Oleh : Rudi Sinaba
Pendahuluan
Pada bulan Oktober 2024, dunia pendidikan Indonesia dikejutkan oleh sebuah peristiwa yang menggemparkan: seorang guru sekolah dasar di Konawe Selatan, bernama Supriyani, harus menjalani proses hukum atas tuduhan penganiayaan terhadap muridnya. Kasus ini dengan cepat menarik perhatian publik, memicu perdebatan luas tentang hak anak, otoritas guru, dan penerapan disiplin dalam pendidikan. Dukungan kepada Supriyani datang dari berbagai kalangan, termasuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang menilai kasus ini sebagai ancaman terhadap kepercayaan dan keamanan profesi guru dalam menjalankan tugas mereka.
Kasus Supriyani memperlihatkan dilema penegakan hukum di sekolah, serta bagaimana batasan disiplin dan undang-undang perlindungan anak dipahami. Di tengah isu ini, muncul pertanyaan penting: Apakah setiap tindakan disiplin yang dimaksudkan untuk mendidik dapat dianggap sebagai tindak kekerasan? Bagaimana dampaknya terhadap dunia pendidikan jika guru merasa terancam dengan risiko dikriminalisasi setiap kali menegakkan disiplin?
Dilema Penegakan Disiplin dan Implikasi Hukum
Pendidikan adalah proses membentuk karakter, bukan hanya sekadar memberikan pengetahuan akademik. Disiplin merupakan elemen penting dalam pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai moral dan membentuk sikap siswa. Namun, ketika tindakan disiplin melibatkan pendekatan fisik, masalah mulai muncul. Di Indonesia, UU Perlindungan Anak melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, dan ini menjadi tantangan bagi para guru yang berusaha menegakkan disiplin dalam pendidikan.
Kasus Supriyani menjadi contoh nyata tentang bagaimana kebijakan hukum dapat berbenturan dengan realitas di lapangan. Ketika tindakan disiplin fisik diterapkan dengan tujuan mendidik tetapi dianggap sebagai penganiayaan, guru yang bersangkutan harus menghadapi proses hukum. Akibatnya, banyak guru bisa menjadi ragu-ragu untuk menegakkan aturan di kelas, karena takut berakhir di pengadilan. Jika rasa takut ini berkembang, dampaknya dapat merusak otoritas guru dan menurunkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Preseden Buruk bagi Dunia Pendidikan
Persepsi bahwa tindakan disiplin guru bisa selalu diinterpretasikan sebagai kekerasan menciptakan preseden buruk. Guru akan merasa kurang leluasa dalam menjalankan tugas mereka, dan otoritas mereka di dalam kelas bisa melemah. Siswa pun mungkin semakin sulit diatur, menyadari bahwa guru tidak memiliki kebebasan penuh untuk menegakkan aturan. Pada akhirnya, sekolah mungkin enggan menangani siswa yang memiliki perilaku bermasalah dan memilih untuk mengembalikannya kepada orang tua. Hal ini tentu merugikan tujuan pendidikan, yang seharusnya bertujuan membina siswa menjadi individu yang lebih baik.
Peran Orang Tua dan Masyarakat
Peran orang tua dan masyarakat sangat vital dalam menjaga keseimbangan antara hak anak dan kewenangan guru. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan: