Mohon tunggu...
Rosyida Putri Amila
Rosyida Putri Amila Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Seorang Lethologica

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hantu Felix

15 Juli 2022   11:52 Diperbarui: 15 Juli 2022   11:59 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sela-sela mengerjakan proposal skripsi ini aku menyempatkan menulis cerpen lagi, supaya otak nggak kaku sama bahasa-bahasa buku.

#

            Namaku Rindang. Sebuah nama yang penuh dengan harapan, dimana kedua orang tuaku berharap anaknya akan senantiasa menjadi pribadi yang mengayomi, meneduhkan dan bermanfaat bagi setiap orang layaknya pohon dengan daun lebat berwarna hijau, yang biasa disebut "rindang".

Kukira, harapan itu terkabul sedikit demi sedikit. Sejak SMP aku telah bergabung dengan tim kesehatan sekolah, pramuka dlsb. hingga masuk ke jenjang perkuliahan aku masih terus aktif menjadi relawan di bidang sosial. Beruntungnya aku masuk ke fakultas kedokteran dengan jurusan ilmu kesehatan masyarakat, jadi cukup relevan dengan kehidupan yang aku jalani.

Kisah ini bermula ketika aku menjalani koas di sebuah rumah sakit negeri di kabupaten tempatku berkuliah. Satu kelompok kami terdiri atas 5 orang, sebenarnya 6 orang tapi 1 teman kami meninggal seminggu sebelum koas dimulai. Sedih, takut? Ya, sedih dan takut. Bahkan aku sampai kesusahan tidur karena mengingat kematiannya. Kabarnya dia meninggal karena bunuh diri.

Sebelum ada kejadian bunuh diri ini. Salah seorang teman perempuan kami, beda kelas dan beda jurusan juga telah melakukan percobaan bunuh diri di loteng kampus. Meskipun tidak mati ditempat, namun tetap saja mati. Semua kasus dengan cepat ditangani oleh pihak yang berwenang, dan langsung ditutup oleh pihak kampus dengan alasan agar tidak membuat kegaduhan. Aneh. Sesimpel itu kah menangani nyawa manusia?

#

            Sore pertama di musim kemarau. Cuaca cerah bercampur dengan hawa kering. Sangat cocok untuk makan es krim. Dengan buru-buru aku menarik jas putih Aiman untuk mengantarku menuju mall yang dekat dengan kampus.

"Man, pengin McFlurry." Rengekku pada sepupuku itu. Kebetulan kami seumuran, satu kampus, satu jurusan, dan satu kelas. Sebab itulah, tak jarang Aiman dijadikan bahan perbandingan ketika ibu marah-marah. "Lihat tuh Rin, Aiman. Dia juga sibuk-kan, tapi masih bisa nganter budhe ke pasar, masih bisa masakin sarapan buat budhe. Rajin gitu lho, Rin. Kamu kapan bisa masaknya? Pulang-pulang tidur terus!" Aiman adalah pemangku tahta tertinggi di silsilah keluarga besar kami. Cucu kesayangan eyang, anak kesayangan semua sodara. Alah, padahal Aiman sama saja sepertiku, tidak pernah belajar.

"Lah, nggak ada duit. Ngirit, Rin." Jawabnya dengan songong. Kami akhirnya tidak jadi beli McFlurry dan memutuskan beli es krim murah di toko dekat kos.

"Eh, Rin. Elu tau nggak cerita soal Felix baru-baru ini." Di tengah keheningan tiba-tiba Aiman ngajak ngobrol pake bahan pahit kek biji mahoni. Dia tau aku sempat nggak bisa tidur dan nggak nafsu makan gegara kasus matinya Felix.

"Ya, tapi kalo lu nggak mau tau juga nggak papa. Ntar nggak bisa tidur lagi, kan repot yak." Suara Aiman bukanlah suara empati. Dia tercipta untuk menjadi tukang ledek abadi.

"Cerita aja! Gw nggak takut samsek* (sama sekali). Emang bikin ulah apa tuh bocah?" Sahutku sambil terus makan es krim. Aku memang bukan penakut. Bahkan, sejak kecil banyak sekali hal-hal mistis yang sering kulihat. Tapi untuk kasus Felix, masalahnya aku benar-benar takut.

"Oke, jadi gini. Dia tuh kan gantung diri kaga di kamar kostnya kan, tepatnya tuh di lantai tiga, tempat jemuran gitu. Sekarang nih, rame banget di grub kost yang ngomongin Felix. Katanya sering muncul di depan kamar dan di jemuran. Mereka tuh takut, Rin. Asli. Gue tau! Tapi mereka tuh, terus aja ngobrolin perkara kaga penting itu kalo lagi ngumpul. Ngegame jadi kaga seru kan, topik soal otomotif, kerjaan, kuliah dll tuh udah ganti ke topik Felix jadi hantu. Dan sekarang, Lu tau nggak, anak-anak kost udah pada jarang pulang. Mereka kek lebih milih nginep di kost temen, pindah kost atau ya entah berantah. Nginep di pos ronda kali."

"Lah, emang kenapa sih si Felix gantung diri di situ? Aneh banget. Dia kek orang nggak ada masalah, padahal ya. Bikin orang kaget aja." Sejak percakapanku dengan Aiman sore itu, topik hantu Felix terus beredar dikalangan anak-anak FK kelas ku yang rata-rata ngekost di tempatnya Aiman dan tempatku. Mereka semua bercerita pernah di temui Felix dalam keadaan buruknya, kecuali aku.

"Serius, Lo nggak pernah di datengin Felix, Rin?" Sergah salah seorang teman. Buru-buru aku menggelengkan kepala. Semua mata tertuju kearahku. Mereka seketika diam dan kembali meneruskn pelajaran.

            Hantu Felix telah menjadi pemersatu kelas kami. Anak kelasku yang terkenal individualis dan serius meraih cita-cita menjadi dokter, kini menjelma jadi kelas paranormal experience with Felix's ghost. Namun seiring berjalannya hari mendekati koas, semua kembali normal dan kisah itu perlahan hilang.

#

            Koas-pun dimulai.

Pagi sekitar jam setengah lima aku mengunjungi RS, untuk memastikan lokasi dan sekedar menghafal jalan. Sendirian, di tempat yang agak sepi. Terlihat hanya ada petugas kebersihan dan tukang kebun rumah sakit. Sekedar berbasa-basi aku menanyakan ini itu pada mereka. Namun, dari halaman tempatku berdiri bersama bapak-bapak itu tampak dari kejauhan tepatnya di bagian lorong seorang laki-laki berjas putih berjalan. Wajahnya tidak jelas karena saking jauhnya. Tapi aku melihat ia berjalan sambil menoleh ke arahku.

"Pak, sudah ada mahasiswa koas yang datang sebelum saya?" tanyaku pada mereka.

"Belum mbak, pagi ini belum ada yang datang. Padahal biasanya dr.Tio yang jadwalnya pagi jam segini sudah menyapa, hari ini belum datang juga." Jelas pak kebun.

            Aku mengangguk. Lelaki berjas putih tadi masih mengarah kepadaku. Aku merinding.

"Pak, kalo laki-laki itu siapa, Pak?" tunjukku dengan mengarahkan muka ke laki-laki tadi.

"Yang mana, Mbak? Maaf kalo jauh saya ndak kelihatan" Beliau tersenyum dan kembali mengayunkan gunting pemotong rumput di rerimbunan tanaman pagar. Aku buru-buru berlalu melalui pagar depan dan masuk ke parkiran yang mulai ramai petugas rumah sakit.

Aku terus kepikiran dengan laki-laki tadi, hingga tidak fokus melakukan koas hari pertama. Malamnya, aku pulang dengan menangis sesenggukan menuju kos yang jaraknya lumayan jauh. Belum sampai di parkiran, aku kembali melihat laki-laki itu berdiri mematung ke arahku. Dia seperti mengikutiku dan berpindah-pindah tempat. Kini aku yakin jika ia bukanlah manusia, karena ternyata jika dilihat dari jarak dekat, ia tampak lebih transparan di siang hari, dan terlihat cukup jelas ketika menjelang malam. Aku melihatnya, meski aku bukan indigo.

            Sesampai di kos, buru-buru aku menelepon Aiman dan menceritakan kejadian hari ini. Tapi, jawaban Aiman tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Ia sepertinya kelelahan untuk koas hari ini. Dia hanya menganggap aku sedang mengada-ada karena saking takutnya aku pada kematian Felix yang mengejutkan. Jujur, Felix adalah orang yang baik. Terkadang humoris, dan terkadang pendiam. Entah kenapa dia selalu perhatian padaku dan baik, layaknya saudaraku sendiri. Melebihi baiknya Aiman.

            Beberapa hari kemudian, laki-laki yang kuduga hantunya Felix kembali membayangi. Ia terus mengikutiku, dan sesekali menampakkan diri dan seperti ingin menyampaikan sesuatu.

Karena merasa terganggu, aku terus berusaha menghubungi Aiman untuk menceritakan hantu yang semakin hari semakin mirip dengan Felix. Felix bukanlah keturunan asli Indonesia. Wajahnya khas ala bule, karena ayahnya warga negara Jerman, setauku. Ibunya Cina Indonesia. Kulitnya putih bersih, dan jarang orang yang setampan dia di daerah ini. Sehingga semakin jelas jika dia adalah hantunya Felix.

#

"Man, plis angkat telpon gue, Man. Si Felix nggak cuma ngikutin gue di rumah sakit, tapi di kost-an juga, Man." Chatku pada Aiman sambil tangan gemeter karena ada suara sepatu pantofel yang keras banget di luar kamar. Aku yakin, nggak ada cewek tengah malem yang jalan-jalan di lorong kosan pake pantofel. Kurang kerjaan banget.

            Karena tidak segera mendapatkan balasan dari Aiman, aku menghubuni Fira, teman se-RS dengan Aiman. Si Fira pun tidak segera membalas hingga aku ketiduran dan pagi tiba. Aku sampai nggak berani keluar kamar untuk sekedar wudhu di subuh itu. Aku bener-bener wudhu pake air galon minum di kamarku dan aku wadahi pake keranjang make up. Untungnya ukurannya lumayan besar. Meskipun akhirnya kamarku basah sana-sini.

Buru-buru aku melihat chat dari Fira. "Lo nggak tau Rin? Aiman masuk RS loh, drop banget dia. Sejak hari kedua." Demikianlah tulisan dari seseorang bernama Fira itu.

"Lah, masa? Kemarin Senin masih nggak apa-apa. Kenapa dia? Flu Burung?"

"Husss, ngomong dipikir dulu keles, nggak tau gue Rin, kemarin gue sama anak-anak yang masukin di ke ruangan rawat, tapi yang nangani dokter lain. Bukan kita." Dia pucet, kek nggak makan berbulan-bulan. Lemes. Kalo kita lihat sih, keknya dia ada depresinya, Rin. Soalnya dia ada perbuahan tingkah laku gitu sebelumnya. Nglamun juga."

Tulisan panjang itu langsung ku sampaikan ke budhe, khawatirnya beliau belum tahu. Belum sempat pesan itu terkirim, ibu buru-buru meneleponku dan mengabari jika Aiman dibawa ke rumah sakit yang lebih besar di kota lain. Ibuku menangis melihat tubuh Aiman yang mendadak pucat. Kabar terbarunya, Aiman overdosis mengonsumsi obat penenang. Lah, Aiman emangnya ada panik kenapa, sampek minum obat penenang.

Semakin hari, aku semakin kehilangan kabar Aiman, ibuku tidak bisa dihubungi, begitupun budhe dan grub keluarga besar yang biasanya rame membangga-banggakan Aiman dan cucu laki-laki mereka tiba-tiba sepi bak kuburan.

Koasku kembali berjalan sebagaimana biasanya, rencananya sore ini aku ingin menemui hantu Felix. Aku akan menunggunya di parkiran. Tidak peduli seberapa malam ia akan muncul ke permukaan.

Belum juga maghrib usai berganti isyak, aku kembali melihat penampakan itu di lorong rumah sakit. Perlahan aku mengucap, dan bersungguh-sungguh sambil membatin.

"Lix, plis. Kalo itu Lo, kesini sekarang dan bilang apa yang pengin Lo sampein"

Aku menutup rapat mataku hingga rasanya beku. Eh, Astaghfirullah,. Mataku nggak bisa dibuka. Frezz, bener-bener saat berdiri itu, aku serasa dingin yang sangat sampai mati rasa. Perlahan aku mendengar bisikan lirih di telinga kiriku.

"Rin, aku nggak bunuh diri. Tolong Rin, aku nggak bunuh diri. Aiman.. Aiman Rin.." Setelah suara itu terdengar lemah dan hilang, tubuhku lemes se lemas-lemasnya. Hampir aku pingsan, tapi entah kenapa nggak pingsan juga. Beda dengan yang pernah kulihat di sinetron, disini tidak ada sama sekali orang yang menolongku. Ah dasar sinetron penipu.

Buru-buru aku di akhir pekan, izin untuk pulang menjenguk Aiman. Ia masih di infus dan slang oksigen tertancap di lubang hidungnya. Aku berpikir, mungkinkah Aiman yang membunuh Felix? Tapi kondisinya Felix kenapa tergantung di jemuran besi? Kenapa hasil autopsi tidak ada yang menunjukkan adanya kekerasan, dan tidak adanya racun atau apapun yang menunjukkan ia dilukai orang. Aku masih tidak percaya dengan pendengaran ini. Aku pelupa, dan sering salah. Tapi sepertinya kali ini aku cukup yakin.

"Man, Aiman.." Aku berbisik di samping kuping kanan Aiman. Ia tidak bergeming sedikitpun. Cowok cakep, putih, cosplay-nya Sasuke yang jadi idaman para emak-emak sekompleks ternyata bisa jadi jelek dan pucat seperti sekarang. Sungguh beda dengan Aiman yang biasa kulihat pake kemeja putih ala dokter. Budhe yang disampingku, ku beri kode untuk keluar kamar sebentar.

"Man, lu denger gue kan. Man, ada hubungan apa Lo, sama kematian Felix?"

"tutt...." Kaget, sumpah!. Nafasnya yang tadi biasa saja tiba-tiba sesak hingga reflek aku memencet tombol emergency. Beberapa perawat dan satu dokter datang. Kini aku yakin, Aiman bisa mendengar suaraku. Setelah semuanya tenang, perlahan, Aiman membuka matanya. Merah. Mata tajam itu berubah menjadi merah kekuningan. Dan kelopaknya bengkak.

"Gu-Gue, benci dia Rin." Suaranya sangat pelan. Benar benar pelan dan lirih. Mungkin hanya aku dan pendengaran kelelawar yang bisa mendengarnya."

"Kok bisa? Alasannya?"

"Dia yang ngelakuin pelecehan ke mahasiswi yang bunuh diri di loteng."

"HAH?"

"Gue udah tau semua perbuatan dia Rin, gue marah dan mau gue laporin ke pihak kampus. Tapi dia tiba-tiba bunuh diri" Jawab Aiman dramatis.

            Diseberang dipan rumah sakit itu, tampak Felix dengan tubuh transparannya mematung menghadapku, entah bagaimana caranya ia mengeluarkan suara yang bisa kudengar tanpa ia membuka mulut .

"Bukan aku Rin, Aiman pelakunya. Aku tau semuanya Rin, dia njebak aku di jemuran." Seketika semua bayangan Felix hilang, suara itu melemah dan seperti ada desahan kecewa yang sangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun