Ancaman tidak digubris. Karena pemilik pohon tahu itu hanya akal-akalan semata. Lagian, Ia tidak punya uang untuk membayar tukang tebang. Pemilik pohon malah membuat pengumuman: Bagi siapa saja yang butuh udara segar, aroma kesejukan, silahkan berdiam diri dibawah pohon.Â
Apa yang dilakukan si pemilik pohon dipandang walikota sebagai tindakan subversif, penghinaan dan pembangkangan. Batasan waktu telah usai. Pengumuman itu ditindak lanjuti dengan pengerahan polisi satuan pamongpraja. Pemilik pohon dibantu para pecinta lingkungan melakukan perlawanan. Tapi kekuatan mereka kalah. Dengan mudah mereka dilumpuhkan. Tuduhan menganggu kerja aparat disematkan. Tangan si pemilik pohon dikecrek. Digelandang menjauhi lokasi, bersandar pada tiang listrik. Dari kejauhan parasnya nestapa melihat dahan-dahan dipotong. Mesin gergaji menyantap semua persembahan. Daun-daun berguguran. Burung-burung beterbangan, sarang-sarang berjatuhan. Saking besar serta tuanya, kelelahan cepat menerpa para pemotong. Kerja baru tiga persen gergaji sudah tumpul. Pohon itu begitu liat begitu perkasa.
Alat berat diparkirkan, siap diperbantukan guna mengeksekusi pohon gede. Hingga rembang senja, pekerjaan itu belum tuntas.
"Kita lanjutkan besuk", kata kepala tugas.Â
Pemilik pohon dibebaskan dengan ancaman, "Ingat! Tidak usah macam-macam. Jangan ganggu pekerjaan kami!"
Ditengah malam, pemilik pohon bermuram durja. Pikirannya menerawang, sampai lupa kalau kubah langit sedang memainkan daya. Guntur menggelegar dengan dibarengi tetesan pertama mengetuk kepala. Segera Ia masuk rumah. Hujan pun menderas. Dari teras rumah, Ia mengamati pohon gede yang menjadi sebuah bayangan. Titik-titik  tebal menimpa genting. Bunyi jatuhannya menimbulkan suara kisruh. Berjam-jam tercurah berakibat selokan-selokan gagal menampung tumpahan. Kanal-kanal memuntahkan balik tampungannya. Dari siaran radio diberitakan, hujan mengakibatkan banjir berkepanjangan. Sisi kota digempur cairan langit meluluhlantakkan apapun.Â
Orang-orang berdatangan mengepung  pohon gede. Gelap membungkus ketat. Cahaya senter bersilangan dari tangan-tangan mereka. .
"Kenapa kemari?". Pemilik pohon heran dengan kedatangan mereka.
"Banjir menerjang wilayah kami. Sudah seatap rumah"
"Cari pengungsian lain. Disini juga belum tentu aman", kata pemilik pohon.
"Tidak. Kami tetap akan disini".