"Seharusnya kamu paham posisi keluarga kita, Ran".
"Bukankah berteman itu bisa dengan siapa saja, Ayah." sergap Rani.
"Ayah sayang kamu, Nak. Ayah kawatir pertemananmu dengan Satya bisa mengganggu perjalanan kuliahmu nantinya." sanggah ayah Rani tak mau kalah.
Tiba-tiba suara ibu Rani dari ruang tengah memaksa debat antara ayah dan anak itu terpotong.
"Ran..,antar kuenya ke Budhe Tatik, cepetan!" perintah ibu Rani.
"Ya, Bu...", Â jawab Rani
Kesempatan bagi Rani untuk menghindari debat yang menurutnya akan semakin panjang tak berkesudahan. Sebab Rani paham betul sikap ayahnya yang teguh dalam pendirian. Meluncurlah Rani dengan lekas menjalankan perintah ibunya dan sekaligus menghindari debat dengan ayahnya.Â
Riak-riak kecil debat antara Rani dengan Ayahnya semakin menggores di hati Rani. Saat malam tiba, di ruang keluarga, ketika semua anggota keluaraga berkumpul; Â Ayah, Ibu, Rani dan Nia, sedang rilex menikmati keasikannya masing-masing, tiba-tiba Ayah Rani sengaja melontarkan sebuah kalimat yang membuat semua yang mendengar tertegun.
"Bu.., aku kemarin di kecamatan ketemu dengan Sekwilcam, Dik Hartoyo, masih muda dan ganteng pula. Kelihatanya serasi deh kalau bersanding dengan Rani. Kalau ada waktu dia akan silahturahmi ke rumah kita, Bu".
Ibu Rani, Nia dan Rani saling berpandangan. Sedetik kemudian Rani beranjak dari duduknya. Masuk ke kamarnya. Kunci pintu kamarnya dengan rapat.
"Pak..!", bisik Ibu Rani kepada ayahnya sambil mendekat, "jangan terlalu memaksa, Pak. Ini jaman sudah jauh berbeda. Bukan lagi di jaman Siti Nurbaya. Apa salahnya si memberi kebebasan anak-anak. Yang penting dia tahu etika dan norma agama". Ibu Rani mencoba menetralisir suasana.