Pada fase keberangkatan, selain pengisian kuota yang mendadak, tantangan muncul tatkala jemaah pertama kali berhadapan dengan budaya dan suasana baru. Mereka berangkat dari ragam latar belakang, sosial, budaya, tradisi, ekonomi, pendidikan, dan pemahaman keagamaan. Sekitar 210.077 jemaah atau 98,5 persen di antaranya belum pernah berhaji. Bahkan sebagian besar di antara mereka belum pernah keluar kota apalagi naik pesawat.
Berada dalam situasi penerbangan selama 9 jam pada ketinggian di atas 32.000 kaki menjadi pengalaman pertama. Ada semacam gegar budaya adaptasi penggunaan fasilitas di pesawat. Salah satunya kondisi toilet yang tidak biasa, tidak ada air, tidak ada gayung, tidak ada shower. Takut ke toilet, terus jemaah mengurangi minum. Bahkan tidak berani beranjak dari kursi.
Pengalaman pertama tidak berhenti di pesawat. Sesampainya di hotel, masih perlu penyesuaian. Tidak berani naik lift misalnya. Ini jelas persoalan serius. Mengingat hampir semua akses ke kamar hotel di Saudi gunakan lift. Pendingin ruangan di kamar, bagi sebagian jemaah tidak terbiasa. Dalam kamar terdiri dari jemaah berbeda keinginan. Ada yang tidak betah dengan pendingin. Sementara satunya masuk angin ketika kena kipas. Lampu juga hampir sama dengan pendingin. Ada jemaah yang bisa tidur dengan lampu menyala, sementara lainnya nyaman dalam gulita. Mandi berkali-kali karena panas dan keringatan, memasak dalam kamar, dan masih banyak lagi perilaku unik lainnya.
Dalam hal bagasi, masih saja didapati jemaah tidak mau mengerti dan tidak patuh peraturan dengan barang bawaan. Membawa uang dan rokok melebihi ambang batas, benda keramat, ramuan obat tradisional yang secara aturan jelas melanggar negara Saudi.
Ini terkait dengan paradigma, pengetahuan, atau tradisi jemaah terhadap proses berhaji. Anggapan bepergian haji tidak berbeda seperti bepergian ke kota-kota di Indonesia. Padahal sosialisasi dan pemahaman terkait adanya aturan lintas negara sudah disampaikan dalam berbagai kesempatan manasik.
Jika dilihat dari latar belakang pendidikan 39,7 persen jemaah mentok di SLTP. Dari jenis pekerjaan, jemaah haji didominasi lima kelompok besar. Pertama mereka yang mengaku sebagai ibu rumah tangga sebanyak 27,0 persen, disusul pegawai swasta 22,0 persen, Pegawai Negeri Sipil (PNS) 20,1 persen, petani 12,0 persen, dan pedagang 8,8 persen. Sisanya kurang dari 10 persen ada dari TNI, Polri, BUMN, pensiunan, mahasiswa, dan lainnya.
Performa ketepatan waktu maskapai menjadi titik krusial berikutnya dalam proses keberangkatan. Penerbangan terlambat lebih dari lima jam berefek domino terhadap banyak hal. Bukan saja pada kedatangan jemaah di Saudi, tapi juga proses antrean terhadap keloter lainnya. Kondisi asrama sudah disetel sedemikian rupa untuk menampung jemaah secara giliran. Keterlambatan satu keloter berdampak kapasitas asrama tidak tercukupi. Sistem antar jemput bus, katering, kesehatan adalah layanan yang berdampak ekstra. Selain juga kondisi tersebut berpengaruh terhadap mental dan kelelahan jemaah.
Tahun 2024, jemaah haji Indonesia diangkut oleh dua maskapai besar, Garuda Indonesia dan Saudi Airlines. Garuda Indonesia mengangkut 109.072 jemaah dalam 292 keloter dengan pesawat tipe B747-300, B777-300, A330 - 300, dan A340 - 300. Garuda melayani jemaah yang berangkat dari sembilan Embarkasi, yaitu Banda Aceh, Medan, Padang, Pondok Gede, Solo, Banjarmasin, Balikpapan, Makassar, dan Lombok. Sedangkan Saudi Airlines menerbangkan 106.993 jamaah dalam 261 keloter dengan pesawat B747-300, B777-300, dan A330-300.
Sejalan dengan keberangkatan, ada kedatangan jemaah di Tanah Suci. Jika terjadi keterlambatan kedatangan jemaah, sangat mengganggu ritme penyambutan jemaah di bandara, penyiapan hotel, katering, dan transportasi serta penumpukan jemaah di ruang transit. Perlu kita tahu setiap hari rata-rata ada 20 keloter kedatangan jemaah Indonesia dari 14 embarkasi. Mereka semua perlu mendapat layanan secara adil. Dan kedatangan jemaah haji tidak hanya dari Indonesia saja.