Mohon tunggu...
Rooy Salamony
Rooy Salamony Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya pelayan masyarakat rooy-salamony.blogg.spot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

EMPAT PILAR DESA

25 Oktober 2016   12:36 Diperbarui: 25 Oktober 2016   12:50 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para sosiolog menyebut desa sebagai kampung (rural) yang ditandai dengan kehidupan kekerabatan dan keakraban, sebagai lawan dari kota (urban) yang ditandai oleh kehidupan mandiri, individualis dan terspesialisasi. Dalam pengertian yang lebih khusus, desa dipahami sebagai tempat tinggal masyarakat petani, nelayan dan perambah.

Para ahli ilmu politik memandang desa sebagai organisasi kekuasaan tingkat lokal yang memiliki hak dan kewajiban untuk menata kehidupan mereka sendiri, sekaligus tunduk pada pengaturan organisasi kekuasaan supra desa. Dalam pengertian itu, desa perlu didorong untuk semakin mandiri dan semakin otonom.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menghubungkan perspektif-perspektif di atas, menjadikannya sebagai pengertian yang utuh tentang desa. Desa, demikian bunyi Pasal 1 angka 1 Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa, berdasarkan pengertian ini, berisi 4 (empat) dimensi pembentuknya, yang selanjutnya disebut 4 pilar desa.

Pertama, dimensi masyarakat. Kedua, dimensi wilayah. Ketiga, dimensi kewenangan. Keempat, dimensi rumah tangga desa. Keempat dimensi ini membentuk wujud desa secara utuh. Karena itu keempat dimensi ini dapat disebut 4 pilar desa: masyarakat, wilayah, kewenangan dan rumah tangga.

1. Masyarakat

Masyarakat adalah element pertama dan terutama di desa. Menurut Soerjono Soekanto (2006:22) masyarakat adalah suatu sistem kehidupan bersama yang menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya. Emile Durkheim, meski secara tegas menolak pengertian masyarakat tanpa kehadiran manusia secara nyata, memberikan ruang penafsiran baru ketika menyebutkannya sebagai "keterpisahan entitas dengan yang riil dalam miliknya sendiri" (Robert,1997:107). Bagi Durkheim, masyarakat semacam ini, bukanlah sesuatu yang dapat diraih dan disentuh, sebagaimana layaknya seorang pribadi, tetapi lebih menyerupai saling keterikatan antara manusia dan norma.

Manusia, dalam pengertian masyarakat, tidak dapat lepas, atau hidup berlawanan dengan norma dimaksud. Norma adalah aturan yang nyata sekaligus pengikat bagi masyarakat.

Dalam masyarakat modern sekarang ini, pemikiran Durkheim lebih relevan manakala ditemui bahwa suatu masyarakat "maya" dapat saja terbentuk melalui ikatan persahabatan, persaudaraan, profesi atau keyakinan. Masyarakat seperti ini memiliki norma yang dibangun dan disepakati bersama sebagai pengikat diantara mereka.

Kelompok sosial kini menempati posisi tengah dari pembahasan tentang masyarakat modern. Dimana saja dan kapan saja, kelompok sosial dapat terbentuk. Ferdinand Tonnies (Gidden and Turner, 1987) mengklasifikasikan masyarakat atas dua bagian besar berdasarkan pengamatannya terhadap ikatan-ikatan sosial yang membentuk kelompok sosial. Kelompok sosial masyarakat  yang pertama adalah masyarakat paguyuban atau Gemeinschaft. Kelompok masyarakat yang kedua adalah masyarakat patembayan atau Gesellschaft.

Masyarakat paguyuban ditandai oleh hubungan batin yang bersifat murni dan alamiah. Dalam masyarakat paguyuban, suasana dan perasaan lebih penting dari tujuan. Tiga model masyarakat paguyuban adalah (a) masyarakat paguyuban oleh ikatan darah (Gemeinschaft by blood, (b) masyarakat paguyuban oleh ikatan wilayah (Gemeinschaft of place) dan (c) masyarakat paguyuban oleh ikatan pernikahan. Desa, ditinjau dari konsep Tonnies, adalah salah satu bentuk masyarakat paguyuban atau Gemeinschaft.

Pada sisi lain, masyarakat patembayan ditandai oleh ikatan jangka pendek yang bersifat formal dan mekanis. Rasionalisme adalah dasar dari hubungan kelompok sosial ini. Ikatan kelompok bersifat longgar, adanya kompetisi serta ikatan yang bersifat impersonal dan tidak langsung. Kota, masyarakat industri, masyarakat modern dan sosietas kosmopolitan masuk dalam kategori ini.

Tiap masyarakat diikat oleh suatu ikatan tertentu yang menyatukan mereka. Ikatan itu dapat berupa hubungan kekeluargaan antar anggota masyarakat, kepercayaan, norma, juga sejarah. Tetapi ikatan-ikatan itu biasanya longgar. Hukum adalah pengikat masyarakat yang lebih kuat daripada ikatan-ikatan yang disebut sebelumnya. Hukum tidak saja mengatur hubungan antar masyarakat, tetapi juga menentukan sanksi atas pelanggaran. Sanksi hukum biasanya ditegakan oleh aparatus tertentu.

Suatu masyarakat yang diikat oleh hukum tertentu disebut masyarakat hukum. Ter Har dalam teorinya tentang Beslissingenleer (teori keputusan) melihat bahwa putusan-putusan yang dibuat orang-orang yang memiliki otoritas tertentu dan dipatuhi secara luas dan sepenuh hati oleh masyarakat merupakan inti dari praktek masyarakat hukum. Keputusan dalam masyarakat dapat berupa keputusan penyelesaian perselisihan atau keputusan tentang harta milik. Karena itu, Ter Har mendefinisikan masyarakat hukum sebagai "kelompok-kelompok masyarakat yang tetap dan teratur yang mempunyai kekuasaan sendiri serta kekayaan sendiri, baik yang terlihat maupun tidak terlihat".

Dalam lingkungan masyarakat adat, gejala keputusan hukum sebagaimana disebutkan Ter Har dapat ditemui secara mudah. Para elit masyarakat adat memiliki otoritas untuk memutuskan persoalan kehidupan sehari-hari masyarakat berdasarkan hukum-hukum yang hidup dalam lingkungan sosial desa. Sebagian dari hukum-hukum itu tertulis, sebagian lagi merupakan konsensus yang dihidupi dalam praktek bermasyarakat.

Ketika istilah hukum adat (Adat-Recht) digunakan oleh Prof.Dr. Christian Snouk Hurgronje dan diteruskan oleh Prof. Mr.Cornelis van Vollenhoven, kata itu merujuk pada apa yang disebut van Vollenhoven sebagai "aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi - yang karenanya disebut hukum - dan dipihak lain tidak dikodifikasi - yang karenanya disebut sebagai adat. Unsur-unsur hukum adat meliputi: (a) adanya tingkah laku yang teratur dan sistematis yang dilakukan secara terus-menerus, (b) adanya kesakralan dalam tindakan, (c) adanya keputusan, (d) adanya sanksi atau hukuman, (e) tidak tertulis dan dihayati.

Masyarakat hukum adat hidup dalam kesatuan komunitas. Karena itu disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.  Terdapat tiga jenis kesatuan masyarakat hukum adat yaitu:

a. Kesatuan masyarakat hukum adat Geneologis:

b. Kesatuan masyarakat hukum adat Teritorial;

c. Kesatuan Masyarakat hukum adat Fungsional.

