Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Manusia Tidak Pernah Puas Mengejar Harta?

31 Januari 2025   22:40 Diperbarui: 31 Januari 2025   23:01 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Tempo.co)

Pandangan dari Ahli Psikologi dan Filsafat
Ahli psikologi seperti Sonja Lyubomirsky, dalam bukunya "The How of Happiness," menjelaskan bahwa hanya sekitar 10% kebahagiaan seseorang yang dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kekayaan atau pencapaian materi, sementara sekitar 50% kebahagiaan ditentukan oleh faktor genetik dan sekitar 40% dapat dipengaruhi oleh perilaku kita sehari-hari. Dengan kata lain, meskipun kita memperoleh peningkatan material, kebahagiaan sejati tetap bersifat internal dan tidak dapat dicapai semata-mata melalui akumulasi barang atau status sosial.

Pandangan ini juga diperkuat oleh Richard Easterlin, seorang ekonom yang mengembangkan apa yang dikenal dengan Easterlin Paradox. Paradox ini menunjukkan bahwa meskipun negara-negara dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi cenderung memiliki standar hidup yang lebih baik, kenaikan pendapatan nasional tidak selalu berhubungan dengan peningkatan kebahagiaan secara keseluruhan. Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa setelah mencapai tingkat kesejahteraan tertentu, penambahan kekayaan tidak memberikan dampak signifikan terhadap kepuasan hidup.

Filsuf Epicurus juga mengajukan pandangan yang serupa tentang pencapaian kebahagiaan. Dalam etika hedonisme Epicurus, ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati datang dari kesederhanaan dan ketenangan batin, bukan dari pencarian tanpa akhir terhadap kenikmatan fisik atau kekayaan. Dalam pemikiran ini, meskipun kebahagiaan sesaat bisa diperoleh melalui pencapaian material, kebahagiaan yang abadi datang dari kehidupan yang sederhana, tidak terikat pada hasrat yang terus-menerus berkembang.

Dampak dari Hedonic Treadmill

Penyadaran tentang konsep hedonic treadmill dapat membantu kita memahami bahwa mengejar kekayaan tanpa batas tidak akan pernah membawa kepuasan yang langgeng. Ini menuntut kita untuk lebih sadar akan sumber kebahagiaan yang sejati dan berkelanjutan, yang tidak terikat pada pencapaian duniawi yang sering kali bersifat sementara. Sering kali, meskipun kita merasa puas setelah mencapai tujuan tertentu, kita cepat merasa bosan dan kembali mengejar hal baru, hanya untuk mengulang siklus yang sama.

Siklus ini juga memiliki dampak psikologis yang lebih dalam, termasuk perasaan kecewa dan kehilangan tujuan hidup yang lebih bermakna. Karena kebahagiaan yang kita dapatkan dari hal-hal material cepat berlalu, kita terus mencari kepuasan yang lebih besar, meskipun sering kali kita merasa kosong setelahnya. Oleh karena itu, penting untuk mengenali bahwa pencarian kebahagiaan yang berkelanjutan memerlukan pemahaman tentang nilai-nilai yang lebih dalam, seperti hubungan manusia yang bermakna, rasa syukur, dan pencapaian tujuan hidup yang lebih universal.

Konsep hedonic treadmill memberikan wawasan penting mengenai sifat dasar manusia yang cenderung merasa tidak pernah cukup meskipun terus-menerus mengejar kekayaan dan kesenangan. Dengan memahami bahwa kebahagiaan material bersifat sementara dan bahwa otak kita cepat beradaptasi dengan pencapaian baru, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kebahagiaan sejati lebih berasal dari pencarian makna hidup yang lebih dalam. Hal ini juga mengingatkan kita untuk berhenti mengejar kenikmatan sesaat yang sering kali tidak bertahan lama, dan lebih fokus pada pencapaian yang lebih bermakna, baik dalam hubungan sosial, rasa syukur, maupun dalam pencarian tujuan hidup yang lebih tinggi.

2. Perbandingan Sosial

Perbandingan sosial adalah fenomena psikologis yang menggambarkan kecenderungan manusia untuk membandingkan diri mereka dengan orang lain, baik dalam hal status sosial, kekayaan, penampilan, maupun pencapaian hidup lainnya. Teori social comparison pertama kali dikemukakan oleh Leon Festinger pada tahun 1954. Menurut Festinger, manusia memiliki dorongan alami untuk menilai diri mereka sendiri dengan membandingkan diri mereka dengan orang lain. Perbandingan sosial ini bisa menjadi faktor yang sangat memengaruhi perasaan puas atau tidak puas terhadap apa yang kita miliki, terutama dalam konteks kekayaan dan materi.

Fenomena perbandingan sosial terjadi secara terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar. Dengan semakin berkembangnya teknologi, terutama media sosial, perbandingan sosial menjadi lebih intensif dan lebih sering dilakukan. Kita sering melihat orang lain, terutama di media sosial, yang tampaknya memiliki lebih banyak kekayaan, kehidupan yang lebih mewah, atau pencapaian yang lebih mengesankan. Hal ini memicu perasaan kurang dan ketidakpuasan, meskipun kita sudah memiliki lebih dari cukup.

Pandangan Ahli tentang Perbandingan Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun