"Yu, umurmu paling las-lasan. kowe kok iso ngerti?". Tatapan lik Tarjo menghiba. Dia minta bantuanku.
Sebenarnya aku malas menjawab. Berhadapan dengan kelompok darurat literasi membuatku kadung mangkel. Masih ku ingat sindiran-sindirannya.
"Dari buku dan internet", kataku pongah
"Yo rasah kemlinthi. Peh cekelane buku wek". Gerutuan berarak ditempat itu.
Desa kami berjarak delapan kilometer dengan batas kota, dikenal sebagai sentra produksi batu bata. Dari jaman kolonial Belanda hingga sekarang, batu bata yang kami produksi telah digunakan hampir diseluruh wilayah Eks karesidenan Surakarta. Bila ada pesanan, gerobak sapi satu-satunya alat transportasi untuk mengangkut batu bata guna dikirimkan ke pembeli. Beberapa dari para bajingan malah mangkal di suatu tempat.
"Kalian tahu Jurug?", Tanya mbah Kabul.
"Ya tahulah, mbah"
"Siapa yang ingat, kalau dulu ditempat tersebut banyak gerobak sapi bermuatan batu bata  menunggu pembeli disitu"
Jurug merupakan wilayah diperbatasan Solo dengan Palur(wilayah kabupaten Karanganyar). Sungai Bengawan Solo memisahkan kedua tempat tersebut. Sebuah jembatan besi menjadi penghubung antar keduanya. Dulunya, jembatan pertama disebelah utara dibangun pada era pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono X (1893-1939). Pembangunan jembatan jurug memakan waktu dua tahun. Dimulai dari tahun 1913 selesai 1915.
Dengan gerobak sapi penuh batu bata, Jurug dijadikan pangkalan para bajingan. Posisinya strategis, dipinggir jalan masuk ke kota Solo dari arah timur. Setiap gerobak mampu menampung empat ratus biji batu bata merah. Sekitar dekade 80-an, gerobak sapi dengan muatan batu bata, pasir, genteng masih bisa dijumpai lalu lalang dikota Solo. Perkembangan jaman, keberadaan bajingan dengan gerobaknya tergerus bahkan hilang. Mobil bak terbuka atau truk mengganti peran gerobak sapi.
"Sekarang kata bajingan kok kesannya buruk ya?"