Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mbahmu Bajingan Terakhir

7 April 2022   23:13 Diperbarui: 8 April 2022   10:04 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari picsart

Pukulan ganda menciptakan robekan disudut bibir. Darah menetes. Gigiku goyah. Sialan! Aku tak terima. Balasan aku lesakkan bertubi-tubi. Jangkauan tanganku sanggup menyentuh muka Poleng. Ia geragapan, mundur terhuyung-huyung. Daya juangnya sungguh diacungi jempol. Kaki Poleng menjejak kuat. Ia menerjang kearahku. Sebelum perkelahian itu berlanjut, puluhan tangan menahan kami. Leherku tercekik krah yang ditarik paksa. Duel dipaksa redup.

"Uwis! Uwis!", Teriak kang Bani, "Gerangan ra nggenah!" 

Degup jantungku memutar kencang. Napasku terengah-engah. Keringat bertimbulan. Tanganku masih gemetar. Keadaan Poleng sama saja. Semrawut. Corong matanya menyala. Kobarannya menyimpan gemeretak kebencian. Siap mengunyahku sehancur mungkin.

Perseteruan kami timbul sejak aku mengumbar kata Bajingan sebagai perlawanan. Itu dipicu kata sindiran yang ia dengung-dengungkan, "Profesorre teko"(profesornya datang). Poleng terkekeh, "Halo, Prof. Pintermu sepiro(seberapa)?"

Sejak aku membawa buku ketika jatah ronda, ia tidak suka.

"Agek iki, wong ronda nggowo buku. Padune ben dianggap pinter. Padahal pekok" (baru sekarang, orang ronda bawa buku. Seakan biar dianggap pinter. Padahal goblok)

Semacam itulah kalimat yang Poleng umbar. Aku tidak mengerti bahkan bingung, hanya karena buku omongannya bikin tensi membuncah.

"Dasar putu(cucu) bajingan", balasku sengit.

Darah Poleng naik, "Kowe ngomong opo? Coba balenono!" (Kamu ngomong apa? Coba diulangi)

"Dasar putu bajingan!", Teriakku kencang.

"Ngejak gelut piye!". Poleng naik pitam. Wajahnya bak kepiting rebus.  "Sopo sing wedi!", Tantangku.

Baku hantam biasanya tidak berlangsung lama bila ada yang melerai. Namun karena sering, akhirnya warga malas melerai. "Biarkan saja. Kita lihat, sampai dimana kekuatan fisik mereka". Kami pernah kelelahan, sampai dibuat ndeprok. Badan ajur muka berantakan berbalut luka.

"Dilanjut opo mandek?". Karena jengkelnya, warga malah nglulu- memprovokasi.

***

Banyak warga menyesalkan kebiasaanku memuntahkan kata Bajingan kepada Poleng.

"Dijaga mulutmu, Yu", kata lik Tarjo.

"Salahku dimana, Lik?", Ucapku balik

"Kamu itu gimana, sih? Jelas kamu salah", kata Tarman menimpali

"Coba tunjukkan dibagian mana?". Aku dikeroyok.

"Kojur ki. Wong ngok ora sadar diri". Semua orang geleng-geleng kepala melihat kerasnya pendirianku. "Sebenarnya, kamu itu bodoh atau pura-pura bodoh?", Kata lik Tarjo. "Poleng sakit hati ketika kau sebut putu bajingan"

"Kenapa harus sakit hati kalau faktanya begitu". Aku tidak mau kalah. "Fakta adalah fakta"

"Berarti, mbah Kabul kau tuduh bajingan?"

"Kenyataannya mbah Kabul memang bajingan", terangku.

"Ojo nggawe kisruh kampung iki, Yu". Margono naik darah. "Lambemu kepingin dikrau?"

"Lha, gimana sih kalian?". Aku tak habis pikir. "Kalau tidak percaya, tanya mbah Kabul"

"Jangan sok! Ayo temui mbah kabul". Ajakan mereka aku iyakan. Bergeraklah kami kerumah pembuat batu bata. Beliau menyambut kami sembari mempersilahkan duduk ditikar. Kami ungkapkan permasalahannya. Mbah Kabul mendengarkan dengan cermat sambil sesekali menyesep teh hangat.

"Wahyu benar", kata mbah Kabul, "Aku memang bajingan".

Para penggeruduk dibuat kelu, seperti paku digedor palu. Diam membisu....lama. Aku menaikkan dagu. Mulutku melancip. Tanda kemenangan tergenggam.

"Dari bajingan, simbah bisa menghidupi anak isteri". Kata-kata mbah Kabul seperti tebasan parang. Menjadikan muka mereka hilang.

"Dibutuhkan kesabaran, ketelatenan, kepiawaian, serta keahlian untuk menjadi bajingan", lanjut mbah Kabul. "Sebenarnya, anak-anak simbah, terutama Prapto-bapaknya Poleng-menyuruh agar berhenti jadi bajingan, tapi aku tolak". Omongan lelaki berumur 78 tahun menyihir sekumpulan.

"Aku tidak menyangka kalau mbah Kabul seorang bajingan", batin Margono.

"Dulu, profesi bajingan merupakan kebanggaan, karena dibutuhkan banyak orang", lanjut mbah Kabul.

"Bajingan kok bangga", batin Tarman lungkrah, "Sekarang malah diburu polisi"

"Maaf, mbah. Bukankah sampeyan pembuat batu bata?", Kata Parno. Dia menyusul ketika mendengar persengketaan itu.

"Iya memang", ucap mbah Kabul. "Tapi nyambi jadi bajingan. Lagian, kalau punya usaha batu bata harus punya gerobak sapi"

"Sebentar, mbah. Saya tambah tidak mengerti", ujar Parno. "Apa hubungannya batu bata, gerobak sapi dan bajingan?"

Mbah Kabul mengusap wajah keriputnya. "Hubungan wajib. Karena  gerobak sapi dipakai untuk mengirim batu bata". Lelaki sepuh itu menatap wajah-wajah bingung didepannya. " Kadang beberapa tetangga menggunakan jasaku sebagai bajingan. Walaupun mereka juga bajingan"

"Aku kok soyo ora mudeng to, mbah?"

"Tak kandani. Sopir gerobak sapi kuwi disebut bajingan", ucap mbah Kabul

"Oaalaaah...." Penggeruduk membuka mulut mengumbar bau.

"Aku kok baru tahu ya?", Ujar lik Tarjo. "Padahal umurku 45 tahun"

"Jare sopo, mbah?". Penggeruduk masih tidak percaya.

"Jareku", kata mbah Kabul. "Yang lahir era 40 an telinganya sudah biasa mendengar kata bajingan. Kalau tak percaya tanya orang desa sekitar yang usianya kisaran 70 tahun keatas"

"Yu, umurmu paling las-lasan. kowe kok iso ngerti?". Tatapan lik Tarjo menghiba. Dia minta bantuanku.

Sebenarnya aku malas menjawab. Berhadapan dengan kelompok darurat literasi membuatku kadung mangkel. Masih ku ingat sindiran-sindirannya.

"Dari buku dan internet", kataku pongah

"Yo rasah kemlinthi. Peh cekelane buku wek". Gerutuan berarak ditempat itu.

Desa kami berjarak delapan kilometer dengan batas kota, dikenal sebagai sentra produksi batu bata. Dari jaman kolonial Belanda hingga sekarang, batu bata yang kami produksi telah digunakan hampir diseluruh wilayah Eks karesidenan Surakarta. Bila ada pesanan, gerobak sapi satu-satunya alat transportasi untuk mengangkut batu bata guna dikirimkan ke pembeli. Beberapa dari para bajingan malah mangkal di suatu tempat.

"Kalian tahu Jurug?", Tanya mbah Kabul.

"Ya tahulah, mbah"

"Siapa yang ingat, kalau dulu ditempat tersebut banyak gerobak sapi bermuatan batu bata  menunggu pembeli disitu"

Jurug merupakan wilayah diperbatasan Solo dengan Palur(wilayah kabupaten Karanganyar). Sungai Bengawan Solo memisahkan kedua tempat tersebut. Sebuah jembatan besi menjadi penghubung antar keduanya. Dulunya, jembatan pertama disebelah utara dibangun pada era pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono X (1893-1939). Pembangunan jembatan jurug memakan waktu dua tahun. Dimulai dari tahun 1913 selesai 1915.

Dengan gerobak sapi penuh batu bata, Jurug dijadikan pangkalan para bajingan. Posisinya strategis, dipinggir jalan masuk ke kota Solo dari arah timur. Setiap gerobak mampu menampung empat ratus biji batu bata merah. Sekitar dekade 80-an, gerobak sapi dengan muatan batu bata, pasir, genteng masih bisa dijumpai lalu lalang dikota Solo. Perkembangan jaman, keberadaan bajingan dengan gerobaknya tergerus bahkan hilang. Mobil bak terbuka atau truk mengganti peran gerobak sapi.

"Sekarang kata bajingan kok kesannya buruk ya?"

"Karena telah terjadi pergeseran makna". Jawabanku memaksa puluhan mata menikam.

"Dan kamu menggunakannya untuk memprovokasi. Ketidaktahuan lawan bicara kamu manfaatkan", kata kang Bani. Aku tersenyum sinis, karena memang begitu adanya.

"Simbah merupakan bajingan terakhir didesa ini". Kulit tubuh mbah Kabul belum menggelambir. Banyak yang tertipu oleh kebugaran tubuhnya.

"Sebenarnya, bapak sudah saya suruh berhenti jadi bajingan. Tapi masih belum mau", kata Prapto tiba-tiba nimbrung-anak ke tiga mbah Kabul. Ia baru selesai membereskan hasil kerjaannya. Menyambar rokok dan menyulutnya. "Pernah ada pengusaha resto mau membeli gerobak bapak seharga enam puluh juta. Katanya buat dipajang diresto itu, tapi bapak hanya menggelengkan kepala, belum mau dilepas".

"Gerobakke tok to? Ora kan sapine?"(gerobaknya saja to? Tidak sama sapinya?), tanya Tarman, "Nek aku tak kekke. Sewidak juta lho, mbah" (kalau saya aku berikan. Enam puluh juta lho, mbah)

Mbah Kabul tersenyum. Dia berpikir orang-orang yang tidak tahu sejarah gerobaknya akan menganjurkan pelepasan. Pikiran mereka hanya uang.  Padahal, alat transportasi dari kayu jati serta gribig(anyaman bambu) ini pernah menjadi saksi serta pelaku sejarah perang kemerdekaan kala jaman Jepang dan invasi Belanda ke negara ini. Beberapa itemnya: Tepong, klusut, payonan, dst, mengalami pergantian karena aus, atau kena terjangan peluru ketika terjebak pertempuran empat hari dikota Solo. Itu yang ia dengar dari bapaknya.

Pembicaraan mulai adem. Tidak seperti beberapa menit yang lalu. Mulut-mulut mengunyah kudapan yang disajikan. Gelas-gelas berdentingan terisi kopi dan teh.

"Ini juga bajingan", kataku sambil menyendok singkong berbalut gula merah.

"Yu! Mulutmu mbok diatur!", seru Margono, "Semua kamu sebut bajingan!"

"Ini memang bajingan". Potongan singkong mendekap disendok. Aku sorongkan kedepan.

"Bajingan ndasmu!", Sergap Margono. "Iki jenenge 'Ande-Ande Lumut', blok!"

"Uwis to", ucap mbah Kabul. Pria itu mencoba menengahi. "Wahyu benar"

"Pripun to, mbah? Wahyu kok dibela?". Margono melotot tidak terima.

"Dasar sumbu pendek", batinku

 "Kamu juga benar, Mar", sambung mbah Kabul.

 "Rasah ngeyel nek dikandani wong tuwo", kataku. Pandanganku bersitatap bengis. Margono bersiap meladeni.

 "Nek gelut neng kene tak keplak"(kalau berkelahi disini saya pukul), ancam Lik Tarjo.

"Orang Temanggung menyebut kudapan ini 'bajingan', sedangkan orang Solo sekitarnya memberi nama 'ande-ande lumut'. Paham?". Mata mbah Kabul menyiangi kumpulan wajah-wajah ketidaktahuan.

"Mosok bajingan?". Margono sakit hati, sangat tidak terima. Karena ibunya jika pagi hari jualan singkong berbalut gula jawa. Dia kuatir, kalau Wahyu membeli akan menyebut bajingan dengan intonasi keras. Dia minta dukungan.

"Kenyataannya memang begitu, Mar", kata mbah Kabul.

"Kalau tidak percaya, suruh ke Temanggung", kataku. Margono tambah meradang. Dia terpancing. Aku senang.

Mbah Kabul menatapku. "Sudah...sudah". Mata pembuat batu bata mengkode agar aku mengalah.

Bajingan merupakan kuliner rakyat jelata. Kudapan ini tercipta dari masa-masa ketertindasan kala penjajahan. Merasa tak sanggup membeli kue-kue kaum elitis-priyayi dan para sinyo tuan, kaum jelata menciptakan kudapan yang bahan bakunya berasal dari kebun mereka. 

Singkong tinggal cabut. Gula Jawa dibuat dari cairan nira pohon aren, siwalan, kelapa yang bunganya tinggal disadap. Daun pandan tinggal petik. Garam diperoleh memakai sistem barter dengan pedagang atau nelayan pesisiran.

 Semua bahan itu diramu sedemikian rupa hingga berujud bongkahan singkong yang lumer. Singkong berasa manis gurih karena dekapan santan kelapa bersinergi gula merah ditambah wangi sobekan daun pandan diciprit sedikit garam. Bila singkongnya bagus, bajingan akan terasa empur dimulut.

"Leluhur desa ini sebagian besar bajingan. Termasuk simbahmu, Yu". Dengan bersila, beliau mendongengkan hal ihwal tentang desa kami. "Ada makna dibalik kata Bajingan. Badan Jiwa Keranjingan. Artinya, para sopir gerobak sapi gila kerja, karena dengan bekerja, tubuh serta jiwa menjadi sehat"

"Bukannya bagusing jiwo angen-angening pangeran (orang baik yang dicintai Tuhan)", Protesku

"Itu juga bisa", kata mbah Kabul mengiyakan.

"Rasah ngeyel nek dikandani wong tuwo", balas Margono sinis.

"Mbah harap polemik bajingan disudahi. Sesama keturunan bajingan kudu guyub rukun. Jangan sampai kearifan lokal didesa kita hilang", pesan mbah Kabul kembali.

Samar-samar irama musik ndangdut menyeruak diantara obrolan kami. Lagu bujangan memantul-mantul keluar dari radio transistor. Suara khas Rhoma Irama menghipnotis Lik Tarjo. Pria itu mengikuti senandungnya dengan mengganti liriknya.

Katanya enak menjadi bajingan

Ke mana-mana tak ada yang larang

Hidup terasa ringan tanpa beban

Uang belanja tak jadi pikiran

O, bajingan ... bajingan

Bajingan ... bajingan[]

                                                                                                                      * Solo, 24 Januari 2022

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun