Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Disiplin di Sekolah dan Kriminalisasi Guru: Belajar dari Kasus Guru Supriyani

1 November 2024   20:26 Diperbarui: 1 November 2024   20:48 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Rudi Sinaba

Pendahuluan

Pada bulan Oktober 2024, dunia pendidikan Indonesia dikejutkan oleh sebuah peristiwa yang menggemparkan: seorang guru sekolah dasar di Konawe Selatan, bernama Supriyani, harus menjalani proses hukum atas tuduhan penganiayaan terhadap muridnya. Kasus ini dengan cepat menarik perhatian publik, memicu perdebatan luas tentang hak anak, otoritas guru, dan penerapan disiplin dalam pendidikan. Dukungan kepada Supriyani datang dari berbagai kalangan, termasuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang menilai kasus ini sebagai ancaman terhadap kepercayaan dan keamanan profesi guru dalam menjalankan tugas mereka.

Kasus Supriyani memperlihatkan dilema penegakan hukum di sekolah, serta bagaimana batasan disiplin dan undang-undang perlindungan anak dipahami. Di tengah isu ini, muncul pertanyaan penting: Apakah setiap tindakan disiplin yang dimaksudkan untuk mendidik dapat dianggap sebagai tindak kekerasan? Bagaimana dampaknya terhadap dunia pendidikan jika guru merasa terancam dengan risiko dikriminalisasi setiap kali menegakkan disiplin?

Dilema Penegakan Disiplin dan Implikasi Hukum

Pendidikan adalah proses membentuk karakter, bukan hanya sekadar memberikan pengetahuan akademik. Disiplin merupakan elemen penting dalam pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai moral dan membentuk sikap siswa. Namun, ketika tindakan disiplin melibatkan pendekatan fisik, masalah mulai muncul. Di Indonesia, UU Perlindungan Anak melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, dan ini menjadi tantangan bagi para guru yang berusaha menegakkan disiplin dalam pendidikan.

Kasus Supriyani menjadi contoh nyata tentang bagaimana kebijakan hukum dapat berbenturan dengan realitas di lapangan. Ketika tindakan disiplin fisik diterapkan dengan tujuan mendidik tetapi dianggap sebagai penganiayaan, guru yang bersangkutan harus menghadapi proses hukum. Akibatnya, banyak guru bisa menjadi ragu-ragu untuk menegakkan aturan di kelas, karena takut berakhir di pengadilan. Jika rasa takut ini berkembang, dampaknya dapat merusak otoritas guru dan menurunkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.

Preseden Buruk bagi Dunia Pendidikan

Persepsi bahwa tindakan disiplin guru bisa selalu diinterpretasikan sebagai kekerasan menciptakan preseden buruk. Guru akan merasa kurang leluasa dalam menjalankan tugas mereka, dan otoritas mereka di dalam kelas bisa melemah. Siswa pun mungkin semakin sulit diatur, menyadari bahwa guru tidak memiliki kebebasan penuh untuk menegakkan aturan. Pada akhirnya, sekolah mungkin enggan menangani siswa yang memiliki perilaku bermasalah dan memilih untuk mengembalikannya kepada orang tua. Hal ini tentu merugikan tujuan pendidikan, yang seharusnya bertujuan membina siswa menjadi individu yang lebih baik.

Peran Orang Tua dan Masyarakat

Peran orang tua dan masyarakat sangat vital dalam menjaga keseimbangan antara hak anak dan kewenangan guru. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:

1. Kemitraan dengan Sekolah:

 Orang tua perlu menjalin komunikasi yang baik dengan pihak sekolah untuk memahami metode dan kebijakan disiplin yang diterapkan. Hal ini akan membantu menghindari kesalahpahaman yang dapat berujung pada proses hukum yang tidak perlu.

2. Dukungan Moral kepada Guru: 

Memberikan dukungan moral kepada guru dapat membantu mereka merasa dihargai dan berani menegakkan disiplin yang positif. Masyarakat perlu memahami bahwa tindakan mendidik tidak selalu mudah, dan kadang membutuhkan pendekatan yang tegas.

3. Forum Dialog: 

Forum diskusi antara orang tua, guru, dan masyarakat perlu diadakan secara rutin untuk membahas kasus disiplin dan mencari solusi konstruktif yang dapat menghindari kriminalisasi guru.

4. Pendidikan Hukum untuk Guru: 

Guru perlu mendapatkan pemahaman tentang batasan hukum terkait tindakan disiplin di sekolah. Hal ini dapat membantu mereka bertindak sesuai peraturan tanpa mengorbankan peran mereka sebagai pendidik.

Sikap Orang Tua yang Bijaksana

Salah satu hal yang menonjol dalam kasus-kasus serupa adalah kecenderungan orang tua untuk membawa masalah ke ranah hukum. Hal ini sering kali disebabkan oleh kurangnya komunikasi dan pemahaman antara orang tua dan pihak sekolah. Orang tua perlu bersikap lebih bijaksana dalam menghadapi situasi di mana anak mereka mendapatkan tindakan disiplin. Sebelum menempuh jalur hukum, sebaiknya orang tua:

Mengutamakan Dialog: 

Diskusikan dengan guru dan pihak sekolah mengenai insiden yang terjadi. Dialog yang terbuka dapat menghilangkan kesalahpahaman dan menjaga hubungan baik antara guru dan orang tua.

Menilai Konteks dan Niat: 

Pahami konteks tindakan yang dilakukan guru dan niat di baliknya. Sebagian besar guru bertindak demi kebaikan siswa, bukan untuk menyakiti mereka.

Memberikan Contoh Positif: 

Orang tua harus menjadi contoh dalam menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, agar anak-anak memahami pentingnya menghormati otoritas dan mencari solusi damai.

Pesan Moral: "Di Ujung Rotan Ada Emas"

Pepatah lama, "Di ujung rotan ada emas," memberikan pesan bahwa di balik tindakan disiplin dan ketegasan terdapat hasil yang berharga. Ini mengingatkan kita bahwa tindakan mendidik yang tegas, meskipun kadang menyakitkan atau sulit diterima pada awalnya, dapat menghasilkan kebaikan yang besar di kemudian hari. Dalam konteks pendidikan, pepatah ini menegaskan bahwa guru harus mampu menegakkan disiplin dengan bijak untuk membentuk karakter dan moral siswa.

Namun, dalam era modern ini, "cambuk" atau "rotan" sebaiknya diartikan sebagai bentuk disiplin yang konstruktif, bukan kekerasan fisik. Artinya, metode pendidikan harus tetap mengedepankan nilai-nilai positif yang mendukung pertumbuhan mental dan emosional anak. Bentuk disiplin yang tegas namun adil, seperti konsistensi dalam penerapan aturan dan penegakan konsekuensi yang logis, dapat membentuk siswa yang disiplin dan bertanggung jawab tanpa melanggar hak-hak mereka.

Peran Negara dan Aparat Hukum

Peran negara dan aparat hukum dalam kasus seperti yang dialami oleh guru Supriyani haruslah diorientasikan pada perlindungan semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, baik guru, siswa, maupun institusi pendidikan itu sendiri. Berikut beberapa langkah bijak yang seharusnya diambil oleh negara dan aparat hukum:

1. Penyusunan Kebijakan yang Berimbang: 

Negara perlu memastikan adanya kebijakan pendidikan yang berimbang, di mana hak anak untuk dilindungi dari kekerasan dihormati, tetapi pada saat yang sama otoritas guru dalam mendidik dan menegakkan disiplin tetap dijaga. Kebijakan tersebut seharusnya tidak hanya melarang kekerasan, tetapi juga memfasilitasi metode disiplin yang konstruktif dan positif.

2. Panduan Hukum yang Jelas: 

Aparat hukum harus memiliki pemahaman yang mendalam dan panduan yang jelas tentang perbedaan antara tindakan disiplin yang wajar dan penganiayaan. Ini penting agar tidak semua tindakan disiplin guru langsung dianggap sebagai pelanggaran pidana, melainkan dilihat berdasarkan konteks, niat, dan dampaknya terhadap anak.

3. Pelatihan untuk Guru: 

Negara perlu mengadakan program pelatihan reguler bagi para guru terkait dengan praktik disiplin yang sesuai hukum dan etis. Pelatihan ini bisa mencakup teknik mengelola kelas, strategi non-kekerasan dalam mendisiplinkan siswa, serta pemahaman tentang hak-hak anak.

4. Pendekatan Restoratif: 

Aparat hukum sebaiknya mempertimbangkan pendekatan restoratif dalam menangani kasus disiplin di sekolah. Pendekatan ini berfokus pada mediasi antara pihak yang terlibat untuk mencari solusi yang membangun, daripada langsung membawa masalah ke ranah pengadilan. Hal ini dapat mengurangi beban psikologis bagi guru dan mendorong pemulihan hubungan yang sehat antara guru, siswa, dan orang tua.

5. Pendampingan Hukum bagi Guru: 

Negara bisa menyediakan pendampingan hukum untuk guru yang menghadapi proses hukum terkait tindakan disiplin, sehingga mereka merasa terlindungi dan tidak merasa sendirian dalam menghadapi tantangan ini. Ini juga memberi pesan bahwa profesi guru dihargai dan dihormati.

6. Kampanye Edukasi Publik: 

Negara dan instansi terkait harus melakukan kampanye edukasi yang mengajarkan masyarakat, termasuk orang tua, tentang pentingnya peran guru dalam mendidik dan menegakkan disiplin. Hal ini dapat meningkatkan pemahaman bahwa guru bertindak demi kebaikan siswa dan membangun dukungan yang lebih luas bagi para pendidik.

Dengan pendekatan ini, negara dan aparat hukum dapat menjaga keseimbangan antara perlindungan anak dan penghormatan terhadap otoritas guru. Sikap yang bijak ini memungkinkan terciptanya lingkungan pendidikan yang aman dan produktif, di mana guru dapat menjalankan peran mereka tanpa rasa takut akan kriminalisasi, sementara hak-hak anak tetap dijamin. Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa mendidik adalah sebuah proses yang kompleks, di mana setiap keputusan harus mempertimbangkan dampaknya bagi masa depan generasi muda.

Kesimpulan

Kasus guru Supriyani menunjukkan betapa kompleksnya tantangan yang dihadapi  dalam dunia pendidikan saat ini. Dengan meningkatnya kesadaran akan hak-hak anak, kita juga dihadapkan pada dilema mengenai bagaimana menegakkan disiplin yang diperlukan dalam mendidik generasi penerus. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah perlu ada pemahaman hukum yang sama antara orang tua dan guru dalam kasus-kasus seperti ini?

Pentingnya Pemahaman Hukum yang Sama

Pemahaman yang sejalan antara orang tua, guru, dan penegak hukum mengenai batasan-batasan disiplin sangat krusial. Semua pihak harus memahami bahwa disiplin yang diterapkan dalam pendidikan bertujuan untuk membentuk karakter dan bukan untuk menyakiti. Jika orang tua dan masyarakat memiliki pemahaman yang jelas tentang tujuan dari tindakan disiplin, akan ada pengurangan kecenderungan untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap guru ketika terjadi insiden yang berkaitan dengan disiplin.

Dalam konteks ini, penting juga untuk melibatkan pakar hukum dan pendidikan dalam merumuskan panduan yang jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh guru dalam menjalankan tugas mereka. Dengan demikian, para guru akan memiliki pedoman yang lebih jelas dan tidak merasa terjebak dalam dilema hukum setiap kali mereka harus mengambil tindakan disiplin.

Peran Penegakan Hukum

Penegakan hukum harus bersifat restorative dan mendidik, bukan hanya represif. Dalam menghadapi kasus-kasus yang melibatkan guru dan tindakan disiplin, pendekatan hukum yang memberikan kesempatan untuk mediasi dan resolusi damai seharusnya diutamakan. Proses hukum yang panjang dan menyakitkan tidak hanya merugikan guru, tetapi juga dapat berdampak negatif pada siswa yang terlibat, menciptakan lingkungan yang penuh ketidakpastian.

Penting bagi penegak hukum untuk memahami konteks pendidikan dan tantangan yang dihadapi para guru dalam menjalankan tugas mereka. Ini termasuk mempertimbangkan niat di balik tindakan disiplin dan dampaknya terhadap siswa. Penegakan hukum seharusnya tidak mengabaikan nilai-nilai pendidikan yang mendasari setiap tindakan guru.

Sikap Bijaksana dari Semua Pihak

Dalam menghadapi isu ini, dibutuhkan sikap bijaksana dari semua pihak. Orang tua harus mengedepankan dialog dengan guru, memahami konteks tindakan disiplin, dan mendukung guru dalam upaya mereka mendidik anak. Guru, di sisi lain, harus terus berkomunikasi dengan orang tua dan menjelaskan pendekatan yang mereka ambil dalam mendidik anak-anak.

Lebih dari itu, masyarakat perlu memberikan dukungan kepada guru, bukan hanya dalam konteks hukum tetapi juga dalam konteks moral. Memahami bahwa mendidik adalah sebuah proses yang penuh tantangan, yang kadang memerlukan keputusan sulit demi kebaikan siswa, akan membantu menciptakan lingkungan yang positif bagi pendidikan.

Dalam menghadapi dilema antara disiplin pendidikan dan kriminalisasi guru, penting bagi kita untuk belajar dari kasus seperti yang dialami oleh Supriyani. Dengan membangun pemahaman yang lebih baik antara guru, orang tua, dan penegak hukum, kita dapat menciptakan suasana pendidikan yang lebih kondusif, di mana setiap anak dapat belajar dalam lingkungan yang aman, sementara guru dapat menjalankan tugasnya tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum yang tidak proporsional.

Akhirnya, mari kita ingat pepatah bijak, "Di ujung rotan ada emas." Ini mengingatkan kita bahwa setiap tindakan disiplin, jika diterapkan dengan bijak, dapat menghasilkan hasil yang bermanfaat bagi siswa dan mendukung tujuan pendidikan yang lebih besar. Dengan demikian, kita perlu berkomitmen untuk mengedepankan diskusi yang konstruktif dan solusi yang mendukung bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, demi masa depan generasi penerus yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun