Banjir enggan memperlihatkan tanda-tanda surut. Apakah akan selamanya? Bila iya, bagaimana nasib mereka.Â
"Tuhan marah karena kesyirikan kalian". Walikota mulai mengungkit lagi.Â
"Bukankah para pejabatnya yang tidak becus mengelola tata kota?". Pemilik pohon membalas. Perdebatan memanas sampai memaksa ajudan menengahi. "Sudahlah. Tak baik berdebat dalam kondisi begini". Walikota tidak senang anak buahnya ikut campur.Â
"Tuhan tidak suka diduakan". Kekenyangan membuat watak aslinya kembali menghantam.
"Masih saja menuduh", balas pemilik pohon marah. "Tuhan jengkel melihat keserakahan kalian. Pejabat membuat regulasi yang membiarkan hutan digunduli, bukit-bukit dilubangi, tanah-tanah digali. Lihat kondisi kota kita. Rakyat kecil tak punya suara, kerap kalah bila berhadapan dengan aparatur negara"
Balas membalas bertanduk-tanduk. Suasana jadi ricuh.Â
"Diam!" suara kencang dari perempuan yang meneteki bayinya. "Sadarlah. Kita semua punya kontribusi membuat banjir ini"
"Perempuan cerewet! Tahu apa soal banjir?". Walikota berkacak pinggang. Merasa kuasa masih terpegang.
"Walikota goblok! Apa kerja kau selama ini!". Serangan balasan perempuan melingkar telak.
"Sialan! Dasar rakyat pandir! Kerjaku telah kau nikmati dari pagi sampai malam, dari kau berak hingga tidur nyenyak"
"Tak tahu malu! Hampir mati kelaparan sempat-sempatnya klaim keberhasilan. Minggat dari sini!". Para pemanjat marah melihat kesombongan pemimpinnya. "Cepat! Daripada kami ceburkan"