Sebaliknya, banyak penelitian menunjukkan bahwa kebahagiaan yang lebih abadi dan rasa aman yang lebih sejati berasal dari hubungan yang bermakna, pencapaian pribadi, dan kontribusi kepada orang lain. Martin Seligman, salah seorang pelopor psikologi positif, berpendapat bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam kekayaan atau materi, tetapi dalam pengalaman hidup yang memberikan makna dan tujuan. Dalam bukunya Flourish, Seligman menekankan bahwa kehidupan yang baik tidak hanya melibatkan pencapaian kebahagiaan pribadi, tetapi juga keterlibatan dengan orang lain dan memberikan kontribusi untuk kebaikan bersama.
Selain itu, konsep security paradox yang diungkapkan oleh psikolog Mihaly Csikszentmihalyi menggarisbawahi bahwa individu yang berfokus pada pencapaian materi sering kali mengabaikan elemen-elemen penting dalam kehidupan mereka yang benar-benar menciptakan rasa aman, seperti hubungan sosial yang sehat atau kegiatan yang memberikan kepuasan batin. Dalam karyanya tentang flow, Csikszentmihalyi menunjukkan bahwa kebahagiaan berasal dari keterlibatan penuh dalam kegiatan yang bermakna, bukan dari akumulasi materi atau status sosial.
Mengubah Perspektif tentang Keamanan
Untuk mengatasi ilusi keamanan yang diciptakan oleh materi, perlu ada perubahan perspektif dalam cara kita memandang hidup dan nilai-nilai yang lebih mendalam. Ketika kita mulai mengakui bahwa hidup adalah tentang menghadapi ketidakpastian dengan ketenangan dan penerimaan, kita dapat menemukan rasa aman yang lebih hakiki. Menurut Viktor Frankl, seorang psikiater dan ahli logoterapi, manusia dapat menemukan makna hidup bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun, seperti yang ia alami selama di kamp konsentrasi Nazi. Frankl berpendapat bahwa makna hidup lebih berharga daripada harta atau status sosial, dan dengan menemukan makna dalam hidup kita, kita dapat mencapai rasa aman yang tidak tergantung pada kondisi eksternal.
Ilusi keamanan adalah pandangan yang keliru bahwa kekayaan atau materi dapat memberikan rasa aman yang permanen. Meskipun memiliki banyak uang atau harta benda dapat memberikan kenyamanan sementara, kenyataannya adalah bahwa hidup tetap penuh dengan ketidakpastian. Keamanan sejati tidak berasal dari kekayaan materi, tetapi dari kemampuan untuk menerima ketidakpastian, membangun hubungan yang sehat, dan memiliki tujuan hidup yang bermakna. Sebagai alternatif, kita harus belajar untuk mengurangi ketergantungan pada materi dan lebih fokus pada elemen-elemen yang benar-benar membawa kedamaian dan kepuasan batin, yang jauh lebih langgeng dan bernilai.
5. Ketidakterbatasan Keinginan
Salah satu alasan utama mengapa akumulasi harta tidak pernah membawa kepuasan yang langgeng adalah ketidakterbatasan keinginan manusia. Konsep ini berakar dalam pemahaman bahwa keinginan dan kebutuhan manusia tidak memiliki batas yang jelas; bahkan setelah memperoleh apa yang diinginkan, manusia cenderung merasa belum cukup dan terus menginginkan lebih. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai fenomena insatiability atau ketidakpuasan yang terus-menerus. Setiap pencapaian atau akuisisi yang baru hanya sementara memuaskan, dan segera muncul keinginan baru yang lebih besar atau berbeda, menciptakan siklus dorongan untuk terus memperoleh lebih banyak.
Pandangan Ahli tentang Ketidakterbatasan Keinginan
Menurut filsuf Aristoteles, manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dan keinginan alami, tetapi dalam dirinya ada juga potensi untuk mencapai kebahagiaan sejati, yang disebut sebagai eudaimonia---kehidupan yang penuh makna dan kesejahteraan. Namun, Aristoteles menekankan bahwa kebahagiaan yang sejati tidak datang dari pemenuhan keinginan material, melainkan dari kehidupan yang dijalani dengan kebajikan dan pencapaian moral. Menurutnya, keinginan manusia memang tidak terbatas, tetapi keinginan yang tidak terkendali dapat menyebabkan ketidakbahagiaan. Oleh karena itu, ia mengusulkan virtue ethics (etika kebajikan), yang mengajarkan pentingnya pengendalian diri dan pencapaian keseimbangan dalam hidup, bukannya mengejar keinginan yang tiada habisnya.
Psikologi dan Teori Kepuasan
Dari sudut pandang psikologi, konsep ketidakterbatasan keinginan ini juga dijelaskan dalam hedonic adaptation atau adaptasi hedonis, yang ditemukan oleh psikolog Brickman dan Campbell dalam penelitian mereka pada tahun 1971. Mereka mengemukakan bahwa manusia cepat terbiasa dengan perubahan dalam hidup mereka, baik itu kemajuan atau kemunduran. Misalnya, seseorang yang mendapatkan kekayaan atau kebahagiaan yang besar akan merasakan kepuasan pada awalnya, tetapi seiring waktu, mereka akan kembali merasa kurang atau tidak puas, karena mereka telah beradaptasi dengan kondisi baru tersebut. Dalam konteks keinginan, fenomena ini menunjukkan bahwa setiap pencapaian baru atau akuisisi material hanya memberikan kepuasan sementara, dan segera orang akan merasakan kebutuhan untuk memperoleh lebih banyak atau lebih baik lagi.