Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Pohon yang Membuat Walikota Marah

1 Desember 2023   20:39 Diperbarui: 1 Desember 2023   21:28 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepotong surat tergeletak dimeja. Kopnya menunjukkan arogansi sebuah institusi. Isinya berupa teguran keras serta ancaman agar pohon gede yang berada dihalaman rumah harus ditebang. Dikarenakan mengganggu kemaslahatan umat. 

Apa-apaan ini?

Padahal pohon itu tumbuh dengan sendirinya. Usianya sungguh tua. Sebelum kakek buyut lahir, pohon itu sudah berdiri tegak ditanah yang akhirnya jadi hak milik. 

Dulunya, kota ini adalah hutan belantara. Pohon-pohon tumbuh bergandengan merapat. Menjulang tinggi berkejaran-kejaran, saling mendahului mencari sinar matahari. Sulur-sulur akarnya ditempeli lumut tebal, mencacah apapun yang tertembus. Penuh keramat, hingga sebuah desa kecil terbentuk. Desa ditengah hutan itu tambah ramai sampai akhirnya pohon-pohon harus ditebangi lagi. Binatang-binatang menyingkir ketakutan melihat kebrutalan manusia. Kerapatan tumpas kanopi musnah. Tanah tersibak. Wilayahnya yang dulunya kecil menjadi luas, hingga menjadi kota. 

Jalan-jalan baru dibuat. Pasar-pasar didirikan. Pabrik-pabrik ditegakkan. Gedung-gedung beton menantang. Rumah-rumah bermunculan dengan segala modelnya. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru mata angin mencari peruntungan, menambah keramaian. Segala macam modernisasi meruyak, meracuni tubuh warganya. Asap-asap  berkelindan memberangus paru-paru. Kebisingan berdentum merusak gendang telinga. 

Nenek moyang dari pemilik pohon itu-cikal bakal rumah yang Ia tempati dari generasi ke generasi-sudah mewanti-wanti agar jangan menebang pohon gede. Karena keberadaan pohon tersebut menjadi penanda jaman. 

"Potong saja ranting-ranting yang mengganggu. Selebihnya biarkan"

Sebatang pohon mengganggu kemaslahatan umat? Cara apapun ditempuh pihak pemerintah kota agar pohon tua itu ditebang. 

Pemilik pohon bersikeras tidak akan mengabulkan ancaman itu. Pohon berdaun sangat rimbun telah bertahun-tahun menjadi musik peneduh hatinya juga tetangga sekitar akan Ia pertahankan hingga titik darah penghabisan.  

"Apakah Bapak tahu, pohon ini menjadi pemicu kesyirikan dikota ini!". Walikota menyorongkan argumen. 

"Dari mana tuduhan itu bapak buat?", kata si pemilik pohon. "Tak ada kesyirikan ditempat ini"

"Manusia ngeyel! Lihat itu". Walikota mengarahkan telunjuknya pada sekumpulan orang yang duduk sambil komat-kamit.

"Mereka komat-kamit ujud syukur pada Tuhan karena masih menyisakan satu pohon raksasa dikota ini buat membersihkan paru-paru mereka"

Kondisi kota yang kian padat, bising serta penuh polutan membuat orang-orang mencari tempat penyejuk raga sambil bersosialisasi dengan sesama. Pohon yang berada di selatan kota menjadi jujugan mereka. Dari jauh, sosoknya bak menara suar. Menjulang tinggi besar mirip brontosaurus. Kaum melarat yang terbatas akses kenyamanan diruang publik, rela menyempatkan diri berkumpul dibawah pohon itu. Kerumunan akan meningkat jika kemarau datang. Kaum kaya yang punya AC nyaman saja dengan datangnya kemarau, sebaliknya dengan kaum marjinal.

Perputaran waktu, si pohon tumbuh bersinar dengan tampilan berat. Daun-daun muda bergenerasi dibatang dahan. Burung-burung menjadikannya rumah penetasan. Sarang-sarang bertimbulan dengan cicit anak-anak burung. Beberapa pengunjung menyarankan pada si pemilik pohon supaya menyediakan kotak amal yang nantinya buat uang kebersihan atau kebisingan. Karena mereka sadar bahwa kedatangan mereka sering mengganggu ketenangan rumah si pemilik pohon. 

Saran itu ditolak. Karena si pemilik pohon tidak mau mengkomersilkan keberadaan pohon itu. Tapi setelah didesak berkali-kali, ia menyerah. Dibuatlah kotak dari kaleng biskuit dengan lubang hasil tusukan paku serta gigitan gunting.

"Kamu ternyata mencari uang dengan cara begini ya? Ini illegal!". Walikota menunjuk kotak biskuit. Itu memicu kuat argumennya kalau pohon itu layak segera ditebang. "Kamu juga mengumpulkan massa tanpa ijin"

"Bapak jangan menuduh sembarangan", kata si pemilik pohon

"Lha itu apa?!"

"Mereka datang sendiri tanpa diminta. Mereka mengeluh, kota ini semakin suram tanpa pepohonan. Hanya disinilah tersisa ruang terciptanya kesegaran"

"Alah! Alasan saja". Walikota menambah bobot ancamannya. "Saya kasih kelonggaran satu minggu lagi. Kalau tidak kamu tebang, pemerintah kota akan bertindak"

Ancaman tidak digubris. Karena pemilik pohon tahu itu hanya akal-akalan semata. Lagian, Ia tidak punya uang untuk membayar tukang tebang. Pemilik pohon malah membuat pengumuman: Bagi siapa saja yang butuh udara segar, aroma kesejukan, silahkan berdiam diri dibawah pohon. 

Apa yang dilakukan si pemilik pohon dipandang walikota sebagai tindakan subversif, penghinaan dan pembangkangan. Batasan waktu telah usai. Pengumuman itu ditindak lanjuti dengan pengerahan polisi satuan pamongpraja. Pemilik pohon dibantu para pecinta lingkungan melakukan perlawanan. Tapi kekuatan mereka kalah. Dengan mudah mereka dilumpuhkan. Tuduhan menganggu kerja aparat disematkan. Tangan si pemilik pohon dikecrek. Digelandang menjauhi lokasi, bersandar pada tiang listrik. Dari kejauhan parasnya nestapa melihat dahan-dahan dipotong. Mesin gergaji menyantap semua persembahan. Daun-daun berguguran. Burung-burung beterbangan, sarang-sarang berjatuhan. Saking besar serta tuanya, kelelahan cepat menerpa para pemotong. Kerja baru tiga persen gergaji sudah tumpul. Pohon itu begitu liat begitu perkasa.

Alat berat diparkirkan, siap diperbantukan guna mengeksekusi pohon gede. Hingga rembang senja, pekerjaan itu belum tuntas.

"Kita lanjutkan besuk", kata kepala tugas. 

Pemilik pohon dibebaskan dengan ancaman, "Ingat! Tidak usah macam-macam. Jangan ganggu pekerjaan kami!"

Ditengah malam, pemilik pohon bermuram durja. Pikirannya menerawang, sampai lupa kalau kubah langit sedang memainkan daya. Guntur menggelegar dengan dibarengi tetesan pertama mengetuk kepala. Segera Ia masuk rumah. Hujan pun menderas. Dari teras rumah, Ia mengamati pohon gede yang menjadi sebuah bayangan. Titik-titik  tebal menimpa genting. Bunyi jatuhannya menimbulkan suara kisruh. Berjam-jam tercurah berakibat selokan-selokan gagal menampung tumpahan. Kanal-kanal memuntahkan balik tampungannya. Dari siaran radio diberitakan, hujan mengakibatkan banjir berkepanjangan. Sisi kota digempur cairan langit meluluhlantakkan apapun. 

Orang-orang berdatangan mengepung  pohon gede. Gelap membungkus ketat. Cahaya senter bersilangan dari tangan-tangan mereka. .

"Kenapa kemari?". Pemilik pohon heran dengan kedatangan mereka.

"Banjir menerjang wilayah kami. Sudah seatap rumah"

"Cari pengungsian lain. Disini juga belum tentu aman", kata pemilik pohon.

"Tidak. Kami tetap akan disini".

Semakin lama orang-orang berdatangan. Berduyun-duyun membawa barang yang dianggap penting saja. Mereka berlindung dibawah pohon walau kuyub menerpa. Akhirnya hempasan banjir menyasar wilayah itu. 

"Naik ke pohon! Dahulukan anak-anak". Pemilik pohon berjibaku saling bahu membahu membantu menaikkan orang. Hujan tambah deras dan air tambah tinggi. Orang-orang memanjat mencari posisi paling aman dan nyaman. Sampai pada tidak sadar, sudah berapa lama mereka dihempas hujan. Pandangan mereka hanya disuguhi kepekatan. Lampu-lampu dimatikan dari pusat. Kegelapan meringkus tempat, akhirnya bisa diakrabi. Air terpantul dari cahaya senter yang mereka nyalakan. air bah melaju mengerikan. 

***

Fajar menyingsing dengan coretan-coretan merah memanjang. Matahari diufuk timur menyapu kota yang dicengkeram air bah. Hening menyambut pagi. Semalaman di gelap malam membuat orang-orang diatas pohon kaget. Ternyata banjir telah memusnahkan kota mereka. Mata  disuguhi bentang air yang berkilo-kilometer jauhnya. Pohon gede menjadi satu-satunya julangan tertinggi. Hanya air yang mereka lihat. 

"Benar-benar mengerikan". Celoteh bersahutan diantara para pemanjat pohon. "Bagaimana nasib penduduk lainnya?"

"Entahlah". Ucap yang lain.

Benda-benda timbul tenggelam terbawa terjangan air. Ada yang tersangkut dirimbunnya pohon. Tas koper, bungkusan beraneka rupa, kasur, kulkas, mobil, brankas,...

Para pemanjat pohon mengambil yang bisa diraih.

"Aku dapat roti. Alhamdulillah", ucap seorang dari mereka. "Mungkin dari supermarket yang porak-poranda".

"Wooo, banyak sekali makanan. Tuhan menolong kita". Kardus-kardus berisi makanan dan minuman berceceran tersangkut dedahanan.

Mereka mengambili, membagikan diantara mereka. Merasa senasib, apapun yang teraih dibagi-bagi. 

"Bagaimana bencana ini bisa terjadi?". Pemilik pohon bergumam sendiri. 

Ketinggian air bisa dikira-kira dengan patokan pohon gede. Air bergoyang menimbulkan riak berkesinambungan. Semua terpaku menyaksikan banjir yang begitu dahsyat. Tidak mengira demikian parah. Menenggelamkan seluruh kota tanpa sisa.

Dari jauh sebuah perahu karet tergeser-geser.  Dikayuh mendekati kumpulan orang-orang yang bermukim dipuncak pohon.

"Itu Walikota", teriak beberapa orang. 

Pejabat nomor satu terlihat nelangsa. Bibirnya pucat menahan dingin serta lapar. Empat orang seperahu tak jauh beda.

"Adakah makanan yang bisa kalian bagi?". Walikota sudah menghilangkan harga dirinya. Ia butuh asupan.

"Tak ada makanan buatmu". Sindiran halus. Didahan-dahan pohon makanan bergelantungan buat stok selama banjir belum surut. Ingatan mereka belum hilang dari perlakuan walikota kemarin.

Ajudan walikota mengeluh, "Berilah kami secukupnya, pak bu. Kami minta maaf atas tindakan yang telah melukai"

"Berikan beberapa stok kita", pinta pemilik pohon. "Perut mereka sudah berteriak" 

Berpindahlah beberapa makanan keperahu. Dengan cepat kudapan itu menyumpal lambung. Kekenyangan mengendap.

"Bolehkah kami bersemayam disini? Kami kelelahan kalau mengayuh perahu terus menerus. Sedangkan daratan tak kami temui?". Walikota menghiba. Meminta sebongkah keikhlasan. Pemilik pohon berpandangan dengan para pemanjat. Meminta pendapat. Wajah-wajah keberatan mendongak tak senang. Belum surutnya air merupakan akar masalah. Penambahan orang akan mengurangi stok makanan. Pemilik pohon mempersilahkan tanpa menunggu jawaban. Bersandarlah walikota bersama orang-orangnya. 

Banjir enggan memperlihatkan tanda-tanda surut. Apakah akan selamanya? Bila iya, bagaimana nasib mereka. 

"Tuhan marah karena kesyirikan kalian". Walikota mulai mengungkit lagi. 

"Bukankah para pejabatnya yang tidak becus mengelola tata kota?". Pemilik pohon membalas. Perdebatan memanas sampai memaksa ajudan menengahi. "Sudahlah. Tak baik berdebat dalam kondisi begini". Walikota tidak senang anak buahnya ikut campur. 

"Tuhan tidak suka diduakan". Kekenyangan membuat watak aslinya kembali menghantam.

"Masih saja menuduh", balas pemilik pohon marah. "Tuhan jengkel melihat keserakahan kalian. Pejabat membuat regulasi yang membiarkan hutan digunduli, bukit-bukit dilubangi, tanah-tanah digali. Lihat kondisi kota kita. Rakyat kecil tak punya suara, kerap kalah bila berhadapan dengan aparatur negara"

Balas membalas bertanduk-tanduk. Suasana jadi ricuh. 

"Diam!" suara kencang dari perempuan yang meneteki bayinya. "Sadarlah. Kita semua punya kontribusi membuat banjir ini"

"Perempuan cerewet! Tahu apa soal banjir?". Walikota berkacak pinggang. Merasa kuasa masih terpegang.

"Walikota goblok! Apa kerja kau selama ini!". Serangan balasan perempuan melingkar telak.

"Sialan! Dasar rakyat pandir! Kerjaku telah kau nikmati dari pagi sampai malam, dari kau berak hingga tidur nyenyak"

"Tak tahu malu! Hampir mati kelaparan sempat-sempatnya klaim keberhasilan. Minggat dari sini!". Para pemanjat marah melihat kesombongan pemimpinnya. "Cepat! Daripada kami ceburkan"

Walikota meloncat ke perahu. "Ayo kita pergi". Menyuruh anak buahnya naik, tapi semua menolak. "Kenapa kalian?"

Gelengan dan kibasan tangan jawaban jelas. Persekutuan terjalin tanpa suara. Kebingungan menikam walikota. Dengan terpaksa mengerahkan tenaga menghela perahu sendirian. 

"Semoga daratan menemuimu". Gerutuan berhamburan, paras sengit melunjak-lunjak.

Air tersibak diiris moncong perahu. Alurnya pelan. Kekuatan tangan terhalang karena keterbatasan daya. Tapi hati menuntut agar cepat menyingkir dari jangkauan penentang. Dayung bergerak sekenanya karena bukan hal mudah. Ia kewalahan. Perahu dirasa lamban nan berat. Tiada mengira kalau berat badannya menyedot perahu. Tubuhnya memaksa perahu masuk ke air akibat sobekan misterius hasil kejengkelan.

Dari jauh, pandangan orang-orang belum lepas. Kebingungan yang dialami walikota menarik perhatian.

"Ada apa dengan perahunya?". Walikota panik. Badannya dihisap air. Tangan memukul-mukul bentangnya. "Tolong...tolong..." Lamat-lamat permohonan itu terlempar. Tapi bagaimana mau menolong? Situasinya begitu buruk dan semua tanpa harapan.

Senyum rubah tergurat dari salah satu ajudannya. Balasan buat pemimpin egois. Semoga air menelanmu.

Kecipak air menyisakan napas sebelum tekanan memberangus tubuh walikota hingga tenggelam.[] 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun