Mohon tunggu...
Rosyida Putri Amila
Rosyida Putri Amila Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Seorang Lethologica

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Tanpa Judul

12 Agustus 2023   19:51 Diperbarui: 12 Agustus 2023   19:58 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aroma parfume harajuku menyebar di seluruh pojok kamar. Aku memakai jas terbaikku dan melangkah keluar dengan sepatu hitam seadanya. Yang penting bersih. Tak lupa kado sebagai hadiah pernikahan.

#

10 Juni kami resmi berpisah.

Malam minggu yang cukup kelabu, aku berjalan di pinggiran bendungan sambil menyeret koper berwarna coklat tua. Rodanya yang depan udah rusak, jadi sesekali kuangkat di bahu supaya mempersingkat waktu. Malam ini aku sudah janji untuk memenuhi keinginan terakhirnya, bertemu di bendungan. Sebelum kami benar-benar menjalani hidup sendiri-sendiri.

#

Anehnya, perempuan yang kutatap saat ini tampak lebih cantik dari biasanya. Ia memakai softlens berwarna coklat tua dengan riasan yang lebih tipis. Rambutnya dicat pirang di bagian ujung dan ada pita berwarna merah jambu di ujung kepang. Wau, aku baru sadar, dia juga pakai eyeliner serta eyelash extension agak panjang. Dia lagi nge-fans sama siapa sih?

"Hai," Tangan kanannya melambai ringan dari seberang. Aku tidak membalas. Entah mengapa otakku sibuk merangkai-rangkai memori tentang dia.

Setelah ia tepat berada di depanku, aku mengajaknya untuk mencari tempat terbaik untuk memulai upacara perpisahan. Terpilihlah, kursi pojok paling selatan bendungan, meskipun banyak penjual cilok bakar dan mamang seblak yang mangkal, tapi tetap saja, kami tidak pindah. Kursi itu dulunya menjadi saksi kami memulai kisah. Dan tentunya sebentar lagi ia menjadi saksi, kisah itu berakhir.

Sebelum semuanya benar-benar usai, pertama-tama ia mempersilahkanku untuk memberi sambutan terlebih dahulu. Ia menyuruhku mengeluarkan semua uneg-uneg selama aku dekat dengannya.

"Aku nggak punya uneg-uneg apa-apa." Kataku. Jujur, ia terlalu sempurna untuk orang sepertiku, yang banyak nggak bisanya.

"Yaelah, ngga seru." Ucapnya singkat sambil mengeluarkan jurus "bombastic side eyes".

"Aku tertekan." Katanya kemudian.

Ya Tuhan, belum juga ke tahap pernikahan, aku sudah berhasil membuat anak orang tertekan. Wal hasil malam itu aku menyaksikan kejujuran dari mulut orang yang aku suka, tentang apa yang dia pikirkan selama ini. Mungkin aku tidak peka. Mau bagaimana pun aku mencoba membela diri, merangkai-rangkai alasan untuk selamat dari situasi ini, tetap saja aku di pihak yang salah.

Kalimat demi kalimat itu bergulir lancar, dengan sesekali ia menarik kembali ingus yang sudah hampir menetes. kusodorkan tisu. Setelah beres mengelap, ia kembali melanjutkan argumen panjang. Ya Tuhan, aku udah ngantuk. Tolong di persingkat saja.

Namun, hingga jam sembilan malam, doaku belum juga dikabulkan. Make up perempuan yang kusebut 'cantik' di awal cerita ini, perlahan memudar. Eyeliner yang digunakan tidak tahan air, rupanya. Bulu matanya miring sebelah, hidung memerah, dan rambut dipenuhi titik abu kecil-kecil akibat duduk di samping pentol bakar. Dih, kocak!

Sesi terakhir dari upacara ini adalah penyerahan barang milik mantan. Setelah sekian lama, mengaung-ngaung di dalam koper, akhirnya kucing itupun keluar dan duduk manis di pangkuan sang ibunda.

"Ututu, kamu sehat Mo?" Nama kucing itu Moza. Hampir mirip nama keju. Awalnya aku ingin memberi ia nama Moana. Tapi, aku baru tahu jika ada anak artis yang namanya Moana juga. Akupun mengurungkan niat.

"Kucingnya aku balikin ya. Dan ini semua juga aku balikin." Kataku menunjuk koper setengah penuh. Isinya bermacam-macam. Ada case HP, buku diary biru langit, ada novel 'Manusia Setengah Salmon', ada kamus, ada buku akuntansi, psychology of money dan flash disk. Isi dari flash disk itu bukan foto atau kenangan tentang aku dan dia, tapi file tugas akuntasi. Selama dua tahun ini yang mengerjakan tugas akuntansinya adalah aku.

"Kopernya gimana?"

"Bawa aja dulu. Itu kopernya ibuk. Ntar dicariin. Besok aja kamu anter ke rumah." Jawabku. Aku pun menyaksikan langkahnya menjauh pergi, memasuki mobil honda brio warna merah yang terparkir di pinggir bendungan.

"Cepet banget dia pesen grab nya" pikirku.

#

Aku pun kembali menikmati malam. Mungkin karena malam minggu, jadi banyak sekali orang orang yang berkumpul di pinggiran bersama teman-teman. Sinar dari ponsel mereka tampak seperti kunang-kunang yang berpencar di berbagai titik. Cahayanya hilang timbul. Wah, indah juga. Entah mengapa aku merasa lebih lega, sekarang.

Masih terngiang bagaimana ucapan terakhirnya padaku. Ia bilang jika aku memiliki kepribadian yang aneh. "Dih, harusnya ia mengganti kata 'aneh' dengan kata 'unik', biar terdengar lebih sopan."

Katanya, aku sering lupa dengan namanya, sering lupa membalas pesannya, sering lupa tidak membawa ponsel, sering tidak membawa uang, tidak peka, tidak pernah memberi kado, tidak pernah bicara, dan kesulitan merasakan empati pada orang lain atau binatang. Maka dari itu, ia mengajariku merawat kucingnya, hingga sebesar sekarang. Meski aku berusaha mengelak di depannya. Tapi apa yang ia ucapkan barusan adalah kebenaran. Ya Tuhan, betapa baiknya Engkau. Kau kirimkan aku orang yang bersedia mengkritikku tiga jam tanpa script.

#

Dengan sisa paket data di HP, kuputar lagu di spotify. Judulnya 'we'll be okay, for today' dari Anya dan Arash. Nggak tau, enak aja ndenerinnya sambil menatap langit-langit semesta.

"A', seblak, A'." Mamang seblak yang sedari tadi sibuk melayani pelanggan tiba-tiba menyodoriku, semangkuk seblak panas.

"Punten, Mang. Saya nggak bawa uang." Kesekian kalinya aku lupa nggak bawa dompet saat keluar rumah.

 "Ini gratis. Coba dulu. Enak." Sambil menerima semangkuk seblak, si Mamang duduk di sebelahku. Ku coba matikan musik, namun dilarang sama si Mamang.

"A', setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Mungkin belum jodoh. Semoga dapat yang lebih baik." Ucapan si mamang layaknya sumber mata air di tengah kemarau.

"Makasih Mang." Mungkin sedari tadi, Mamang seblak mendengar teriakan-teriakan aibku yang dibongkar secara sepihak.

#

Dari pertemuanku dengan Mamang seblak yang bijaksana, aku jadi ingat film mandarin yang pernah ku tonton. Serial anak-anak Singapura yang bercerita tentang anak yang sudah berusaha mati-matian belajar, tapi tetap bodoh. Di salah satu episode, gurunya bilang jika segala sesuatu pasti ada sisi gelap dan sisi terang. Ada sisi baik dan buruknya. Jika kita merasa mendapatkan kejadian buruk, cobalah untuk melihatnya dari sisi yang lain. Siapa tau, itu bukan kejadian buruk, hanya saja kita salah memilih sisi untuk melihatnya.

Ada rasa lega tersendiri, meski rasa sakit tetap ada. Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Perempuan baik itu, sudah dengan rela hati menghabiskan waktu yang berharga untuk berkomunikasi denganku yang banyak kurangnya. Dia pasti sudah bekerja keras merubahku. Kini, aku telah ikhlas dan memang harus ikhlas dengan akhir yang sudah kuciptakan.  

#

Sebulan kemudian, aku menyaksikannya bersanding dengan seseorang yang dia pilih. Bukan, lebih tepanya, yang dipilihkan oleh keluarganya. Syukurlah, perempuan yang datang sebulan lalu di bendungan untuk menemuiku, kini telah berhijab, dan menempuh jalan yang indah sesuai kepercayaannya. Setiap orang memiliki masa lalu, termasuk aku. Jika dia bisa berubah dan menemukan pengganti yang lebih baik, seharusnya aku juga bisa.

"Sakit nggak?" salah seorang teman, menyenggolku yang masih asik memperhatikan, kedua mempelai.

"Nggak, lah." Aku tersenyum, dan kembali menikmati hidangan malam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun