Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Manusia Tidak Pernah Puas Mengejar Harta?

31 Januari 2025   22:40 Diperbarui: 31 Januari 2025   23:01 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Tempo.co)

Pengantar

Di era modern ini, banyak orang merasa bahwa kekayaan dan materi adalah tolok ukur utama dari kebahagiaan dan kesuksesan. Namun, meskipun mereka berhasil mencapai tujuan materi tersebut, sering kali mereka tidak merasakan kepuasan yang langgeng. Bahkan setelah memperoleh kekayaan yang lebih banyak, mereka masih merasa tidak cukup. Fenomena ini mencerminkan sifat dasar manusia yang cenderung mengejar lebih banyak, tanpa pernah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki. Hal ini berkaitan erat dengan konsep-konsep psikologis dan sosial yang memengaruhi persepsi kita terhadap kekayaan dan kebahagiaan.

Salah satu faktor utama yang menjelaskan ketidakpuasan ini adalah Hedonic Treadmill (Adaptasi Hedonis). Konsep ini menjelaskan bagaimana manusia cepat terbiasa dengan peningkatan standar hidup, sehingga pencapaian atau peningkatan kekayaan hanya memberikan kebahagiaan sementara. Setelah beberapa waktu, standar yang lebih tinggi kembali muncul, dan kepuasan yang diperoleh menjadi berkurang. Hal ini menciptakan lingkaran ketidakpuasan yang terus berlanjut, di mana pencapaian materi tidak pernah mampu memberikan kebahagiaan yang langgeng.

Selain itu, Perbandingan Sosial memainkan peran penting dalam menciptakan ketidakpuasan. Manusia sering kali membandingkan diri mereka dengan orang lain yang lebih kaya atau lebih sukses. Meskipun seseorang mungkin sudah memiliki lebih dari cukup, perbandingan ini membuatnya merasa selalu kurang. Siklus ini memperburuk perasaan tidak puas dan menumbuhkan rasa iri yang merugikan.

Ketakutan Kehilangan juga merupakan faktor signifikan dalam kecemasan yang berkelanjutan terkait kekayaan. Semakin banyak yang dimiliki, semakin besar pula rasa takut akan kehilangan harta tersebut. Ketakutan ini menyebabkan kecemasan dan merusak ketenangan batin, yang justru membuat orang semakin terfokus pada pengamanan kekayaan daripada menikmati hasilnya.

Selain itu, banyak orang percaya bahwa kekayaan akan memberikan Ilusi Keamanan, yaitu keyakinan bahwa uang dapat mengatasi semua masalah dan memberikan kebahagiaan mutlak. Padahal, hidup penuh dengan ketidakpastian yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan materi. Kekayaan mungkin dapat memberikan kenyamanan fisik, tetapi tidak dapat mengatasi tantangan emosional atau eksistensial yang lebih mendalam.

Akhirnya, Ketidakterbatasan Keinginan menjadi alasan utama mengapa manusia tidak pernah merasa cukup. Keinginan yang tidak terbatas dan sifat manusia yang terus mencari lebih banyak menyebabkan dorongan untuk memperoleh lebih banyak harta, meskipun setiap pencapaian baru hanya memberikan kepuasan sementara.

Pembahasan ini akan mengungkapkan bagaimana kelima faktor ini saling berinteraksi, serta bagaimana filsafat dan psikologi menawarkan perspektif yang lebih dalam tentang kebahagiaan. Dalam dunia yang penuh dengan godaan materi, penting untuk mengenali bahwa kebahagiaan sejati berasal dari rasa syukur, hubungan sosial yang bermakna, dan pencarian makna hidup yang lebih dalam.

1. Hedonic Treadmill (Adaptasi Hedonis)

Konsep hedonic treadmill atau adaptasi hedonis pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Philip Brickman dan Donald T. Campbell pada tahun 1971. Mereka menyatakan bahwa meskipun individu mengalami perubahan positif dalam hidupnya, seperti peningkatan status sosial, kekayaan, atau pencapaian materi lainnya, perasaan kebahagiaan atau kepuasan yang timbul hanya bersifat sementara. Setelah menikmati peningkatan tersebut dalam waktu tertentu, manusia akan kembali ke tingkat kebahagiaan atau kepuasan awalnya, yang disebut sebagai titik dasar kebahagiaan. Ini seperti seseorang yang sedang berlari di atas treadmill, meskipun dia bergerak maju, ia tetap berada di tempat yang sama. Hal ini menggambarkan bagaimana kita terbiasa dengan perubahan-perubahan positif dan cenderung kembali ke keadaan emosional sebelumnya setelah periode adaptasi.

Fenomena ini berkaitan erat dengan cara otak manusia merespons perubahan. Setelah memperoleh hal yang baru dan diinginkan, baik itu benda, status sosial, atau pencapaian, otak kita merasakan "kesenangan" yang terkait dengan pencapaian tersebut. Namun, seiring waktu, otak kita mulai menyesuaikan diri dengan keadaan baru tersebut dan kebahagiaan yang awalnya datang mulai mereda. Misalnya, seseorang yang baru saja membeli mobil baru mungkin akan merasa sangat bahagia dan puas pada awalnya. Namun, seiring berjalannya waktu, mobil tersebut akan menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari, dan perasaan bahagia atau puas yang dihasilkan mulai berkurang. Hal ini terjadi karena otak kita secara alami beradaptasi dengan kondisi baru dan menurunkan respons emosional terhadapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun