Mohon tunggu...
Agus Sri Purwanto
Agus Sri Purwanto Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Saya seorang guru di SMA Negeri 1 Long Kali. Menjadi pembina Teater Pelajar Teater Bening Smansaloka. Aktif membuat buku bersama siswa, seperti Buku "Bening Part 1". Aktif juga sebagai seniman di Komunitas Bengkel Seni Bendera Kuning Long Kali sebagai pelatih bersama istri, Tri Handayani. Aktif juga membuat buku sastra seperti kumpulan puisi, cerpen, dan monolog.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Diterima

1 Juni 2024   19:26 Diperbarui: 1 Juni 2024   19:39 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tema : cintai teman berkebutuhan khusus

 

AKU DITERIMA 

Agus Sri Purwanto

Dor... dor...dor...

Serbuk halus mengusik pengelihatan, berasal dari peluru tembakan yang melesat cepat mengenai permukaan tanah kering. Tersusun rapi, serangan dilakukan dengan sempurna. Secara sadar membuat tipu daya untuk mengalihkan pusat perhatian, satu persatu peluru meluruhkan pertahanan OPM.

"Sialan! Dasar pengkhianat!" teriak Serma Jaksa, sebuah hantaman keras dilayangkan berulang kali.

"Tidak tahu diri, banyak korban berjatuhan karena ulahmu. Tentara yang menjadi pedoman, malah berkhianat. Otak busuk, berapa banyak topeng yang Kamu gunakan, Sertu Zidan?"

Sertu Zidan tersenyum kecil, terlihat menyeramkan dengan luka lebam hasil karya tangan Serma Jaksa.

"Bukannya hebat? Tidak ada yang mencium bau busuk atas perbuatan Saya selama ini."

Mendengar penuturan itu, mampu menyalakan kobaran api amarah dalam diri. Serma Jaksa semakin membabi buta memukul Sertu Zidan yang sudah tergeletak tidak berdaya. Sertu Zidan mengalami pendarahan hebat, bekas tembakan tidak henti-hentinya mengeluarkan cairan merah pekat.

"Silakan pukul! Pukul sampai mati karena setelah ini kita akan mati bersama," teriak Sertu Zidan sambil menahan sakit pada sekujur tubuh, terutama bekas tembakan.

***

"Hinan, Kamu sudah belajar untuk ujian Fisika?"

Kian mengerutkan alis, pertanyaan Renal sangat tidak enak terdengar. Renal selalu bertanya dengan pertanyaan yang tidak masuk diakal, herannya lagi Kian selalu merespon pertanyaan Renal.

"Ren, Kamu betulan nanyain ini ke Hinan? Seorang Hinan, siswa yang dua tahun berturut-turut ikut olimpiade astronimi."

"Siapa sih yang ikut olimpiade astronomi? Kenapa yang sombong malah Kamu."

"Siapa yang sombong? Aku cuma memberi tahu fakta."

"Hinan, lihat temanmu ini," adu Renal kepada Hina yang sudah memasang wajah lelah.

Hinan menggelengkan kepala heran melihat kelakuan temannya, semakin hari semakin tidak dapat diprediksi. Renal dan Kian hanya berdamai saat saling membutuhkan, terutama dalam berbagi jawaban saat ujian fisika. Mereka berdua sangat lemah dengan yang berbau hitungan, untung mereka berteman dekat dengan Hinan, pemakan rumus fisika.

"Aman saja, nanti Aku bagi jawabannya."

Mendengar penuturan Hinan, Renal dan Kian mengucapkan Puji Syukur pada Tuhan Yesus karena telah mengirimkan teman sepengertian Hinan. Jika tidak ada Hinan, jelas saja setiap mata pelajaran fisika mereka mendapatkan nilai merah.

Semua penghuni kelas dibuat panik saat melihat dari jendela, guru fisika sedang berjalan menuju kelas. Tidak ada satupun dari mereka yang belajar, menurut mereka lebih baik bekerja sama dari pada mengerjakan sendiri. Terlalu fokus menyiapkan kertas jawaban, sampai tidak menyadari jika guru fisika tidak berjalan seorang diri.

"Seperti yang kalian lihat, sekarang kita kedatangan murid baru bernama Tama. Ibu berharap, kalian berperilaku dengan baik terhadap Tama. Ingat pesan Ibu, memanusikan manusia sangat penting, percuma saja memikili harta dan berwawasan luas jika tidak bisa memanusiakan manusia."

Siswa-siswi kelas berteriak heboh mendengar penuturan Ibu Hani, tidak diragukan lagi Ibu Hani adalah guru yang sangat mementing sikap dari pada kepintaran seseorang.

"Ibu, Tama duduk sama Kian saja," teriak Kian sambil melambaikan tangan agar terlihat Ibu Hani, ia sangat bersemangat.

"Baik, Ibu percaya pada Kian."

Secepat kilat Kian berlari menghampiri Tama, ia mengajak berkenalan sambil memdorong kursi roda Tama menuju tempat duduk di sampingnya. Kian memang siswa yang miliki energi positif, ia sangat bersemangat berteman dengan orang baru tanpa membedakan.

"Ujian tetap dilaksanakan. Jika Tama kesusahan, bisa bertanya dengan Hinan."

Ibu Hani mulai membagikan soal ujian dengan memberikan waktu pengerjaan selama 30 menit. Sumpah serapah terucap dalam hati, ujian hitungan sebanyak 10 soal harus dikerjakan dalam waktu 30 menit.

"Tama, kalau kesusahan kasih tau Aku," bisik Kian.

Tama tersentuh dengan perlakuan lembut Kian. Jarang sekali ada orang yang mau berteman dengan Tama, apa lagi dengan keterbatasan yang ia miliki. Tama berharap, hal baik akan selalu menyertainya. Sudah cukup lelah ia rasakan, semoga Tuhan mau mengabulkan harapannya.

***

"Tama, Bunda ada di rumah? Rencana kita mau main ke rumah Kamu. Pasti kalau pergi keluar rumah, Kamu tidak boleh,"tutur Renal sambil memainkan gitar.

Sebulan berteman, Renal sudah cukup hapal dengan kehidupan Tama. Tidak boleh bermain di luar rumah, pulang sekolah selalu dijemput sang Bunda dan Tama adalah siswa dengan kepintaran di atas rata-rata. Ia bisa menyaingi nilai fisika Hinan dan unggul dalam mata pelajaran apapun selain bahasa indonesia.

Kehidupan Tama berjalan dengan baik, jauh lebih baik dari sebelumnya. Semua ini berkat ia bertemu teman seperti Hinan, Tian dan Renal. Mereka menerima dan mengerti tentang kondisi Tama, jika dalam kusulitan mereka bersedia mengulurkan tangan untuk membantu Tama.

Tempat berkumpul Hinan, Kian dan Renal sekarang adalah rumah Tama. Mereka sudah menganggap Tama teman dekat, malahan mereka sudah sangat akrab dengan Bunda Tama. Bunda Tama turut senang, melihat putranya mendapatkan teman yang baik.

 "Tam, mau ikut lomba film pendek?" tanya Hinan tiba-tiba.

Tama terkejut mendengar penawaran Hinan, ia sekit terhina. Padahal Tama tahu, Hinan tidak berniat menghinanya. Namun ucapan kata yang Hinan pilih tidak tepat, terdengar sedang menghina.

"Tidak, Aku tidak punya bakat."

"Bohong banget, waktu tugas minggu lalu nilai Kamu paling tinggi. Bakat kamu ada Tam, Pak Karno saja bilang seperti itu. Punya bakat harus dikembangkan, siapa tahu rezeki Kamu memang di film pendek."

Minggu lalu mereka mendapatkan tugas dari Pak Karno, guru kesenian. Satu angkatan diwajibkan membuat vidio dengan mengandalkan kreatifitas mereka. Tama memperoleh nilai paling tinggi dari angkatan kelas 11, Pak Karno kagum melihat kreatifitas Tama dalam membuat vidio.

"Dengan keterbatasaan, apa Aku pantas mengikuti perlombaan? Pasti banyak perserta lain yang lebih hebat."

Mendengar penuturan Tama mampu mengiris hati. Tidak mudah menjalani hari dengabn keterbatasan, Tama adalah manusia hebat. Mampu bertahan hidup dengan keterbatasaan yang ia miliki, pasti berat menjalani kehidupan seperti Tama.

"Tama, keterbatasaan Kamu bukan halangan untuk terus kedepan. Percaya, Kami bertiga bakalan temanin Kamu mengikuti perlombaan. Lomba film pendek itu menggunakan tim."

Hinan berusaha meyakinkan Tama untuk mengikuti perlombaan. Bakat yang Tama miliki sangat sayang jika tidak dikembangkan. Ditambah, sekolah sedang membutuhkan siswa-siswi yang memiliki bakat dalam film pendek.

"Aku pikirkan dulu, Aku juga harus mendapatkan restu Bunda."

" Jika Bunda ragu, biar kami yang membujuk."

"Nanti sore kita harus berkumpul di rumah Tama. Sebelum itu, kita harus beli telur gulung di tempat Pak Tatang," Renal sangat bersemangat.

"Iya, boleh Renal," tutur Tama.

***

"Abang, Bunda tidak melarang Abang untuk mengikuti perlombaan. Tapi pertanyaan Bunda, Abang beneran mau ikut lomba?"

Setelah pulang sekolah, Tama memberanikan diri untuk meminta izin Bunda. Sebenarnya Tama takut, Bunda sangat protektif terhadapnya, hidup Tama sangat tertara  oleh sang Bunda. Namun, Tama tidak pernah marah, ia mengerti yang Bunda lakukan demi kebaikan.

Tama heran kenapa Bunda tidak marah, malahan seperti mendukung dan menyerahkan keputusan padanya. Apa mungkin Bunda percaya pada Hinan karena Hinan adalah teman Tama yang paling dekat dengan Bunda.

"Masih ragu, Bun. Abang tidak percaya diri menggunakan kursi roda."

"Abang, dengarkan Bunda. Abang harus percaya diri, Abang harus buktikan bahwa orang dengan keterbatasaan itu mampu mengapai cita-citanya. Sedari kecil, Abang memang sudah mempunyai kreatifitas tinggi."

Setiap kata terucap bagaikan sihir, mampu menenangkan hati Tama. Bunda selalu memberi arahan kitita Tama sedang kebingungan. Sebuah keberuntungan Tama memiliki Bunda, yang selalu bersedia melindungi dan menjaga.

"Abang butuh persetujuan Ayah, nanti Ayah marah kalau Abang belum izin."

Bunda tersenyum melihat putranya mulai tumbuh menjadi remaja, teringat dulu Tama sering meminta izin untuk di belikan ice cream, sekarang ia meminta izin untuk mengikuti perlombaan.

Tok...tok... tok...

Terdengar suara ketukan pintu dari halaman depan rumah. Bunda beranjak duduk, berniat untuk membukakan pintu untuk tamu. Tama menahan tangan Bunda, mengode untuk di dorong kursi rodanya kedepan, ia teringat bahwa teman-temannya ingin bermain di rumah.

"Bun, Abang ikut. Kayanya itu teman-teman Abang, di sekolah Renal bilang ingin bermain ke rumah."

Bunda mendorong kursi roda  Tama sampain ruang tamu, setelahnya Bunda membukakan pintu untuk tamu. Laki-laki menggunakan PDH tentara, tanpa pikir panjang Bunda mempersilahkan tamunya untuk masuk.

"Sebelumnya Saya izin memperkenalkan diri, Saya Komandan Yonif 611 Awang Long, atasan Serma Rahajaksa Wicaksana. Saya ingin menyampaikan kabar duka."

***

"Selamat ulang tahun, Ayahku."

Tama meletakkan bunga di samping pusara bertuliskan Anumerta Rahajaksa Wicaksana, lahir 6 Februari 1982, wafat 4 April 2021. Berbulan-bulan berlalu, kesedihan bukan menghilang malah semakin bergejolak. Kepergian Ayah menciptakan luka mendalam bagi Tama dan Bunda. Tidak cukup selama ini merasakan kurang kasih sayang Ayah karena sibuk bertugas menjaga Ibu Pertiwi, sekarang malahan tidak akan merasakannya kembali.

"Ayah meninggal saat melakukan penyerangan terhadap pengkhianat, Ayah ditusuk menggunakan sangkur oleh prajurit Bintara. Atas jasa Ayah mendapatkan penghargaan Anumerta dan kenaikan pangkat," jelas Tama pada Kian.

Kali ini, Tama sengaja mengaja mengunjungi makam sang Ayah bersama temannya. Ia ingin mengenalkan saudara tidak sedarah yang selalu menemani dan melindungi dia. Tama juga ingin menunjukan bahwa ia berhasil memperoleh juara 2 film pendek tingkat Provinsi, semua itu tidak lepas dari perjuangan Hinan, Kian dan Renal yang selalu menemani Tama berproses.

Setelah kepergian Ayah, Tama dan Bunda selalu di temani Hinan, Kian dan Renal. Mereka selalu menguatkan Tama dan Bunda yang rapuh hingga kembali bangkit seperti dulu. Tama berhutang banyak pada temannya, ia tidak akan pernah melupakan jasa mereka.

"Tama, ayo kita ke gereja. Nanti setelah pulang dari gereja, kita bisa kembali lagi ke sini."

Sesuai perkataan Renal, mereka harus ke gereja terlebih dahulu. Kalau kata Renal, Tuhan dulu baru yang lain. Walaupun memiliki sifat kurang dewasa, Renal adalah orang yang sangat taat beribadah, itu yang membuat Tama jadi sering ke gereja.

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun