Kita Tak Berdaya
Kita tak berdaya, ketika tanah air yang kaya ini justru tak memberi kesejahteraan bagi rakyatnya. Gunung-gunung kita menyimpan emas, tetapi yang menikmati kemakmuran adalah korporasi asing. Laut kita luas, tetapi nelayan kita berjuang melawan kapal-kapal besar yang mengeruk hasil laut tanpa batas. Hutan kita hijau, tetapi perlahan ditebang hingga yang tersisa hanya tanah gersang. Sawah kita terbentang, tetapi petani kita justru tercekik harga pupuk dan benih yang dikendalikan pasar global. Keringat rakyat menetes di ladang, tetapi keuntungan mengalir ke negeri seberang. Sumber daya yang melimpah bukanlah milik kita sepenuhnya, melainkan dikuasai oleh pemodal yang tak peduli pada kesejahteraan negeri ini. Kita hanya menjadi penonton di tanah sendiri, menggigit jari melihat kekayaan kita dijual murah. Beginilah nasib bangsa yang tak berdaya dalam menguasai hartanya sendiri.
Kita tak berdaya, saat investor asing datang bukan sebagai mitra, melainkan sebagai penguasa. Dengan modal besar, mereka membeli tanah, mendikte kebijakan, dan mengendalikan harga. Pemerintah kita tunduk pada kontrak-kontrak yang merugikan, terjebak dalam perjanjian yang mempersempit ruang gerak ekonomi nasional. BUMN kita diprivatisasi, industri strategis kita dijual, sementara kita hanya menerima sisa-sisa dari meja perjamuan mereka. Regulasi disusun untuk melayani mereka, bukan untuk kepentingan rakyat. Kita kehilangan kendali atas pasar, atas harga, atas arah ekonomi kita sendiri. Ketika bangsa lain membangun kemandirian, kita justru semakin tergantung. Ini bukan kerja sama, ini penjajahan dalam bentuk baru.
Kita tak berdaya, dalam menghadapi persaingan global yang kian brutal. Negara-negara maju memperkuat industri dan teknologinya, sementara kita masih berkutat pada eksploitasi sumber daya mentah. Kita tak mampu menciptakan teknologi sendiri, hanya menjadi pengguna dari inovasi bangsa lain. Mesin-mesin kita impor, perangkat lunak kita buatan asing, jaringan komunikasi kita bergantung pada satelit milik negara lain. Akademisi kita cerdas, tetapi mereka lebih dihargai di luar negeri daripada di tanah air sendiri. Kita hanya menjadi pasar, bukan pencipta. Ketergantungan ini bukan sekadar ekonomi, tetapi perbudakan intelektual yang menghambat kemandirian bangsa.
Kita tak berdaya, ketika rakyat kecil kehilangan sumber penghidupan mereka. Petani tak memiliki lahan karena tanah mereka telah dibeli oleh korporasi besar. Nelayan tak bisa melaut karena laut telah diprivatisasi. Buruh kehilangan pekerjaan karena pabrik berpindah ke negara dengan upah lebih murah. Generasi muda kita tersingkir dari dunia kerja karena tenaga asing lebih diutamakan. Kota-kota besar penuh dengan pengangguran, desa-desa dipenuhi orang tua yang menunggu anak-anak mereka pulang dengan harapan yang semakin pudar. Hidup semakin mahal, tetapi pendapatan tak bertambah. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terhimpit.
Kita tak berdaya, dalam menghadapi korupsi yang merajalela. Uang rakyat mengalir ke rekening pejabat, proyek-proyek negara menjadi ladang bancakan. Hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kasus besar menghilang di meja pengadilan, sementara rakyat kecil dihukum tanpa ampun. Transparansi hanya jargon, keadilan hanya ilusi. Kita tak mampu memberantas korupsi karena mereka yang seharusnya membersihkan justru ikut bermain dalam kegelapan. Kekuasaan bukan lagi alat untuk melayani, tetapi untuk memperkaya diri. Negeri ini dijarah dari dalam, oleh mereka yang seharusnya menjaga.
Kita tak berdaya, ketika ketahanan pangan kita semakin rapuh. Sawah-sawah berubah menjadi perumahan, petani beralih profesi menjadi buruh kasar. Kita menggantungkan kebutuhan pangan dari impor, sehingga harga bahan pokok naik setiap saat. Perusahaan asing mengendalikan benih dan pupuk, membuat petani tak punya pilihan selain membeli dengan harga mahal. Kemandirian pangan hanya menjadi wacana, sementara kita terus menerus bergantung pada suplai dari luar negeri. Jika krisis datang, kita tak punya cukup stok untuk bertahan. Negara agraris ini justru lapar di tanah suburnya sendiri.
Kita tak berdaya, dalam ketahanan energi yang semakin mengkhawatirkan. Listrik kita bergantung pada batubara yang diekspor ke luar negeri, sementara rakyat sendiri mengalami pemadaman. Minyak bumi kita terus berkurang, tetapi kita tetap menjualnya ke negara lain dengan harga murah. Energi terbarukan hanya menjadi proyek wacana, tanpa realisasi yang nyata. Kita terlalu nyaman membeli dari luar, bukannya mengembangkan sendiri. Ketika harga minyak dunia melonjak, rakyat kita yang pertama kali merasakan dampaknya. Kita bukan pengendali energi, kita hanya konsumen yang harus membayar lebih mahal untuk kebutuhan sendiri.
Kita tak berdaya, dalam mempertahankan kedaulatan ekonomi. Mata uang kita terus melemah, daya beli rakyat semakin menurun. Hutang luar negeri menumpuk, tetapi pembangunan tak berujung pada kesejahteraan. Sektor produksi melemah, industri dalam negeri mati perlahan-lahan. Pasar kita dibanjiri produk impor, sementara produk lokal kalah bersaing. Pemerintah tak punya strategi yang jelas, hanya menjadi penonton dalam perang ekonomi global. Ketika bangsa lain melindungi industri mereka, kita justru membuka pintu selebar-lebarnya untuk produk asing. Pasar bebas bukan kesejahteraan, tetapi jebakan yang membuat kita semakin terpuruk.
Kita tak berdaya, dalam menghadapi derasnya arus informasi yang dikendalikan asing. Media sosial kita dikuasai oleh platform luar negeri, algoritma mereka menentukan apa yang kita lihat, baca, dan pikirkan. Data kita bocor, dikumpulkan dan digunakan untuk kepentingan mereka. Teknologi digital yang kita gunakan setiap hari adalah buatan asing, membuat kita semakin tergantung. Kita tak memiliki sistem keamanan informasi yang kuat, sehingga setiap gerakan kita diawasi oleh kekuatan global. Di era informasi ini, yang menguasai data menguasai dunia—dan kita hanya menjadi pengguna yang tak berdaya.
Kita tak berdaya, karena kita terus menerus membiarkan ketidakberdayaan ini terjadi. Kita diam saat tanah kita diambil, kita pasrah saat ekonomi kita dikuasai, kita tunduk saat kebijakan kita didikte. Kita seolah tak punya pilihan, tetapi sejatinya kita hanya terbiasa menyerah. Jika ini terus berlanjut, apa yang akan tersisa untuk anak cucu kita? Apakah kita akan terus menjadi bangsa yang tak berdaulat di negeri sendiri? Ataukah kita akan bangkit, menolak tunduk, dan merebut kembali kendali atas nasib kita sendiri? Itu bukan hanya pertanyaan, itu adalah panggilan. Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang kaya sumber daya, tetapi bangsa yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri.
Kita tak berdaya, ketika hutang luar negeri terus membengkak, sementara kesejahteraan rakyat tetap stagnan. Setiap tahun, anggaran negara terkuras hanya untuk membayar bunga hutang, bukan untuk membangun. Kita berutang demi proyek-proyek infrastruktur yang sering kali hanya menguntungkan segelintir orang, sementara rakyat tetap berjuang di tengah ketimpangan ekonomi. Pemerintah terus mencari pinjaman baru untuk menutup pinjaman lama, terjebak dalam lingkaran setan yang semakin menjerat. Jika kita berhenti membayar, ekonomi kita runtuh, tetapi jika kita terus membayar, kita semakin kehilangan kedaulatan. Inilah penjajahan gaya baru, bukan dengan senjata, tetapi dengan angka-angka di laporan keuangan internasional.
Kita tak berdaya, ketika aset negara perlahan-lahan dijual untuk menutup defisit. Pelabuhan, bandara, jalan tol, bahkan sumber daya alam kita dijadikan jaminan hutang. Investor asing datang bukan untuk membantu, tetapi untuk mengambil alih. Pemerintah menyebutnya investasi, tetapi pada kenyataannya, kita sedang kehilangan kendali atas aset strategis kita. Rakyat hanya bisa melihat bagaimana tanah, air, dan udara yang seharusnya menjadi hak bersama berubah menjadi milik korporasi global. Dengan dalih pembangunan, kita merelakan segalanya, hingga pada akhirnya kita menjadi penyewa di negeri sendiri.
Kita tak berdaya, karena sistem ekonomi kita tak pernah berpihak pada rakyat kecil. Sektor pertanian yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi justru dibiarkan mati perlahan. Produk lokal tak mendapat perlindungan, sementara barang impor bebas masuk tanpa batas. Subsidi dicabut dengan alasan efisiensi, tetapi pengusaha besar tetap mendapat kemudahan akses permodalan dan insentif pajak. Jurang kesenjangan semakin lebar, di mana segelintir orang menguasai kekayaan, sementara jutaan lainnya berjuang sekadar untuk bertahan hidup. Ekonomi kita bukan lagi tentang keadilan, tetapi tentang siapa yang paling kuat menekan yang lemah.
Kita tak berdaya, saat anak-anak kita tumbuh dalam sistem pendidikan yang tidak mempersiapkan mereka untuk mandiri. Kurikulum terus berubah, tetapi tak pernah mengarah pada kemandirian intelektual. Kita mendidik mereka untuk menjadi pekerja, bukan pencipta. Mereka belajar teori tanpa keterampilan, menghafal tanpa memahami, mengejar gelar tanpa arah. Ketika lulus, mereka menghadapi realitas bahwa pekerjaan semakin sulit didapat, sementara yang tersedia lebih banyak dikuasai tenaga kerja asing. Mereka yang mampu pergi ke luar negeri, mencari kehidupan yang lebih baik, meninggalkan negeri yang tak mampu memberi mereka masa depan.
Kita tak berdaya, dalam menghadapi krisis kesehatan yang bisa datang kapan saja. Rumah sakit kita penuh, fasilitas kesehatan kita terbatas, tenaga medis kita lebih dihargai di luar negeri. Obat-obatan dan alat kesehatan kita impor, membuat biaya pengobatan melambung tinggi. Ketika pandemi melanda, kita tak punya cukup sumber daya untuk menangani sendiri. Kita harus bergantung pada bantuan, pada impor vaksin, pada tenaga medis asing. Seharusnya, negara sebesar ini memiliki sistem kesehatan yang kuat, tetapi kenyataannya, kita hanya bisa berharap keadaan tak semakin buruk.
Kita tak berdaya, saat hukum hanya menjadi alat bagi mereka yang berkuasa. Keadilan bukan lagi tentang benar atau salah, tetapi tentang siapa yang punya uang dan pengaruh. Mereka yang mencuri miliaran bisa bebas, sementara mereka yang mencuri untuk bertahan hidup dihukum tanpa belas kasihan. Pengadilan bukan tempat mencari keadilan, tetapi arena di mana kepentingan politik dan ekonomi diperdagangkan. Kita telah kehilangan kepercayaan pada sistem hukum, karena terlalu sering melihat bagaimana hukum hanya bekerja untuk segelintir orang.
Kita tak berdaya, ketika budaya dan identitas kita tergerus oleh globalisasi yang tak terkendali. Bahasa kita dipenuhi istilah asing, tradisi kita dianggap kuno, produk budaya kita dikerdilkan oleh industri hiburan global. Generasi muda lebih mengenal budaya luar daripada warisan leluhurnya sendiri. Musik, film, bahkan cara berpakaian kita bukan lagi mencerminkan jati diri bangsa, melainkan hanya tiruan dari yang ada di luar. Kita tidak menolak modernitas, tetapi kita kehilangan kendali atas bagaimana modernitas itu membentuk kita. Jika kita terus begini, entah generasi berikutnya masih bisa mengenali identitasnya sendiri atau tidak.
Kita tak berdaya, dalam menghadapi ancaman geopolitik yang semakin nyata. Negara-negara lain membangun kekuatan militernya, tetapi kita masih berkutat pada anggaran yang terbatas dan peralatan usang. Wilayah kita diklaim, tetapi kita hanya bisa protes tanpa tindakan nyata. Kita membiarkan kapal asing memasuki perairan kita, membiarkan pulau-pulau kecil kita diambil sedikit demi sedikit. Diplomasi kita lemah, pertahanan kita tak cukup kuat, dan kita terus berharap pada perjanjian internasional yang sering kali lebih menguntungkan pihak lain.
Kita tak berdaya, ketika generasi muda kita lebih banyak menghabiskan waktu dalam kesia-siaan. Pendidikan mahal, pekerjaan sulit, masa depan tak pasti, membuat mereka mencari pelarian di dunia maya. Media sosial dipenuhi konten dangkal, hiburan murahan, dan pola pikir instan. Mereka lebih sibuk membahas gosip daripada membaca buku, lebih tertarik menjadi viral daripada menjadi cerdas. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki generasi muda yang kritis dan berpendidikan, tetapi kita justru menghasilkan generasi yang mudah terpengaruh, tanpa arah, dan tak memiliki mimpi besar untuk bangsanya sendiri.
Kita tak berdaya, karena kita terus membiarkan semua ini terjadi. Kita terlalu terbiasa menerima keadaan, terlalu takut melawan, terlalu malas berpikir tentang perubahan. Kita memilih diam karena merasa tak bisa berbuat apa-apa. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa perubahan tak pernah datang dari mereka yang pasrah. Kita tak berdaya bukan karena kita benar-benar lemah, tetapi karena kita membiarkan diri kita diperlakukan seperti ini. Jika kita ingin bangkit, kita harus mulai dari kesadaran bahwa kita bisa melawan. Kemandirian tidak akan datang jika kita terus tunduk, dan masa depan tidak akan berubah jika kita terus berdiam diri.
Kita tak berdaya, atas serbuan bandar judi online yang merajalela tanpa kendali. Dengan kedok hiburan dan keberuntungan, mereka menjebak rakyat kecil yang sudah terhimpit ekonomi. Di setiap sudut media sosial, iklan judi online berseliweran, menawarkan mimpi instan yang berujung kehancuran. Ratusan triliun rupiah mengalir ke kantong para bandar, sementara rakyat kehilangan segalanya—uang, pekerjaan, bahkan keluarga. Regulasi ada, tetapi lemah, dan aparat seolah tak berdaya menghadapi mafia digital ini. Setiap kali satu situs diblokir, seribu lainnya muncul, seakan kita hanya bermain kucing-kucingan tanpa pernah benar-benar menang.
Kita tak berdaya, karena judi online bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga kehancuran moral. Anak muda yang seharusnya belajar dan bekerja justru terlilit hutang akibat kecanduan taruhan. Para pekerja menghabiskan gaji mereka untuk deposit, berharap sekali saja menang besar, tetapi justru semakin tenggelam dalam kekalahan. Banyak yang kehilangan rumah, kendaraan, bahkan berani mencuri demi terus berjudi. Tidak sedikit yang akhirnya memilih jalan pintas: bunuh diri karena putus asa. Kita menghadapi epidemi sosial yang nyata, tetapi tetap membiarkannya berjalan seolah-olah ini bukan ancaman serius.
Kita tak berdaya, karena para bandar judi online beroperasi dengan teknologi yang jauh lebih canggih dibandingkan sistem pertahanan siber kita. Dengan jaringan internasional dan sistem enkripsi tingkat tinggi, mereka menciptakan skema yang sulit dilacak. Dana hasil judi online dicuci melalui transaksi kripto, mengalir ke luar negeri tanpa bisa dikendalikan. Sementara itu, kita masih berkutat dengan regulasi usang yang tidak mampu menjangkau kejahatan dunia maya. Kita tahu siapa yang bermain di balik semua ini, tetapi tidak punya cukup keberanian dan kekuatan untuk memberantasnya sampai ke akar.
Kita tak berdaya, karena banyak dari mereka yang seharusnya memberantas justru ikut bermain di dalamnya. Bukankah sudah banyak kasus aparat yang terlibat sebagai pelindung bandar judi? Bukankah ada pejabat yang terbukti menerima aliran dana haram ini? Alih-alih melawan, sebagian justru menikmati hasil dari kehancuran rakyatnya sendiri. Kita menjadi negara yang tidak hanya dikuasai oleh investor asing, tetapi juga oleh para mafia digital yang menghisap kekayaan bangsa tanpa belas kasihan.
Kita tak berdaya, karena masyarakat kita terlalu mudah diperdaya. Dengan skema bonus, cashback, dan kemenangan palsu, mereka menciptakan ilusi bahwa judi online adalah jalan pintas menuju kesuksesan. Tidak ada yang peduli bahwa di balik layar, algoritma mereka dirancang untuk memastikan pemain selalu kalah dalam jangka panjang. Tetapi tetap saja, jutaan orang tertipu, memasang taruhan terakhir mereka dengan harapan kosong. Sementara itu, para bandar hidup mewah, membangun kerajaan bisnis di atas penderitaan rakyat kecil yang terus dirampok secara digital.
Kita tak berdaya, karena kita tidak memiliki strategi nasional yang tegas untuk menghancurkan ekosistem judi online ini. Kita hanya sibuk memblokir situs tanpa menyentuh akar permasalahan: jaringan keuangan, teknologi, dan perlindungan hukum yang mereka nikmati. Negara-negara lain mampu memerangi judi online dengan hukum yang keras dan sistem keamanan digital yang kuat, tetapi kita masih berjalan di tempat. Jika kita terus membiarkan ini terjadi, bukan hanya ekonomi yang rusak, tetapi juga masa depan generasi kita yang semakin terperangkap dalam ilusi uang instan.
Kita tak berdaya, karena kita membiarkan mentalitas spekulatif merajalela. Dari judi online hingga investasi bodong, masyarakat kita terus-menerus tertipu oleh janji kekayaan instan. Semua ini adalah cerminan dari kebijakan ekonomi yang gagal: ketika lapangan pekerjaan terbatas, ketika usaha kecil sulit berkembang, ketika kehidupan semakin mahal, rakyat akhirnya mencari jalan pintas. Para bandar judi online hanya memanfaatkan kondisi ini, dan selama ekonomi kita tetap rapuh, mereka akan terus berkuasa.
Kita tak berdaya, tetapi bukan berarti kita harus terus menyerah. Jika kita ingin menyelamatkan negeri ini dari cengkeraman mafia judi online, kita harus membangun sistem yang lebih kuat. Regulasi yang lebih tegas, teknologi pertahanan siber yang lebih canggih, serta kesadaran masyarakat yang lebih tinggi. Kita harus membangun ekonomi yang memberi harapan, bukan sekadar janji-janji kosong. Kita harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu, tanpa kompromi dengan kepentingan gelap yang selama ini melindungi kejahatan ini. Jika tidak, maka selamanya kita akan tetap menjadi bangsa yang diperdaya, dikendalikan, dan dihancurkan oleh sistem yang kita biarkan tumbuh tanpa perlawanan.
Kita tak berdaya, ketika pejabat yang seharusnya melindungi rakyat justru bersekongkol dengan pengusaha untuk merampok sumber penghidupan mereka. Dengan alasan investasi dan pembangunan, mereka menjual tanah, air, dan udara kepada korporasi tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi masyarakat kecil. Hutan ditebang, sungai dikeringkan, dan tanah rakyat diambil paksa demi proyek-proyek raksasa yang hanya menguntungkan segelintir elite. Rakyat yang kehilangan lahan mereka dipaksa hengkang tanpa kompensasi yang layak, sementara para pengusaha dan pejabat berbagi keuntungan di ruang-ruang pertemuan tertutup.
Kita tak berdaya, karena hukum telah berubah menjadi alat bagi mereka yang berkuasa. Ketika rakyat kecil menuntut haknya, mereka dianggap penghambat pembangunan. Ketika buruh menolak upah murah, mereka dicap sebagai perusuh. Ketika nelayan menolak reklamasi yang menghancurkan mata pencahariannya, mereka disebut anti-kemajuan. Namun, ketika para pengusaha mengeruk sumber daya tanpa batas, ketika korporasi meracuni lingkungan, ketika pejabat menerima suap untuk meloloskan proyek ilegal, tak ada yang bisa menyentuh mereka. Hukum hanya bekerja untuk melindungi kepentingan mereka yang berada di atas, bukan mereka yang hidup di bawah.
Kita tak berdaya, karena sistem demokrasi yang seharusnya memberi kekuatan kepada rakyat justru dikendalikan oleh uang. Pemilu telah menjadi ajang transaksi, di mana kandidat yang memiliki modal besar hampir pasti menang. Mereka yang terpilih bukan karena visi dan integritas, tetapi karena kekuatan finansial yang didukung oleh oligarki. Setelah berkuasa, mereka tidak lagi peduli pada janji-janji kampanye, tetapi hanya pada kepentingan para pemodal yang telah membiayai mereka. Kebijakan yang dihasilkan bukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi untuk melancarkan bisnis mereka yang telah menguasai setiap sektor ekonomi.
Kita tak berdaya, karena ekonomi kita dikendalikan oleh segelintir orang yang menguasai hampir seluruh sektor vital. Dari energi hingga pangan, dari telekomunikasi hingga perbankan, semua berada dalam genggaman oligarki yang bersekutu dengan pemerintah. Mereka menetapkan harga seenaknya, memonopoli pasar, dan menciptakan regulasi yang menguntungkan diri mereka sendiri. Sementara itu, rakyat kecil harus menerima harga yang semakin tinggi, akses yang semakin sulit, dan pilihan yang semakin terbatas. Kita seolah dipaksa untuk bergantung pada mereka, tanpa ada kesempatan untuk membangun kemandirian.
Kita tak berdaya, karena reformasi yang kita harapkan ternyata hanya mengganti wajah-wajah lama dengan wajah-wajah baru yang bermain dengan aturan yang sama. Orde lama runtuh, tetapi sistem yang mereka tinggalkan tetap bertahan. Korupsi masih merajalela, nepotisme masih menjadi norma, dan politik dinasti terus mengakar. Kita diajarkan untuk percaya bahwa perubahan telah terjadi, tetapi kenyataannya, mereka yang berada di puncak kekuasaan tetap berasal dari lingkaran yang sama. Hanya rakyat yang terus berubah, berganti generasi, berganti harapan, tetapi selalu berakhir dalam kekecewaan yang sama.
Kita tak berdaya, karena ketika kita berbicara, mereka tidak mendengar. Ketika kita menuntut keadilan, mereka menertawakan. Ketika kita meminta perubahan, mereka memberi kita janji kosong. Kita diminta untuk bersabar, untuk percaya pada sistem, tetapi sistem itu sendiri telah lama rusak dan tidak berpihak kepada kita. Kita marah, kita kecewa, kita putus asa, tetapi mereka tahu bahwa selama kita tetap diam dan menerima, mereka bisa terus berkuasa tanpa gangguan.
Kita tak berdaya, karena kita telah dibiasakan untuk takut. Takut berbicara, takut melawan, takut berharap terlalu tinggi. Kita tahu ada ketidakadilan, tetapi kita memilih diam karena khawatir kehilangan pekerjaan, kehilangan akses, kehilangan kedamaian semu yang kita miliki. Kita melihat bagaimana mereka yang berani berbicara dipersekusi, dikriminalisasi, atau bahkan dilenyapkan. Ketakutan ini bukan tanpa alasan, tetapi jika kita terus membiarkan rasa takut menguasai kita, maka kita tidak akan pernah benar-benar bebas.
Kita tak berdaya, tetapi bukan berarti kita harus menyerah. Kita masih memiliki suara, masih memiliki keberanian, masih memiliki kemampuan untuk melawan. Sejarah telah membuktikan bahwa ketika rakyat bersatu, kekuatan sebesar apa pun bisa runtuh. Kita mungkin telah dikecewakan berkali-kali, tetapi kita tidak boleh berhenti memperjuangkan keadilan. Perubahan tidak akan datang dengan sendirinya, dan mereka yang berkuasa tidak akan menyerahkan hak-hak kita begitu saja. Jika kita ingin keluar dari ketidakberdayaan ini, kita harus mulai dengan satu hal: menyadari bahwa kita sebenarnya memiliki kekuatan untuk melawan.
Kita tak berdaya, ketika aparat keamanan dan pertahanan, yang seharusnya melindungi rakyat, justru menjadi alat para pengusaha untuk membungkam, menekan, dan menakut-nakuti. Dengan seragam dan senjata, mereka berdiri bukan di sisi rakyat, tetapi di sisi korporasi yang mengeruk kekayaan negeri ini. Mereka menjaga tambang-tambang ilegal, mengawal proyek yang merampas tanah rakyat, dan menghadang demonstrasi yang menuntut keadilan. Aparat yang dibiayai oleh pajak rakyat kini lebih sibuk mengamankan kepentingan segelintir elite, sementara rakyat dibiarkan tak berdaya menghadapi kesewenang-wenangan.
Kita tak berdaya, karena hukum tidak pernah berpihak kepada mereka yang tak punya kuasa. Ketika rakyat mengadu atas tanahnya yang dirampas, mereka malah dituduh mengganggu ketertiban. Ketika buruh menuntut upah layak, mereka dicap sebagai pengacau. Ketika nelayan menolak reklamasi yang menghancurkan laut tempat mereka mencari nafkah, mereka dianggap musuh pembangunan. Namun, ketika pengusaha dengan seenaknya merusak lingkungan dan menghancurkan kehidupan rakyat, hukum diam seribu bahasa. Kita hanya bisa menyaksikan, tanpa daya, bagaimana keadilan telah menjadi barang dagangan yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang berkuasa.
Kita tak berdaya, karena setiap perlawanan rakyat selalu berakhir dengan intimidasi dan kekerasan. Aparat dengan mudahnya menangkap petani yang berjuang mempertahankan lahannya, tetapi begitu lamban ketika harus menindak korporasi yang melanggar aturan. Mereka sigap membubarkan demonstrasi buruh, tetapi tak pernah menyentuh para pemodal yang menekan pekerja dengan sistem kerja yang eksploitatif. Di berbagai daerah, aktivis yang vokal menghadapi ancaman, dipersekusi, dan bahkan menghilang tanpa jejak. Kita hidup dalam ilusi kebebasan, padahal kenyataannya, rakyat yang berani berbicara justru menjadi sasaran pertama untuk dibungkam.
Kita tak berdaya, karena kekuatan militer dan kepolisian yang seharusnya menjaga kedaulatan negara justru diperalat untuk kepentingan bisnis. Para jenderal pensiunan menduduki kursi-kursi strategis di perusahaan tambang, perkebunan, dan industri besar lainnya. Mereka mengatur kebijakan, melobi pemerintah, dan memastikan kepentingan bisnis mereka tidak terganggu oleh protes rakyat. Sebagian dari mereka bahkan memiliki perusahaan keamanan swasta yang digunakan untuk menjaga aset-aset para pemodal, memastikan bahwa rakyat tidak bisa menyentuh apa yang telah mereka kuasai.
Kita tak berdaya, karena negara seolah kehilangan kendali atas aparatnya sendiri. Alih-alih menjadi alat negara untuk melindungi kepentingan nasional, mereka justru menjadi kepanjangan tangan korporasi asing yang menguasai ekonomi kita. Mereka mengawal pengusaha yang merampok sumber daya alam kita, mengamankan eksploitasi tambang yang merusak lingkungan, dan memastikan bahwa suara rakyat tidak akan pernah sampai ke telinga penguasa. Kita telah menjadi negeri di mana senjata yang dibeli dari uang rakyat justru diarahkan kepada rakyat itu sendiri.
Kita tak berdaya, karena persekutuan antara aparat dan pengusaha telah menjelma menjadi kekuatan yang sulit dilawan. Dengan dana yang tak terbatas, para pemodal bisa membeli perlindungan dari siapa pun yang mereka inginkan. Mereka bisa memerintahkan aparat untuk menindak keras rakyat yang menolak proyek mereka, tetapi juga bisa meminta hukum untuk dipermainkan agar mereka terbebas dari jeratan kasus. Di negeri ini, siapa yang memiliki uang, dialah yang memiliki kekuasaan. Sementara rakyat hanya bisa menerima nasib, menonton bagaimana hukum dan keadilan semakin jauh dari jangkauan mereka.
Kita tak berdaya, karena negara membiarkan ini semua terjadi. Para pemimpin kita tahu bahwa aparat sering digunakan untuk kepentingan bisnis, tetapi mereka memilih menutup mata. Mereka tahu bahwa ada intimidasi terhadap rakyat, tetapi mereka pura-pura tidak mendengar. Mereka sadar bahwa sistem ini tidak adil, tetapi mereka tetap membiarkannya berjalan karena mereka sendiri mendapat manfaat dari ketidakadilan itu. Kita telah kehilangan negara yang seharusnya melindungi rakyatnya, dan yang tersisa hanyalah pemerintahan yang tunduk pada kekuatan uang.
Kita tak berdaya, tetapi kita tidak boleh terus menyerah. Kita masih memiliki suara, masih memiliki keberanian, dan masih memiliki harapan bahwa keadilan bisa ditegakkan. Kita harus terus mengingatkan mereka yang berkuasa bahwa rakyat bukanlah musuh yang harus ditindas, tetapi pemilik sah negeri ini yang harus dihormati. Kita harus menolak tunduk pada ketakutan, menolak menerima sistem yang korup, dan terus memperjuangkan hak kita. Karena jika kita diam, maka selamanya kita akan tetap menjadi bangsa yang tak berdaya di hadapan mereka yang mengendalikan kekuasaan dengan uang dan kekerasan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI