Mafia pangan bukan hanya masalah Indonesia. Negara-negara lain yang memiliki program makan gratis juga menghadapi tantangan serupa. Di India, misalnya, program makan siang gratis untuk anak-anak sekolah (Midday Meal Scheme) sering kali diwarnai dengan masalah korupsi. Penyelidikan menunjukkan adanya pengadaan bahan makanan yang tidak sesuai standar, kolusi antara pengelola dan penyedia, serta penyimpangan dalam distribusi yang merugikan penerima manfaat.
Di Brasil, meskipun program makan gratis cukup sukses dan bermanfaat bagi banyak anak, beberapa kasus mafia pangan juga ditemukan. Penyedia bahan makanan yang memiliki kekuasaan seringkali mengatur harga dan kualitas bahan makanan dengan cara yang merugikan program dan mengurangi efektivitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan yang baik dan sistem yang transparan sangat penting untuk memastikan program makan gratis berjalan dengan lancar dan memberikan manfaat yang maksimal.
Mengapa Mafia Pangan Sulit Diberantas?
Ada beberapa alasan mengapa mafia pangan sulit diberantas, antara lain:
1. Keterlibatan Pejabat atau Pengusaha Besar
Mafia pangan sering kali memiliki hubungan dekat dengan pejabat pemerintah atau pengusaha besar, yang membuat mereka sulit dijangkau oleh hukum. Kolusi antara mafia pangan dengan oknum pemerintah ini semakin memperburuk keadaan, karena pihak yang seharusnya mengawasi justru terlibat dalam praktik-praktik yang merugikan masyarakat. Dalam banyak kasus, mereka bahkan mendapat perlindungan hukum atau kesulitan untuk diproses karena keterlibatannya dengan jaringan kekuasaan. Hal ini menciptakan ketidakadilan, di mana para pelaku mafia pangan bisa bergerak bebas tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum.
2. Kurangnya Transparansi
Pengadaan dan distribusi bahan pangan yang tidak transparan memudahkan penyimpangan. Tanpa pengawasan yang ketat dan mekanisme yang jelas dalam setiap tahap distribusi, mafia pangan dapat dengan leluasa memanipulasi harga, kualitas, atau jumlah bahan pangan yang didistribusikan. Terlebih lagi, pengadaan bahan pangan sering kali dilakukan melalui tender yang rawan kecurangan, di mana penyedia bahan pangan bisa memilih siapa yang akan mendapatkan kontrak berdasarkan hubungan pribadi atau suap. Ketidakjelasan dalam sistem administrasi dan pelaporan juga mempersulit identifikasi penyimpangan, yang membuat pengawasan semakin lemah.
3. Rantai Pasok yang Panjang
Sistem distribusi pangan yang melibatkan banyak pihak—mulai dari produsen, pedagang, hingga distributor—menjadikan pengawasan lebih sulit dan membuka banyak celah. Setiap lapisan dalam rantai pasok ini memiliki potensi untuk dimanipulasi, baik dalam hal harga maupun kualitas. Ketidakjelasan dalam jalur distribusi sering kali dimanfaatkan oleh mafia pangan untuk meraih keuntungan secara ilegal, dengan cara mengalihkan bahan pangan ke pasar gelap atau menjual produk yang tidak sesuai dengan standar. Ditambah lagi, kurangnya komunikasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam distribusi membuat koordinasi pengawasan menjadi sangat terbatas.
4. Penegakan Hukum yang Lemah