi-nya kan jaga anak- anak, " begitu keterangan yang diberikan tentang sang suami.
Aku mendengarkan saja percakapan yang terjadi.
Itu sungguh percakapan yang 'sangat biasa'. Mulanya kudengar tentang nasihat dari si ibu muda itu pada teman bicaranya yang masih lajang tentang bagaimana upaya agar segera bisa mendapat jodoh. Termasuk tawarannya untuk memperkenalkan gadis lajang itu pada para kenalannya. Termasuk, pada akhirnya, membagi cerita bagaimana dulu dia bertemu dengan suaminya.
Aku tidak terlibat aktif. Aku hanya mendengarkan saja percakapan itu sampai suatu titik dimana aku mulai terusik dan ingin bertanya.
Sang ibu muda menceritakan tentang kriteria suami idaman yang konon pada akhirnya didapatkannya.
Dan apa kriteria itu?
" Yang pertama, punya mobil, " katanya.