Korupsi Alkes Tangsel: Sebuah Kesaksian (dari) Seorang Birokrat
Menjadi bawahan memang serba salah. Tak enak dan gampang dituduh sebagai "biang keladi" serta kambing hitam sebuah persitiwa.
Begitulah nasib yang terjadi dan menimpa seorang saksi kunci (seorang birokrat/PNS Tangsel) dalam kasus korupsi yang melibatkan suami penguasa di Kota Tangerang Selatan, pada kasus korupsi alat-kesehatan.
Sebelumnya, penulis ingin menyatakan terlebih dahulu bahwa tulisan ini murni inisiatif dari pribadi penulis yang "gemas" melihat dinamika pembangunan kota Tangsel yang sejak 2008 lalu berdiri sebagai kota yang independen--namun tercederai dengan praktik busuk ala politikus/pengusaha rakus seperti yang terjadi saat ini.
Selain itu, penulis juga gelisah melihat perkembangan kasus yang melibatkan dan diduga menyeret nama Airin Rachmi Diany, sang Walikota. Berangkat dari kegelisahan itulah penulis merasa perlu menuliskan apa yang diketahui dan membahas beberapa fakta-fakta yang luput (sengaja dihilangkan) dari sorotan media selama ini.
Sebagai kota adminstratif baru, kota Tangsel dibentuk dengan penuh keyakinan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan publik.
Namun idealisme itu kini terancam "kandas" akibat ulah sekelompok orang yang rakus pada harta dan kekuasaan membajak Tangsel (maaf jika terlalu emosional).
Hingga kemudian, Oktober lalu, publik dikejutkan dengan tudingan birokrasi Tangsel yang korup dan juga berbagai persoalan lain seperti; pembangunan yang berjalan di tempat (jln. Ciater-Maruga-Tol BSD), ketimpangan sosial makin menjadi (warga miskin Tangsel), kesejahteraan cuma dijadikan wacana (kesenjangan ekonomi, pengangguran), penataan kota yang pro investor/banyak mall dan perumahan elit (pengusaha)-- dan berbagai persoalan lain yang jadi PR besar pemkot yang tak kunjung terselesaikan.
Yang menarik, korupsi yang tadinya disimpan rapat-rapat hampir oleh semua pejabat di Kota Tangsel, terkuak hingga kemudian KPK menetapkan suami Airin, Wawan sebagai pesakitan.
Wawan jugalah yang diduga sebagai "dalang" yang menjadikan istrinya sendiri sebagai "wayang" di Tangsel.
Bahkan, beberapa media menobatkan Wawan sebagai "Walikota Malam", sebuah istilah sindiran betapa Wawan-lah yang mengatur Tangsel yang Pada skala tertentu termasuk Banten dan beberapa daerah lain.
Nama Airin pun terseret-seret. Ada yang menuduh tapi banyak juga yang membela Airin dengan berbagai alasan.
Termasuk dalam hal ini DPRD Kota Tangsel, sebagai lembaga yang seharusnya bersikap atas kasus tersebut hingga kini tak kunjung bersuara.
Nasib Airin memang masih menjadi misteri atas tuduhan keterlibatannya. Sebab, apabila Airin tersangka, sudah dipastikan karir politiknya akan berakhir khususnya ketika dirinya ingin menjabat lagi untuk kedua kali di tahun 2016 nanti.
Besarnya "ketakutan" Airin agar namanya tidak terseret-terseret oleh KPK nampaknya jadi satu-satunya pikiran yang menyandera Airin saat ini.
Dapatkah dirinya "selamat" dari cengkraman penyidik KPK dalam kasus Alkes tersebut atau malah sebaliknya, bersama suami, Airin terancam di-bui.
Karena takut itulah Airin melancarkan operasi. Salah satu operasi Airin melalui pengacara-nya adalah mengumpulkan para saksi, termasuk seorang sumber penulis yang mau "blak-blakan" di sebuah restoran di Tangsel.
Dalam pertemuan tersebut, pengacara minta agar saksi-saksi itu tidak menyebut pimpinan. Selain tidak menyebut nama, mereka juga diminta untuk "menghilangkan dokumen" proyek.
Namun, perintah pimpinan melalui pengacara hukum Airin dilawan. Bawahan Airin sebagaimana sudah diberitakan Koran TEMPO beberapa Minggu lalu melakukan perlawanan, tepatnya berseberangan pendapat dengan pimpinan.
Salah satu penyebabnya, ungkap sumber tersebut, dirinya terancam dikorbankan oleh pimpinan. Tak mau hal serupa terjadi, dengan bismillah, ia mengaku tidak mau ikuti instruksi pimpinan agar berbohong dan "tutup mulut" pada KPK, jelasnya kepada penulis.
Melalui penuturan langsung kepada penulis (6/12), salah seorang sumber berstatus "saksi kunci" Alkes Tangsel, membenarkan informasi yang menyatakan bahwa Airin melalui pengacara-nya meminta agar nama "PIMPINAN" tidak disebut di depan penyidik KPK seperti yang diberitakan TEMPO.
Menurutnya, di depan KPK dialah yang membuka semua praktik busuk kongkalikong bisnis Wawan dalam proyek Alkes Tangsel sebagaimana yang dituduhkan KPK kepada penyidik termasuk pertemuan tersebut.
"Benar jika "dalang" itu sangat berpengaruh", katanya kepada penulis.
Saat penulis tanyakan siapakah yang disebut "dalang" semua proyek di Tangsel, sumber itu hanya menjawab, "dinda pahamlah yang dimaksud," kata dia kepada penulis.
Selang beberapa hari pasca pemeriksaan sumber itu di KPK, Walikota Tangsel, bersamaan dengan Atut, Gubernur Banten yang juga kakak iparnya dipanggil KPK.
Airin mangkir dari panggilan pertamanya sebagai saksi Suap MK, yang melibatkan suaminya tanggal 4 Desember 2013 lalu.
Tanpa alasan jelas, Airin mengaku menghadiri acara di Serang membantah jika dia dianggap "mangkir" dari panggilan KPK.
Imbas dari "pembangkangan" itu, masih menurut sumber tersebut dirinya beserta beberapa staff dikantornya, beberapa minggu lalu (awal Desember 2012) menerima teror di kantor.
melalui pesan singkat kepada penulis, dirinya mengungkap praktik teror yang dilakukan oleh oknum tertentu.
Menurut sumber itu, dirinya mengaku tidak mengetahui siapa yang melakukan teror tersebut.
Tadinya, dia kira pencuri motor. Ternyata bukan.
Namun sumber itu tidak ingin memfitnah siapa aktor intelektual dibalik itu semua.
Walaupun secara persepsi, tuduhan itu dengan mudah terbaca mengarah kepada sebuah pihak.
Agar tidak terjadi fitnah, maka penulis perlu mengutip isi pesan singkat yang ditujukan kepada penulis tsb. Berikut isinya:
"Kemarin (3/12) jam 2 siang ada teror berupa penodongan staff saya pake pistol berpura-pura mau curi motor staf saya dikumpulkan dalam satu ruangan dengan pistol di kepala staf saya dinda padahal motornya gak diambil," tulis sumber itu melalui pesan singkatnya (4/12).
Praktik teror yang ditujukan untuk mengendurkan urat syaraf sumber yang jadi "SAKSI" tersebut memang menjadi ciri "orang yang secara psikologis bersalah".
Pasalnya, teror dalam bentuk demikian merupakan ancaman bagi seseorang.
Cara-cara seperti ini memang memiliki sejarah panjang dalam perjalanan bangsa ini.
Salah satu buku yang mengupas ihwal teror sebagai alat penguasa ialah buku karangan Salim Said, dari Gestapu ke Reformasi.
Said yang dikenal sebagai pengamat dunia militer tiga generasi (Orde lama, Baru dan Reformasi) Indonesia ini melalui bukunya memaparkan bagaimana teror yang dilakukan oleh Orde Baru saat Soeharto dimasa-masa awal pemerintahannya.
Bersama militer yang saat itu menjadi penopang kekuasaan Soeharto, menurut Said, rezim Soeharto kerap menggunakan aksi teror sebagai cara melemahkan lawannya.
Untuk melakukan berbagai operasi ini Said menyebut lembaga BAIS bentukan Ali Moertopo yang kemudian dilanjutkan oleh L.B.Moerdani, seorang jenderal loyalis Soeharto--sebagai wadahnya.
Melalui lembaga inilah praktik teror Orde Baru dipraktikkan. Bahkan, menurut penuturan Said, tak jarang operasi "bersih-bersih" ini kerap memakan korban jiwa dan harta.
Yang menarik dari buku itu juga mengungkapkan jika persitiwa Petrus (penembakan misterius) yang terjadi di masa silam merupakan praktik teror akibat intrik politik internal dilingkaran para jenderal Soeharto antara Moerdani dan Ali Moertopo.
Moerdani yang saat itu menjadi ketua BAIS yang sekarang menjadi BIN (Badan Intelijen Negara) menggantikan Moertopo kemudian melakukan "cuci bersih" para pengikut yang dulu digunakan Moertopo untuk membantu operasinya memenangkan Golkar pada pemilu sebelumnya.
Tak ingin operasi di masa lalunya terbongkar serta kekuasaanya direbut, Moerdani, tulis Said, membuat operasi bernama "petrus".
Jadi, terang Said, Jenderal Moerdani-lah dalang Petrus yang sebenarnya.
Lalu, bagaimana dengan teror di Tangsel? siapakah aktor dan apapula target strategisnya??
Dalam teori perang, ancaman bisa diartikan sebagai sebuah gertakan kepada target. Ancaman juga sering dilihat dari langkah seorang pengecut untuk menakut-nakuti lawan yang disasarnya.
Jadi, kalau bahasa jalanannya, "orang yang mengancam itu berarti dia penakut alias kecut," begitu kira-kira.
Singkatnya, apa yang terjadi dan menimpa saksi kasus Alkes Tangsel itu memang perlu ditelisik lebih jauh dan dalam. Perlu ada penjelasan di balik tragedi ini.
Yang terpenting sekarang perlu dipikirkan beberapa langkah "pengamanan" agar para "saksi-saksi kunci" itu tetap konsisten berkata benar dan merasa dikawal walaupun hidup mereka saat ini berada dibawah ancaman senjata.
Jangan sampai kemudian akibat teror yang terjadi dan mungkin besok, pasca tulisan ini ramai dipublish, ancaman teror itu makin menjadi bahkan pada tingkat ekstrim berlumuran darah.
Jika kondisi itu yang terjadi, maka dapat dipastikan rezim penguasa (tanpa bermaksud menuduh) saat ini adalah rezim yang rela mengorbankan nyawa anaknya sendiri demi melangggengkan kekuasaan dan penjarahan uang rakyat yang dilakukan.
Dugaan itu makin menguatkan penulis seperti pesan singkat dari sumber tersebut:
"Makanya hati-hati sebab ancaman itu bukan hanya jabatan itu mah kecil tapi juga termasuk fisik makanya kita hati-hati agar kita selamat sebab masyarakat banyak yang masih memerlukan bantuan," tulisnya melalui pesan singkat yang dikirimkan ke telepon penulis.
Agar teror itu tidak menguat maka di sinilah peranan gerakan civil society mesti solid, rapih dan menguat.
Sebab, yang namanya kekuasaan dan orang-orang yang berkuasa di dalamnya-- akan sekuat tenaga mempertahankan kekuasaan hingga titik darah penghabisan.
Terlebih jika cara ala Machiaveli, seorang filosof yang "menghalalkan berbagai cara" menjadi keutamaan dari penguasa yang saat ini ada di Kota Tangsel--maka aksi teror tersebut akan semakin menjadi-jadi.
Mari kita suarakan perlawanan...
Rudy Gani,
Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
Tinggal di Tangsel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H