2. Wilayah

Wilayah adalah istilah yang berhimpitan dengan daerah. Wilayah dimaknai sebagai daerah kekuasaan dimana tugas-tugas pemerintahan dilaksanakan. Karena itu dikenal istilah wilayah administratif, wilayah negara, wilayah kecamatan, dan seterusnya. Wilayah juga dapat diartikan sebagai tempat bermukimnya rakyat dimana kekuasaan pemerintahan dilaksanakan. Kesimpulan yang kemudian muncul adalah bahwa wilayah adalah daerah kekuasaan pemerintah.

Cara Nine (2008:148-149) menjelaskan bahwa penggunaan istilah wilayah (teritorry) berhubungan dengan kekuasaan atas lahan. John Locke dan para pemikir yang mengikuti teori perjanjian masyarakat, tulis Nine, melihat bahwa istilah wilayah pada mulanya bersumber dari hak dasar individu sebelum ia menyerahkan hak itu dalam perjanjian pembentukan negara (Pactum Unionis).

Tiap individu memiliki lahannya sendiri, dan diatas lahan itu ia mengupayakan kehidupannya. Hak individu atas lahan dan kehidupan ini disebut para pemikir Lockean sebagai hak wilayah (territorial right).

Pada saat individu menyerahkan hak mereka dalam perjanjian sosial membentuk negara, negara sendiri telah memiliki wilayah juridiksi yang mengatasi wilayah-wilayah lahan individu. Karena itu, negara dapat meningkatkan hak wilayah (territorial right) yang semula dimiliki individu menjadi hak wilayah untuk kepentingan kolektif melalui pengelolaan bersama atas lahan. Pada perkembangan selanjutnya, hak wilayah terbagi atas dua bagian besar. Pertama, hak wilayah dalam arti kekuasaan individu atas lahan dan penggunaannya. Kedua, hak wilayah dalam arti klaim negara atas wilayah teritorial.

Bagi Cara Nine, hak wilayah yang dimiliki individu adalah penting berkenan dengan diskursus hubungan antara wilayah dan keadilan. Derajat keadilan ditentukan oleh seberapa jauh jarak antara hak wilayah individu dan hak wilayah negara.

Negara yang memiliki hak teritorial - dalam arti wilayah geografis - juga memiliki hak yuridiksi untuk membuat, menyelaraskan dan memaksa berlakunya hukum negara atas suatu wilayah. Pada posisi ini negara dapat memberikan kepada orang lain hak pengelolaan atas suatu wilayah lahan tertentu yang semula dikuasai individu. Keadilan, dapat menjadi dalih negara mengatasi hak teritorial individu. Negara dapat mengambil alih suatu wilayah dan melakukan aktivitas pembangunan atas wilayah itu demi keadilan bersama.

Desa di Indonesia, pada mulanya, tidak mengenal hak-hak individu. Desa diatur menurut prinsip kolektivitas. Harato Pusako dan Ulayat orang Minangkabau yang menetap dalam nagari dibagi menurut prinsip kebutuhan bersama. Demikian pula halnya pembagian tanah garapan secara bergiliran dalam  lingkungan masyarakat Baduy di Banten. Di seantero pulau Jawa, sebelum Thomas Stamford Raffles memperkenalkan pembagian tanah untuk tiap keluarga dan individu, tanah bersifat sosial dan digarap sesuai kebutuhan tiap rumah tangga.

Wilayah desa adalah daerah kekuasaan pemerintah desa. Hak dan kewajiban pemerintah berlaku hanya dalam wilayahnya. Wilayah desa ditentukan atas kesepakatan terhadap batas desa. Objek pengaturan batas desa adalah batas-batas alam dan batas buatan yang ditetapkan sebagai batas wilayah yuridiksi desa. Tanpa batas desa, wilayah yuridiksi desa menjadi tidak jelas.

3. Kewenangan

Kewenangan adalah unsur paling abstrak dari keempat pilar pembentuk desa. Masyarakat dapat ditunjuk dalam rupa keluarga, perkumpulan arisan, kelompok masyarakat adat atau penduduk desa. Wilayah dapat diindera dalam bentuk lahan, hamparan perkebunan, batas sungai, atau pilar batas. Rumah tangga desa dapat diamati dari dokumen perencanaan desa, dokumen anggaran pendapatan belanja desa, organisasi pemerintah desa, lembaga kemasyarakatan desa, serta aktivitas penyelenggaraan pemerintahan desa. Tetapi kewenangan hanya ada dalam alam ide. Ia tidak dapat diindera. Kewenangan merupakan suatu gagasan yang tersimpan dalam kesadaran.

Meski demikian, ide tentang kewenangan bukanlah ide yang subjektif. Suatu ide yang subjektif berarti ide itu terlepas dari pikiran manusia. Ide subjektif akan hadir manakala ia diciptakan oleh pikiran. Kewenangan bukanlah ide semacam itu.

Kewenangan adalah ide objektif. Ide kewenangan tidak diciptakan oleh pikiran. Justru pemikiran yang selalu diarahkan kepada ide objektif ini. Sebagai ide objektif, kewenangan senantiasa hadir bersama-sama dengan kesadaran akan hadirnya manusia. Nestar Russell (2014:194-195) menunjukan bahwa dalam eksperiman sosial tentang "hubungan dan kepatuhan", dua orang yang telah mengenal satu sama lain dapat secara suka rela menentukan siapa diantara mereka yang layak menjadi "atasan" dan siapa yang menjadi "bawahan". Faktor penentu dalam penentuan posisi ini adalah kewenangan. Pendapat Russell menguatkan kesimpulan dari eksperimen sebelumnya yang dilakukan Stanley Millgram dalam model "Obedience to Authority" (OTA) untuk menyokong tesis Millgram tentang kepatuhan pada suatu kewenangan.

Masyarakat desa yang sedang melaksanakan kerja bakti membangun balai pertemuan misalnya, akan bekerja dibawah komando dan perintah orang-orang tertentu. Mereka mendirikan rangka bangunan, memasang tembok bata, menyusun atap atau memasang ubin berdasarkan instruksi beberapa orang yang dipercaya dapat mengarahkan mereka untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Gejala ini yang disebut oleh Millgram sebagai kepatuhan pada kewenangan. Dalam kesadaran tiap orang yang membangun balai desa, ada suatu "kekuasaan" yang melekat secara permanen pada para pemberi instruksi, sehingga apa yang mereka perintahkan akan diikuti dan dipatuhi.

Secara sederhana kewenangan diartikan sebagai kekuasaan. Kewenangan desa dengan demikian adalah kekuasaan desa. Ali Abdul Wakid (2011:130) mengikuti pemikiran Max Webber memaknai kewenangan sebagai otoritas yang memungkinkan organisasi pemerintah digerakan dan melaksanakan pekerjaannya. Otoritas yang menggerakan organisasi pemerintah itu terdiri atas otoritas tradisional, otoritas kharismatik dan otoritas legal rasional.

4. Rumah Tangga Desa(Tata Pemerintahan Desa)

Rumah tangga desa adalah sebutan lain untuk aktivitas penyelenggaraan pemerintahan desa. Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh pemerintah desa. Penyelenggaraan pemerintahan desa meliputi aspek-aspek :

(a) Pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban kepala desa.

Pelaksanaan tugas kepala desa adalah tindakan kepala desa dalam jabatannya selaku kepala desa. Tindakan itu meliputi pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan pengawasan kebijakan bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan dan pemberdayaan. Lebih jauh dari kebijakan adalah aksi atau kerja nyata. Aksi kepala desa dalam pelaksanaan tugasnya meliputi aksi pada bidang pemerintahan, bidang pembangunan, bidang kemasyarakatan dan bidang pemberdayaan.

