Kita tak berdaya, karena reformasi yang kita harapkan ternyata hanya mengganti wajah-wajah lama dengan wajah-wajah baru yang bermain dengan aturan yang sama. Orde lama runtuh, tetapi sistem yang mereka tinggalkan tetap bertahan. Korupsi masih merajalela, nepotisme masih menjadi norma, dan politik dinasti terus mengakar. Kita diajarkan untuk percaya bahwa perubahan telah terjadi, tetapi kenyataannya, mereka yang berada di puncak kekuasaan tetap berasal dari lingkaran yang sama. Hanya rakyat yang terus berubah, berganti generasi, berganti harapan, tetapi selalu berakhir dalam kekecewaan yang sama.
Kita tak berdaya, karena ketika kita berbicara, mereka tidak mendengar. Ketika kita menuntut keadilan, mereka menertawakan. Ketika kita meminta perubahan, mereka memberi kita janji kosong. Kita diminta untuk bersabar, untuk percaya pada sistem, tetapi sistem itu sendiri telah lama rusak dan tidak berpihak kepada kita. Kita marah, kita kecewa, kita putus asa, tetapi mereka tahu bahwa selama kita tetap diam dan menerima, mereka bisa terus berkuasa tanpa gangguan.
Kita tak berdaya, karena kita telah dibiasakan untuk takut. Takut berbicara, takut melawan, takut berharap terlalu tinggi. Kita tahu ada ketidakadilan, tetapi kita memilih diam karena khawatir kehilangan pekerjaan, kehilangan akses, kehilangan kedamaian semu yang kita miliki. Kita melihat bagaimana mereka yang berani berbicara dipersekusi, dikriminalisasi, atau bahkan dilenyapkan. Ketakutan ini bukan tanpa alasan, tetapi jika kita terus membiarkan rasa takut menguasai kita, maka kita tidak akan pernah benar-benar bebas.
Kita tak berdaya, tetapi bukan berarti kita harus menyerah. Kita masih memiliki suara, masih memiliki keberanian, masih memiliki kemampuan untuk melawan. Sejarah telah membuktikan bahwa ketika rakyat bersatu, kekuatan sebesar apa pun bisa runtuh. Kita mungkin telah dikecewakan berkali-kali, tetapi kita tidak boleh berhenti memperjuangkan keadilan. Perubahan tidak akan datang dengan sendirinya, dan mereka yang berkuasa tidak akan menyerahkan hak-hak kita begitu saja. Jika kita ingin keluar dari ketidakberdayaan ini, kita harus mulai dengan satu hal: menyadari bahwa kita sebenarnya memiliki kekuatan untuk melawan.
Kita tak berdaya, ketika aparat keamanan dan pertahanan, yang seharusnya melindungi rakyat, justru menjadi alat para pengusaha untuk membungkam, menekan, dan menakut-nakuti. Dengan seragam dan senjata, mereka berdiri bukan di sisi rakyat, tetapi di sisi korporasi yang mengeruk kekayaan negeri ini. Mereka menjaga tambang-tambang ilegal, mengawal proyek yang merampas tanah rakyat, dan menghadang demonstrasi yang menuntut keadilan. Aparat yang dibiayai oleh pajak rakyat kini lebih sibuk mengamankan kepentingan segelintir elite, sementara rakyat dibiarkan tak berdaya menghadapi kesewenang-wenangan.
Kita tak berdaya, karena hukum tidak pernah berpihak kepada mereka yang tak punya kuasa. Ketika rakyat mengadu atas tanahnya yang dirampas, mereka malah dituduh mengganggu ketertiban. Ketika buruh menuntut upah layak, mereka dicap sebagai pengacau. Ketika nelayan menolak reklamasi yang menghancurkan laut tempat mereka mencari nafkah, mereka dianggap musuh pembangunan. Namun, ketika pengusaha dengan seenaknya merusak lingkungan dan menghancurkan kehidupan rakyat, hukum diam seribu bahasa. Kita hanya bisa menyaksikan, tanpa daya, bagaimana keadilan telah menjadi barang dagangan yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang berkuasa.
Kita tak berdaya, karena setiap perlawanan rakyat selalu berakhir dengan intimidasi dan kekerasan. Aparat dengan mudahnya menangkap petani yang berjuang mempertahankan lahannya, tetapi begitu lamban ketika harus menindak korporasi yang melanggar aturan. Mereka sigap membubarkan demonstrasi buruh, tetapi tak pernah menyentuh para pemodal yang menekan pekerja dengan sistem kerja yang eksploitatif. Di berbagai daerah, aktivis yang vokal menghadapi ancaman, dipersekusi, dan bahkan menghilang tanpa jejak. Kita hidup dalam ilusi kebebasan, padahal kenyataannya, rakyat yang berani berbicara justru menjadi sasaran pertama untuk dibungkam.
Kita tak berdaya, karena kekuatan militer dan kepolisian yang seharusnya menjaga kedaulatan negara justru diperalat untuk kepentingan bisnis. Para jenderal pensiunan menduduki kursi-kursi strategis di perusahaan tambang, perkebunan, dan industri besar lainnya. Mereka mengatur kebijakan, melobi pemerintah, dan memastikan kepentingan bisnis mereka tidak terganggu oleh protes rakyat. Sebagian dari mereka bahkan memiliki perusahaan keamanan swasta yang digunakan untuk menjaga aset-aset para pemodal, memastikan bahwa rakyat tidak bisa menyentuh apa yang telah mereka kuasai.
Kita tak berdaya, karena negara seolah kehilangan kendali atas aparatnya sendiri. Alih-alih menjadi alat negara untuk melindungi kepentingan nasional, mereka justru menjadi kepanjangan tangan korporasi asing yang menguasai ekonomi kita. Mereka mengawal pengusaha yang merampok sumber daya alam kita, mengamankan eksploitasi tambang yang merusak lingkungan, dan memastikan bahwa suara rakyat tidak akan pernah sampai ke telinga penguasa. Kita telah menjadi negeri di mana senjata yang dibeli dari uang rakyat justru diarahkan kepada rakyat itu sendiri.
Kita tak berdaya, karena persekutuan antara aparat dan pengusaha telah menjelma menjadi kekuatan yang sulit dilawan. Dengan dana yang tak terbatas, para pemodal bisa membeli perlindungan dari siapa pun yang mereka inginkan. Mereka bisa memerintahkan aparat untuk menindak keras rakyat yang menolak proyek mereka, tetapi juga bisa meminta hukum untuk dipermainkan agar mereka terbebas dari jeratan kasus. Di negeri ini, siapa yang memiliki uang, dialah yang memiliki kekuasaan. Sementara rakyat hanya bisa menerima nasib, menonton bagaimana hukum dan keadilan semakin jauh dari jangkauan mereka.
Kita tak berdaya, karena negara membiarkan ini semua terjadi. Para pemimpin kita tahu bahwa aparat sering digunakan untuk kepentingan bisnis, tetapi mereka memilih menutup mata. Mereka tahu bahwa ada intimidasi terhadap rakyat, tetapi mereka pura-pura tidak mendengar. Mereka sadar bahwa sistem ini tidak adil, tetapi mereka tetap membiarkannya berjalan karena mereka sendiri mendapat manfaat dari ketidakadilan itu. Kita telah kehilangan negara yang seharusnya melindungi rakyatnya, dan yang tersisa hanyalah pemerintahan yang tunduk pada kekuatan uang.