"Bagaimana bencana ini bisa terjadi?". Pemilik pohon bergumam sendiri.Â
Ketinggian air bisa dikira-kira dengan patokan pohon gede. Air bergoyang menimbulkan riak berkesinambungan. Semua terpaku menyaksikan banjir yang begitu dahsyat. Tidak mengira demikian parah. Menenggelamkan seluruh kota tanpa sisa.
Dari jauh sebuah perahu karet tergeser-geser. Â Dikayuh mendekati kumpulan orang-orang yang bermukim dipuncak pohon.
"Itu Walikota", teriak beberapa orang.Â
Pejabat nomor satu terlihat nelangsa. Bibirnya pucat menahan dingin serta lapar. Empat orang seperahu tak jauh beda.
"Adakah makanan yang bisa kalian bagi?". Walikota sudah menghilangkan harga dirinya. Ia butuh asupan.
"Tak ada makanan buatmu". Sindiran halus. Didahan-dahan pohon makanan bergelantungan buat stok selama banjir belum surut. Ingatan mereka belum hilang dari perlakuan walikota kemarin.
Ajudan walikota mengeluh, "Berilah kami secukupnya, pak bu. Kami minta maaf atas tindakan yang telah melukai"
"Berikan beberapa stok kita", pinta pemilik pohon. "Perut mereka sudah berteriak"Â
Berpindahlah beberapa makanan keperahu. Dengan cepat kudapan itu menyumpal lambung. Kekenyangan mengendap.
"Bolehkah kami bersemayam disini? Kami kelelahan kalau mengayuh perahu terus menerus. Sedangkan daratan tak kami temui?". Walikota menghiba. Meminta sebongkah keikhlasan. Pemilik pohon berpandangan dengan para pemanjat. Meminta pendapat. Wajah-wajah keberatan mendongak tak senang. Belum surutnya air merupakan akar masalah. Penambahan orang akan mengurangi stok makanan. Pemilik pohon mempersilahkan tanpa menunggu jawaban. Bersandarlah walikota bersama orang-orangnya.Â