Dalam melaksanakan tugasnya, kepala desa memiliki wewenang. Wewenang kepala desa dalam konteks ini adalah apa yang dimaksud oleh Max Weber sebagai kewenangan formal atau legal authority. Meskipun dalam diri kepala desa, secara faktual, terdapat wewenang kharismatik yang berasal dari kuasa adi manusia yang diakui secara umum, ataupun terdapat wewenang tradisional yang berasal dari kekuasaan turun temurun wewenang formal adalah fungsi dari pelaksanaan tugas kepala desa. Wewenang kepala desa meliputi antara lain menyelenggarakan pemerintahan desa, mengangkat dan memberhentikan perangkat, memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan asset serta menetapkan peraturan desa.

Selain wewenang, kepala desa juga dilengkapi dengan hak dan kewajiban. Hak kepala desa antara lain adalah mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa. Sementara kewajiban kepala desa antara lain adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Pelaksanaan wewenang, hak dan kewajiban kepala desa menjadi seimbang manakala dalam diri kepala desa melekat kewajiban dan larangan yang memaksa kepala desa tunduk pada kepentingan masyarakat desa.

Kepala desa dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh perangkat desa yang dipilih dan diangkat oleh kepala desa. Para perangkat adalah pelaksana tugas kepala desa pada masing-masing jabatan yang diembannya.

(b) Musyawarah Desa

Selain pemerintah desa, rumah tangga desa juga dijalankan oleh Musyawarah Desa. Musyawarah desa merupakan forum tertinggi pengambilan keputusan masyarakat desa. Dalam musyawarah desa hadir pemerintah desa, lembaga kemasyarakatan desa serta masyarakat desa. Disini diputuskan hal-hal strategis tentang kehidupan masyarakat desa yang meliputi perencanaan desa, penataan desa, pembentukan BUM Desa serta kerjasama desa. Musywarah desa dipandu oleh Badan Permusyawaratan desa selaku lembaga desa yang menjamin kehidupan demokrasi di desa. Masyarakat desa berhak dan wajib hadir dalam musyawarah desa

(c) Peraturan Desa

Peraturan Desa menengkonfirmasi keberadaan desa sebagai entitas masyarakat otonom yang mampu mengatur dan mengurus rumah tanggannya sendiri. Melalui peraturan desa, desa menetapkan segala hal yang menjadi bagian dari urusan rumah tangganya serta memastikan bahwa urusan-urusan itu dikerjakan oleh pemerintah desa, dipatuhi oleh seluruh warga desa, dan mendapat persetujuan pemerintah supra desa.

(d) Keuangan Desa

Keuangan adalah bahan bakar bagi bergeraknya aktivitas pemerintahan desa. Desa memiliki 7 sumber keuangan yang meliputi pendapatan asli, alokasi APBN ke desa, bagi hasil pajak daerah/retribusi daerah, alokasi dana desa sebagai bagian dana perimbangan, bantuan keuangan, hibah dan sumbangan serta pendapatan lain yang sah. Dengan ketujuh sumber ini, desa membiayai kebutuhan rumahtangga desa.

Paling sedikit 70 persen dari total anggaran yang diterima desa dari ketujuh sumber diatas digunakan untuk membiayai program bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan dan pemberdayaan. Sementara paling besar 30 persen dari anggaran digunakan untuk pemberian tunjangan, operasional pemerintah, dan sebagainya.

(e) Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan.

Pembangunan desa diselenggarakan oleh pemerintah desa melalui pintu musyawarah desa. Sementara pembangunan kawasan perdesaan merupakan hasil kebijakan pemerintah atas pertimbangan tertentu. Proses pembangunan yang disebut pertama adalah perencanaan partisipatif. Sementara proses pembangunan yang kedua adalah perencanaan teknokratik.

Badan usaha milik desa dapat dibentuk berdasarkan musyawarah desa dengan tujuan memacu pendapatan asli desa. Desa desa yang belum memiliki BUM Desa dan tertarik meningkatkan pendapatan asli dapat melakukan kerjasama dengan desa yang telah memiliki BUM Desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun