Tawa seisi mobil kembali pecah mendamaikan kemacetan jalan raya.
Akan asa Menik lebih merecup. Senang rasanya, bisa mengajak sang ibu terkasih untuk berkonsultasi ke psikolog. Mimpi buruk yang datang dalam periode tidak menentu dirasa Bu Sri dapat mengganggu emosinya. Namun pada kesempatan yang sama, sang ibu menolak jika harus berkunjung ke psikiater.
"Tidak apa-apa, kok. Mimpi buruk itu justru penting."
Sambutan Mbak Arum di awal konseling menenangkan baik hati Menik maupun Bu Sri.
"Penting seperti apa, Mbak?" Menik bertanya.
"Mimpi itu jalan emas menuju ketidaksadaran. Mimpi bukan sesuatu yang random. Ia berkaitan erat dengan kehidupan nyata."
 Senyum psikolog muda itu semakin mendamaikan rasa Menik. Semua kekhawatiran Menik terbang melewati jendela rumah sakit ibu dan anak yang tidak pernah sepi pengunjung itu.
"Jadi mimpi merefleksikan kehidupan nyata, Mbak?" Bu Sri memastikan.
"Benar, Bu. Mimpi ada di sisi yang ini. Kehidupan nyata ada di sini." Mbak Arum meletakan dua buah pensil di atas meja. "Ketidaksadaran ada di antara keduanya." Mbak Arum meletakan sebuah spidol di antara kedua pensil.
Mbak Arum menggeser kedua pensil mendekat ke ujung spidol. "ketidaksadaran menghubungkan mimpi dan kehidupan nyata. Karena itu mimpi dapat dimaknai sebagai pemenuhan atas keinginan atau juga suatu konflik dalam keseharian kita."
"Apakah mimpi buruk pun demikian?" Menik menelisik.