Mohon tunggu...
Ruki Setya
Ruki Setya Mohon Tunggu... Guru - momong anak-anak

menghabiskan waktu bersama anak-anak di kampung dengan bermain bola dan menulis untuk berbagi pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gejolak Dua Hati di Ujung Kemarau

6 Desember 2023   11:29 Diperbarui: 6 Desember 2023   11:44 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Waalaikumsalam."

Deru motor matic Satya meninggalkan halaman rumah Rani. Laju motornya tak sekencang saat keberangkatannya. Pendar silau lampu-lampu kendaraan memaksa untuk berkendara dengan pelan. Langit malam begitu kelam. Tak ada sebuah bintang yang nampak. seolah mencerminkan perasaan Satya yang terasa begitu berat. Sebagai seorang laki-laki, Satya berusaha tampil tegar. Meskipun pristiwa yang terjadi di rumah Rani tadi baik-baik saja.

Kenangan-kenangan indah bersamanya merebak di pikiran seperti peta luka yang terbuka, mengingatkannya pada setiap senyuman, tawa, dan canda yang pernah dibagi bersama Rani. Keputusan telah bulat. Kini Satya harus melupakan segalanya. Demi kebahagiaan Rani. Cinta tak harus memiliki.

***

Hari itu, matahari telah menyebar hangatnya di langit biru, mencerahkan suasana alam desa. Satya melangkah dengan mantap menuju rumahnya setelah dari pagi hingga hampir waktu dluhur bekerja di sawah. Sisa-sisa keringatnya tercetak pada kaos oblong yang dipakai, masih nampak basah. Bulir-bulir keringat pada lapisan kulitnya telah kering menguap terbawa angin di sepanjang jalan. Ketika akan masuk di halaman rumahnya, ia tersentak kaget. Di situ sudah ada sepeda motor terparkir yang ia kenal dan hafal betul. Merk motor pabrikan Jepang terbaru, plat nopol 1449, helm coklat ber-SNI. Ini sepeda motor Rani. Satya memarkir motornya sejajar pada sisi kiri motor tersebut. Rani ataukah..?

Satya tegak dan diam. Ia menarik nafas dalam-dalam.  Ingin memompakan udara dari paru-paru ke segenap otot-otot  kakinya agar mampu berdiri. Kedua matanya menyipit dan menerawang penuh tanda tanya. Ia melepas topi lusuh dan bau keringat. Ia melangkah menuju pintu rumahnya. Tiba-tiba dari dalam rumah  Rani menghambur keluar. Wajahnya penuh dengan ekspresi kecemasan dan kegelisahan.

"Satya!"

"Rani!?"

"Maaf, Satya, aku mengganggumu."

"Ada apa? Kenapa terlihat begitu khawatir? Duduklah Rani. Tenangkan dirimu dulu."

"Aku tidak tahu, Satya. Mungkin Ayah pikir itu adalah hal terbaik untukku, tapi aku tidak mau. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dirimu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun