Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kita Tidak Berdaya : Sebuah Prosa Keprihatinan.

29 Januari 2025   13:16 Diperbarui: 29 Januari 2025   13:16 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ( iNews. ID)

Kita tak berdaya, karena judi online bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga kehancuran moral. Anak muda yang seharusnya belajar dan bekerja justru terlilit hutang akibat kecanduan taruhan. Para pekerja menghabiskan gaji mereka untuk deposit, berharap sekali saja menang besar, tetapi justru semakin tenggelam dalam kekalahan. Banyak yang kehilangan rumah, kendaraan, bahkan berani mencuri demi terus berjudi. Tidak sedikit yang akhirnya memilih jalan pintas: bunuh diri karena putus asa. Kita menghadapi epidemi sosial yang nyata, tetapi tetap membiarkannya berjalan seolah-olah ini bukan ancaman serius.

Kita tak berdaya, karena para bandar judi online beroperasi dengan teknologi yang jauh lebih canggih dibandingkan sistem pertahanan siber kita. Dengan jaringan internasional dan sistem enkripsi tingkat tinggi, mereka menciptakan skema yang sulit dilacak. Dana hasil judi online dicuci melalui transaksi kripto, mengalir ke luar negeri tanpa bisa dikendalikan. Sementara itu, kita masih berkutat dengan regulasi usang yang tidak mampu menjangkau kejahatan dunia maya. Kita tahu siapa yang bermain di balik semua ini, tetapi tidak punya cukup keberanian dan kekuatan untuk memberantasnya sampai ke akar.

Kita tak berdaya, karena banyak dari mereka yang seharusnya memberantas justru ikut bermain di dalamnya. Bukankah sudah banyak kasus aparat yang terlibat sebagai pelindung bandar judi? Bukankah ada pejabat yang terbukti menerima aliran dana haram ini? Alih-alih melawan, sebagian justru menikmati hasil dari kehancuran rakyatnya sendiri. Kita menjadi negara yang tidak hanya dikuasai oleh investor asing, tetapi juga oleh para mafia digital yang menghisap kekayaan bangsa tanpa belas kasihan.

Kita tak berdaya, karena masyarakat kita terlalu mudah diperdaya. Dengan skema bonus, cashback, dan kemenangan palsu, mereka menciptakan ilusi bahwa judi online adalah jalan pintas menuju kesuksesan. Tidak ada yang peduli bahwa di balik layar, algoritma mereka dirancang untuk memastikan pemain selalu kalah dalam jangka panjang. Tetapi tetap saja, jutaan orang tertipu, memasang taruhan terakhir mereka dengan harapan kosong. Sementara itu, para bandar hidup mewah, membangun kerajaan bisnis di atas penderitaan rakyat kecil yang terus dirampok secara digital.

Kita tak berdaya, karena kita tidak memiliki strategi nasional yang tegas untuk menghancurkan ekosistem judi online ini. Kita hanya sibuk memblokir situs tanpa menyentuh akar permasalahan: jaringan keuangan, teknologi, dan perlindungan hukum yang mereka nikmati. Negara-negara lain mampu memerangi judi online dengan hukum yang keras dan sistem keamanan digital yang kuat, tetapi kita masih berjalan di tempat. Jika kita terus membiarkan ini terjadi, bukan hanya ekonomi yang rusak, tetapi juga masa depan generasi kita yang semakin terperangkap dalam ilusi uang instan.

Kita tak berdaya, karena kita membiarkan mentalitas spekulatif merajalela. Dari judi online hingga investasi bodong, masyarakat kita terus-menerus tertipu oleh janji kekayaan instan. Semua ini adalah cerminan dari kebijakan ekonomi yang gagal: ketika lapangan pekerjaan terbatas, ketika usaha kecil sulit berkembang, ketika kehidupan semakin mahal, rakyat akhirnya mencari jalan pintas. Para bandar judi online hanya memanfaatkan kondisi ini, dan selama ekonomi kita tetap rapuh, mereka akan terus berkuasa.

Kita tak berdaya, tetapi bukan berarti kita harus terus menyerah. Jika kita ingin menyelamatkan negeri ini dari cengkeraman mafia judi online, kita harus membangun sistem yang lebih kuat. Regulasi yang lebih tegas, teknologi pertahanan siber yang lebih canggih, serta kesadaran masyarakat yang lebih tinggi. Kita harus membangun ekonomi yang memberi harapan, bukan sekadar janji-janji kosong. Kita harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu, tanpa kompromi dengan kepentingan gelap yang selama ini melindungi kejahatan ini. Jika tidak, maka selamanya kita akan tetap menjadi bangsa yang diperdaya, dikendalikan, dan dihancurkan oleh sistem yang kita biarkan tumbuh tanpa perlawanan.

Kita tak berdaya, ketika pejabat yang seharusnya melindungi rakyat justru bersekongkol dengan pengusaha untuk merampok sumber penghidupan mereka. Dengan alasan investasi dan pembangunan, mereka menjual tanah, air, dan udara kepada korporasi tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi masyarakat kecil. Hutan ditebang, sungai dikeringkan, dan tanah rakyat diambil paksa demi proyek-proyek raksasa yang hanya menguntungkan segelintir elite. Rakyat yang kehilangan lahan mereka dipaksa hengkang tanpa kompensasi yang layak, sementara para pengusaha dan pejabat berbagi keuntungan di ruang-ruang pertemuan tertutup.

Kita tak berdaya, karena hukum telah berubah menjadi alat bagi mereka yang berkuasa. Ketika rakyat kecil menuntut haknya, mereka dianggap penghambat pembangunan. Ketika buruh menolak upah murah, mereka dicap sebagai perusuh. Ketika nelayan menolak reklamasi yang menghancurkan mata pencahariannya, mereka disebut anti-kemajuan. Namun, ketika para pengusaha mengeruk sumber daya tanpa batas, ketika korporasi meracuni lingkungan, ketika pejabat menerima suap untuk meloloskan proyek ilegal, tak ada yang bisa menyentuh mereka. Hukum hanya bekerja untuk melindungi kepentingan mereka yang berada di atas, bukan mereka yang hidup di bawah.

Kita tak berdaya, karena sistem demokrasi yang seharusnya memberi kekuatan kepada rakyat justru dikendalikan oleh uang. Pemilu telah menjadi ajang transaksi, di mana kandidat yang memiliki modal besar hampir pasti menang. Mereka yang terpilih bukan karena visi dan integritas, tetapi karena kekuatan finansial yang didukung oleh oligarki. Setelah berkuasa, mereka tidak lagi peduli pada janji-janji kampanye, tetapi hanya pada kepentingan para pemodal yang telah membiayai mereka. Kebijakan yang dihasilkan bukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi untuk melancarkan bisnis mereka yang telah menguasai setiap sektor ekonomi.

Kita tak berdaya, karena ekonomi kita dikendalikan oleh segelintir orang yang menguasai hampir seluruh sektor vital. Dari energi hingga pangan, dari telekomunikasi hingga perbankan, semua berada dalam genggaman oligarki yang bersekutu dengan pemerintah. Mereka menetapkan harga seenaknya, memonopoli pasar, dan menciptakan regulasi yang menguntungkan diri mereka sendiri. Sementara itu, rakyat kecil harus menerima harga yang semakin tinggi, akses yang semakin sulit, dan pilihan yang semakin terbatas. Kita seolah dipaksa untuk bergantung pada mereka, tanpa ada kesempatan untuk membangun kemandirian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun