Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kita Tidak Berdaya : Sebuah Prosa Keprihatinan.

29 Januari 2025   13:16 Diperbarui: 29 Januari 2025   13:16 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ( iNews. ID)

Kita tak berdaya, ketika hutang luar negeri terus membengkak, sementara kesejahteraan rakyat tetap stagnan. Setiap tahun, anggaran negara terkuras hanya untuk membayar bunga hutang, bukan untuk membangun. Kita berutang demi proyek-proyek infrastruktur yang sering kali hanya menguntungkan segelintir orang, sementara rakyat tetap berjuang di tengah ketimpangan ekonomi. Pemerintah terus mencari pinjaman baru untuk menutup pinjaman lama, terjebak dalam lingkaran setan yang semakin menjerat. Jika kita berhenti membayar, ekonomi kita runtuh, tetapi jika kita terus membayar, kita semakin kehilangan kedaulatan. Inilah penjajahan gaya baru, bukan dengan senjata, tetapi dengan angka-angka di laporan keuangan internasional.

Kita tak berdaya, ketika aset negara perlahan-lahan dijual untuk menutup defisit. Pelabuhan, bandara, jalan tol, bahkan sumber daya alam kita dijadikan jaminan hutang. Investor asing datang bukan untuk membantu, tetapi untuk mengambil alih. Pemerintah menyebutnya investasi, tetapi pada kenyataannya, kita sedang kehilangan kendali atas aset strategis kita. Rakyat hanya bisa melihat bagaimana tanah, air, dan udara yang seharusnya menjadi hak bersama berubah menjadi milik korporasi global. Dengan dalih pembangunan, kita merelakan segalanya, hingga pada akhirnya kita menjadi penyewa di negeri sendiri.

Kita tak berdaya, karena sistem ekonomi kita tak pernah berpihak pada rakyat kecil. Sektor pertanian yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi justru dibiarkan mati perlahan. Produk lokal tak mendapat perlindungan, sementara barang impor bebas masuk tanpa batas. Subsidi dicabut dengan alasan efisiensi, tetapi pengusaha besar tetap mendapat kemudahan akses permodalan dan insentif pajak. Jurang kesenjangan semakin lebar, di mana segelintir orang menguasai kekayaan, sementara jutaan lainnya berjuang sekadar untuk bertahan hidup. Ekonomi kita bukan lagi tentang keadilan, tetapi tentang siapa yang paling kuat menekan yang lemah.

Kita tak berdaya, saat anak-anak kita tumbuh dalam sistem pendidikan yang tidak mempersiapkan mereka untuk mandiri. Kurikulum terus berubah, tetapi tak pernah mengarah pada kemandirian intelektual. Kita mendidik mereka untuk menjadi pekerja, bukan pencipta. Mereka belajar teori tanpa keterampilan, menghafal tanpa memahami, mengejar gelar tanpa arah. Ketika lulus, mereka menghadapi realitas bahwa pekerjaan semakin sulit didapat, sementara yang tersedia lebih banyak dikuasai tenaga kerja asing. Mereka yang mampu pergi ke luar negeri, mencari kehidupan yang lebih baik, meninggalkan negeri yang tak mampu memberi mereka masa depan.

Kita tak berdaya, dalam menghadapi krisis kesehatan yang bisa datang kapan saja. Rumah sakit kita penuh, fasilitas kesehatan kita terbatas, tenaga medis kita lebih dihargai di luar negeri. Obat-obatan dan alat kesehatan kita impor, membuat biaya pengobatan melambung tinggi. Ketika pandemi melanda, kita tak punya cukup sumber daya untuk menangani sendiri. Kita harus bergantung pada bantuan, pada impor vaksin, pada tenaga medis asing. Seharusnya, negara sebesar ini memiliki sistem kesehatan yang kuat, tetapi kenyataannya, kita hanya bisa berharap keadaan tak semakin buruk.

Kita tak berdaya, saat hukum hanya menjadi alat bagi mereka yang berkuasa. Keadilan bukan lagi tentang benar atau salah, tetapi tentang siapa yang punya uang dan pengaruh. Mereka yang mencuri miliaran bisa bebas, sementara mereka yang mencuri untuk bertahan hidup dihukum tanpa belas kasihan. Pengadilan bukan tempat mencari keadilan, tetapi arena di mana kepentingan politik dan ekonomi diperdagangkan. Kita telah kehilangan kepercayaan pada sistem hukum, karena terlalu sering melihat bagaimana hukum hanya bekerja untuk segelintir orang.

Kita tak berdaya, ketika budaya dan identitas kita tergerus oleh globalisasi yang tak terkendali. Bahasa kita dipenuhi istilah asing, tradisi kita dianggap kuno, produk budaya kita dikerdilkan oleh industri hiburan global. Generasi muda lebih mengenal budaya luar daripada warisan leluhurnya sendiri. Musik, film, bahkan cara berpakaian kita bukan lagi mencerminkan jati diri bangsa, melainkan hanya tiruan dari yang ada di luar. Kita tidak menolak modernitas, tetapi kita kehilangan kendali atas bagaimana modernitas itu membentuk kita. Jika kita terus begini, entah generasi berikutnya masih bisa mengenali identitasnya sendiri atau tidak.

Kita tak berdaya, dalam menghadapi ancaman geopolitik yang semakin nyata. Negara-negara lain membangun kekuatan militernya, tetapi kita masih berkutat pada anggaran yang terbatas dan peralatan usang. Wilayah kita diklaim, tetapi kita hanya bisa protes tanpa tindakan nyata. Kita membiarkan kapal asing memasuki perairan kita, membiarkan pulau-pulau kecil kita diambil sedikit demi sedikit. Diplomasi kita lemah, pertahanan kita tak cukup kuat, dan kita terus berharap pada perjanjian internasional yang sering kali lebih menguntungkan pihak lain.

Kita tak berdaya, ketika generasi muda kita lebih banyak menghabiskan waktu dalam kesia-siaan. Pendidikan mahal, pekerjaan sulit, masa depan tak pasti, membuat mereka mencari pelarian di dunia maya. Media sosial dipenuhi konten dangkal, hiburan murahan, dan pola pikir instan. Mereka lebih sibuk membahas gosip daripada membaca buku, lebih tertarik menjadi viral daripada menjadi cerdas. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki generasi muda yang kritis dan berpendidikan, tetapi kita justru menghasilkan generasi yang mudah terpengaruh, tanpa arah, dan tak memiliki mimpi besar untuk bangsanya sendiri.

Kita tak berdaya, karena kita terus membiarkan semua ini terjadi. Kita terlalu terbiasa menerima keadaan, terlalu takut melawan, terlalu malas berpikir tentang perubahan. Kita memilih diam karena merasa tak bisa berbuat apa-apa. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa perubahan tak pernah datang dari mereka yang pasrah. Kita tak berdaya bukan karena kita benar-benar lemah, tetapi karena kita membiarkan diri kita diperlakukan seperti ini. Jika kita ingin bangkit, kita harus mulai dari kesadaran bahwa kita bisa melawan. Kemandirian tidak akan datang jika kita terus tunduk, dan masa depan tidak akan berubah jika kita terus berdiam diri.

Kita tak berdaya, atas serbuan bandar judi online yang merajalela tanpa kendali. Dengan kedok hiburan dan keberuntungan, mereka menjebak rakyat kecil yang sudah terhimpit ekonomi. Di setiap sudut media sosial, iklan judi online berseliweran, menawarkan mimpi instan yang berujung kehancuran. Ratusan triliun rupiah mengalir ke kantong para bandar, sementara rakyat kehilangan segalanya—uang, pekerjaan, bahkan keluarga. Regulasi ada, tetapi lemah, dan aparat seolah tak berdaya menghadapi mafia digital ini. Setiap kali satu situs diblokir, seribu lainnya muncul, seakan kita hanya bermain kucing-kucingan tanpa pernah benar-benar menang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun