"Ibu merasa seperti orang dengan gangguan jiwa."
"Tidak, Bu. Kita mengunjungi psikolog untuk konseling. Jika memang diperlukan, paling banter ibu menjalani terapi "
Bu Sri duduk di bangku tengah. Tepat di belakang Menik. Suami Menik yang mengemudikan kendaraan siang ini. Guru Bisma duduk di samping Bu Sri. Sementara kedua anak Menik sebagaimana biasa duduk di deretan bangku belakang.
Jalan raya di selatan Jakarta yang tidak pernah lepas dari kemacetan terkadang memberi hiburan. Seperti juga siang ini. Pada hari libur. Â Gerak lambat kendaraan akibat pembangunan infrastruktur di kawasan Kuningan menganugrahkan kepada Menik lebih banyak canda. Juga lebih banyak lagu dari stasiun radio favoritnya.
"Apa yang membuat Ibu khawatir mengunjungi psikolog?," suami Menik bertanya.
"Takut ketemu wartawan aja, Mas." Suara canda Bu Sri menutupi sayup vocal Nadin Amizah dari perangkat audio mobil.
"Hahahaha" Koor tawa memenuhi mobil.
"Memangnya Eyang Uti, artis?" sanggah putri Menik.
"Iya, dong. Cuma sudah lamaaaaaaaaaa sekali."
"Kapan itu, Uti?" putra Menik menyelidik.
"Saking lamanya sampai Uti sudah lupa."
"Ah, Uti berkhayal." Protes putra Menik segera.
Tawa seisi mobil kembali pecah mendamaikan kemacetan jalan raya.
Akan asa Menik lebih merecup. Senang rasanya, bisa mengajak sang ibu terkasih untuk berkonsultasi ke psikolog. Mimpi buruk yang datang dalam periode tidak menentu dirasa Bu Sri dapat mengganggu emosinya. Namun pada kesempatan yang sama, sang ibu menolak jika harus berkunjung ke psikiater.
"Tidak apa-apa, kok. Mimpi buruk itu justru penting."
Sambutan Mbak Arum di awal konseling menenangkan baik hati Menik maupun Bu Sri.
"Penting seperti apa, Mbak?" Menik bertanya.
"Mimpi itu jalan emas menuju ketidaksadaran. Mimpi bukan sesuatu yang random. Ia berkaitan erat dengan kehidupan nyata."
 Senyum psikolog muda itu semakin mendamaikan rasa Menik. Semua kekhawatiran Menik terbang melewati jendela rumah sakit ibu dan anak yang tidak pernah sepi pengunjung itu.
"Jadi mimpi merefleksikan kehidupan nyata, Mbak?" Bu Sri memastikan.
"Benar, Bu. Mimpi ada di sisi yang ini. Kehidupan nyata ada di sini." Mbak Arum meletakan dua buah pensil di atas meja. "Ketidaksadaran ada di antara keduanya." Mbak Arum meletakan sebuah spidol di antara kedua pensil.
Mbak Arum menggeser kedua pensil mendekat ke ujung spidol. "ketidaksadaran menghubungkan mimpi dan kehidupan nyata. Karena itu mimpi dapat dimaknai sebagai pemenuhan atas keinginan atau juga suatu konflik dalam keseharian kita."
"Apakah mimpi buruk pun demikian?" Menik menelisik.
"Mimpi dipenuhi dengan informasi, saran, petunjuk bahkan peringatan yang berhubungan dengan kehidupan. Jika kita mengikuti teori gerak riam mata maka kita tahu bahwa mimpi merupakan proses kerja otak di tahap terakhir dari empat fase tidur."
Mbak Arum menyodorkan air mineral di atas meja konselingnya ke arah Menik dan Bu Sri. Kedua anak ibu itu menyambut pemberian Mbak Arum.
"Kembali kepada hubungan antara mimpi, ketidaksadaran dan kenyataan," Mbak Arum melanjutkan. "Mimpi buruk merupakan obat paling mujarab untuk menghadapi kecemasan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Jika Ibu tidak terganggu secara emosional dengan itu, justru mimpi buruk merupakan terapi."
@@@@@@@
Sesi konsultasi selesai lebih cepat dari yang diperkirakan. Tetapi keluarga bahagia ini tidak segera kembali ke Bogor. Guru Bisma sudah berjanji kepada kedua cucunya untuk sebuah sesi hiburan di arena bermain pusat perbelanjaan.
Menik kemudian mengajak Ibunya mencari keperluan harian di toko serba ada yang terletak di mall megah yang saling berhimpitan di kawasan perniagaan Kuningan. Sementara  Suami Menik menemani Guru Bisma mengawasi anak-anak yang asyik bermain.
Waktu satu jam berlalu cepat hingga dua orang anak datang berdiri di belakang anak-anak Menik. Keduanya memberi komentar menyaksikan tampilan layar besar dimana anak-anak Menik sedang bermain Safari Rangers Game.
"Ditangkap singanya, Kak." Teriak putri Menik menyemangati kakaknya.
"Monyet juga, Dik." Balas sang kakak bersemangat.
"Seru, Kak." Putri Menik tertawa ketika gagal menangkap hewan yang menampil di layar game.
"Ini seperti hari kelima. Saat Tuhan berfirman, lalu binatang-binatang muncul di bumi." Putra Sulung Menik berkomentar menyaksikan bermacam hewan yang berlari dalam vitur game-nya.
"Apa itu berfirman?," anak laki-laki yang berdiri dibelakang putra Menik bertanya sambil maju mendekati kedua anak Menik. Ia mengenakan celana panjang jeans dan kaos putih dengan motif pelangi menggaris kedua lengan. Pada bagian dadanya terdapat sablon angka 33 berwarna emas.Â
Putra sulung Menik tersenyum dan menjawab. "Berfirman sama artinya dengan bersabda. Berkata."
"Tuhan tidak berkata-kata. Tuhan membuat hewan dengan tangannya."Anak perempuan dengan seragam sama menyanggah sambil bergerak maju mendekati tempat duduk putri Menik.
"Oh....mungkin kamu keliru." Putra sulung Menik membalas.
Anak perempuan itu mendorong punggung Putra Sulung Menik dengan boneka unicorn berponi pelangi yang ada di tangannya. "Kamu yang salah."
Kedua kakak beradik anak Menik menghentikan permainan mereka. Mereka berdiri. Memandang kedua anak berkaos putih. Hanya berdiri diam. Tanpa perlawanan. Tetapi bahasa tubuh anak-anak Menik mengirimkan pesan naluriah : jangan mendekat!
"Kalian bukan siapa-siapa. Kamilah yang terpilih." Anak laki-laki itu mengarahkan tulunjuknya ke kepala anak Sulung Menik.
"Untuk menjadi seperti kami, kalian harus menerima pesan dalam darah kalian." Sang anak perempuan menatap putri Menik.
Untuk sesaat keempat anak itu berdiri diam. Masing-masing saling bertatapan. Sampai suara Menik terdengar dari belakang kedua anaknya.
"Hallo, apa kabar? Namanya siapa sayang?"Menik menyapa kedua anak di depannya.
Kedua anak itu mundur dua langkah ke belakang. Menik melihat jelas penampilan mereka. Penampilan yang mengingatkannya pada sesuatu. Sesuatu yang pernah diketahuinya beberapa bulan lalu.
"Oh,iya. Tante minta maaf. Ini saatnya makan siang. Kami pamit makan siang sebentar ya?"
Menik memeluk kedua anaknya dari belakang dan mengajak mereka makan siang. Hanya dalam dua tarikan nafas, muncul pasangan muda berpakaian rapih bersih yang mendekati kedua anak tadi.
"Tante Cindy, itu ada anak nakal." Adu sang anak perempuan sambil menunjuk putri Menik.
"Tidak apa-apa sayang. Ayo kita jalan. Om Arief buru-buru tuh. Mau cari tempat makan katanya."
Menik yang kini masih berdiri bersama kedua anaknya hanya bisa memandang pasangan muda tadi berjalan mengiringi kedua keponakannya.
Kaos putih dengan garis lengan pelangi. Angka 33 di dada. Boneka Unicorn berponi pelangi. Itulah yang diingat Menik dari kedua anak tadi.
Ingatan yang terhenti ketika sang suami berbisik di telinganya. "Ayo, kita cari makan siang. Bapak sudah lapar tampaknya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H