Dari pertemuanku dengan Mamang seblak yang bijaksana, aku jadi ingat film mandarin yang pernah ku tonton. Serial anak-anak Singapura yang bercerita tentang anak yang sudah berusaha mati-matian belajar, tapi tetap bodoh. Di salah satu episode, gurunya bilang jika segala sesuatu pasti ada sisi gelap dan sisi terang. Ada sisi baik dan buruknya. Jika kita merasa mendapatkan kejadian buruk, cobalah untuk melihatnya dari sisi yang lain. Siapa tau, itu bukan kejadian buruk, hanya saja kita salah memilih sisi untuk melihatnya.
Ada rasa lega tersendiri, meski rasa sakit tetap ada. Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Perempuan baik itu, sudah dengan rela hati menghabiskan waktu yang berharga untuk berkomunikasi denganku yang banyak kurangnya. Dia pasti sudah bekerja keras merubahku. Kini, aku telah ikhlas dan memang harus ikhlas dengan akhir yang sudah kuciptakan. Â
#
Sebulan kemudian, aku menyaksikannya bersanding dengan seseorang yang dia pilih. Bukan, lebih tepanya, yang dipilihkan oleh keluarganya. Syukurlah, perempuan yang datang sebulan lalu di bendungan untuk menemuiku, kini telah berhijab, dan menempuh jalan yang indah sesuai kepercayaannya. Setiap orang memiliki masa lalu, termasuk aku. Jika dia bisa berubah dan menemukan pengganti yang lebih baik, seharusnya aku juga bisa.
"Sakit nggak?" salah seorang teman, menyenggolku yang masih asik memperhatikan, kedua mempelai.
"Nggak, lah." Aku tersenyum, dan kembali menikmati hidangan malam itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H