"Kemarin (3/12) jam 2 siang ada teror berupa penodongan staff saya pake pistol berpura-pura mau curi motor staf saya dikumpulkan dalam satu ruangan dengan pistol di kepala staf saya dinda padahal motornya gak diambil," tulis sumber itu melalui pesan singkatnya (4/12).
Praktik teror yang ditujukan untuk mengendurkan urat syaraf sumber yang jadi "SAKSI" tersebut memang menjadi ciri "orang yang secara psikologis bersalah".
Pasalnya, teror dalam bentuk demikian merupakan ancaman bagi seseorang.
Cara-cara seperti ini memang memiliki sejarah panjang dalam perjalanan bangsa ini.
Salah satu buku yang mengupas ihwal teror sebagai alat penguasa ialah buku karangan Salim Said, dari Gestapu ke Reformasi.
Said yang dikenal sebagai pengamat dunia militer tiga generasi (Orde lama, Baru dan Reformasi) Indonesia ini melalui bukunya memaparkan bagaimana teror yang dilakukan oleh Orde Baru saat Soeharto dimasa-masa awal pemerintahannya.
Bersama militer yang saat itu menjadi penopang kekuasaan Soeharto, menurut Said, rezim Soeharto kerap menggunakan aksi teror sebagai cara melemahkan lawannya.
Untuk melakukan berbagai operasi ini Said menyebut lembaga BAIS bentukan Ali Moertopo yang kemudian dilanjutkan oleh L.B.Moerdani, seorang jenderal loyalis Soeharto--sebagai wadahnya.
Melalui lembaga inilah praktik teror Orde Baru dipraktikkan. Bahkan, menurut penuturan Said, tak jarang operasi "bersih-bersih" ini kerap memakan korban jiwa dan harta.
Yang menarik dari buku itu juga mengungkapkan jika persitiwa Petrus (penembakan misterius) yang terjadi di masa silam merupakan praktik teror akibat intrik politik internal dilingkaran para jenderal Soeharto antara Moerdani dan Ali Moertopo.
Moerdani yang saat itu menjadi ketua BAIS yang sekarang menjadi BIN (Badan Intelijen Negara) menggantikan Moertopo kemudian melakukan "cuci bersih" para pengikut yang dulu digunakan Moertopo untuk membantu operasinya memenangkan Golkar pada pemilu sebelumnya.