Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menculik Sang Panglima

23 Februari 2022   21:51 Diperbarui: 23 Februari 2022   22:03 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Jendral Soedirman (Dokumen Pribadi)

Tanah kering menjadi ornamen dalam rumah. Dengan jangkauan langkah kaki bisa dikitari hanya kisaran menit. Karena tidak begitu luas, inilah yang menjadi pertimbangan bangunan berbentuk limasan menjadi hunian sementara bagi pasukan APRI(Angkatan Perang Republik Indonesia). Kondisinya yang jauh dari menarik menjadi alasan kenapa bangunan tua ini dijadikan markas gerilya  pasukan panglima besar Jendral Soedirman selama tiga bulan lebih, dari 1 April-7 Juli 1949.

Kaki melangkah ditarik keheningan. Sudut-sudutnya memberi pelajaran bagiku akan kehidupan jaman dulu. Teras, ruang tamu, kamar, dapur, gentong, dinding kayu dan gedhek menyimpan helaan napas para pejuang. Didekat dapur, telingaku menangkap sesamar suara orang. Siapa? Keingintahuan menyihir kakiku mendekat. Sebuah tabir mirip air terjun tampak disudut dapur. Aneh. Tangan menyentuh. Getar kecil menyengat. Semakin penasaran, memaksa kepalaku melongok menembus tabir. Terlihat seorang dengan jas hijau tebal mengarahkan pandangan ke cangkir. Sepertinya sedang menikmati kesendirian. Kelihatan ringkih, tapi parasnya teduh. Keberadaanku tidak ia ketahui.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah dia jendral besar". Aku bergumam sembari mencubiti kulit pangkal tangan berkali-kali. Sakit. Masih kurang, berpindah ke pipi. Sakit juga. Ini bukan mimpi. Kejadian apa ini? Tubuh aku mundurkan. Tolah-toleh, sepi. Pengunjung hanya aku sendiri. Sebelumnya ada sepasang anak muda juga memasuki rumah gerilya ini. Tidak lama, hanya dua puluh menitan, lalu mereka beranjak pergi.

Kembali kepalaku melewati tabir. Iseng-iseng panggilan aku layangkan "Panglima". Orang yang aku maksud celingak-celinguk. Ha! Ini kenyataan. Kembali suara kutabuh. "Panglima!". Dia bingung. Berdiri mencari arah suara. "Panglima!". Tubuh ringkihnya merasa dipermainkan. Wajahnya tersiram kebingungan. Pria berblangkon itu mendekati posisiku. Dengan cepat tanganku meraih tubuhnya, aku seret melewati tabir ke zona masa depan. Terhuyung-huyung hampir jatuh. Ia marah. " Apa kamu mau membunuh saya!". Tangannya meraih keris yang tersembunyi dibalik jubah.

"Tenang, panglima. Tenang.....". Aku memperlihatkan gesture pasrah.

"Sopo kowe!".

"Saya pengunjung rumah gerilya", kataku.

"Pengunjung? Kowe mata-mata Belanda!", Serunya.

"Bukan...bukan, panglima" tanganku memberi isyarat agar beliau slowdown. "Panglima saya seret ke tahun 2019"

"Rasah nggladrah! Omongan sing nggenah". Walaupun terlihat lemah, Beliau mencoba memperlihatkan kekuatannya. Tangannya masih belum lepas dari gagang keris. Aku berharap jangan sampai keris itu dicabut dari sarungnya. Bahaya. Rumornya, pasukan Belanda pernah dibuat linglung oleh senjata berluk tersebut.

"Kalau saya berniat jahat. Sudah sejak tadi saya lakukan". Aku berargumen.

Kemarahannya menyurut. Apa yang aku utarakan menembus nalarnya.

"Coba panglima perhatikan sekitar rumah ini. Ada yang janggal tidak?"

Pandangannya menyapu. Sepi. Hanya decit burung bersahutan di deretan pohon samping rumah.

"Mana anak buahku?". Beliau cepat tanggap tapi bingung. "Nolly!... Nolly!". Teriakannya menyeret kupingku.

"Putra bupati Temanggung itu tidak akan mendengar panggilan panglima", kataku mengingatkan. "Perbedaan dimensi dan waktu memisahkan Panglima dengan para pengawal"

"Kowe ngomong opo? Soyo suwe malah mbingungke!"

"Mari saya jelaskan. Kalau sambil duduk bagaimana, Panglima?". Bokongku aku letakkan pada undakan tanah samping rumah. Panglima besar tetap njegegeg ugek-ugek. Bergeming. Kewaspadaan menyala. "Kemarilah, panglima. Duduklah disini". Aku tunjukkan tempat disebelahku. "Percayalah, saya bukan orang jahat". Usahaku berhasil. Beliau duduk disebelahku.

"Ayo jelasno. Kowe sopo lan ngopo nggeret aku"(ayo jelaskan. Kamu siapa dan mengapa menyeret aku)

Hembusan napas terlontar dari hidungku. Kedua tanganku menangkup. Jari menyilang kebibir.

"Saya Kuncoro. Asal Solo", ucapku

"Solo? Dadi kowe anak buahe Slamet Riyadi? Piye kondisi pasukanne?"

Aku terdiam. Ada penyesalan membekap pikiran. Aku melakukan blunder. Kenapa mengajak beliau ke era ini. Perasaanku sudah tidak enak. Kuatir kalau mantan guru Muhammadiyah ini akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Firasatku mendekati kebenaran.

"Saya bukan anak buah Slamet Riyadi"

"Jare seko Solo. Ngomong sing bener!"

Aku tercekik. "Semua ini gara-gara tabir, Panglima".

Dengan lugas aku jelaskan apa itu 'tabir' memakai serangkai kalimat sederhana. Beliau manggut-manggut. Matanya mengunci wajahku. Ada perasaan segan berhadapan dengannya. Aku berharap perkataanku mampu membuatnya paham.

***

Kegaduhan menyeruak di rumah bayan Karsosoemito yang dijadikan markas gerilya. Tjokropranolo kebingungan. Supardjo Roestam ketar-ketir. Suadi Suromihardjo blingsatan, marah besar.

"Siapa yang terakhir bersama pak Dirman!?". Tjokropranolo menyesal, kenapa dia tadi terlalu lama kencing. "Kita telisik sekitar tempat ini. Jangan sampai lewat", ucap Supardjo Roestam. Para pengawal panglima besar cemas berkepanjangan.

Sementara ditempat yang sama tapi dengan tahun berbeda, aku membujuk panglima agar mau melihat kondisi wilayah dimana dia bermarkas selama bergerilya. Mulanya beliau ragu. Tapi akhirnya luluh.

"Panglima naik dibelakang", kepalaku menoleh kesamping. "Pegangan pundak saya"

"Iki motor opo? Bentuk e lucu men"

"Ini motor matic, panglima". Pak Dirman memenuhi saranku. Segera kupacu motor berlogo sayap sebelah.

"Penak tenan motor iki. Empuk linggihanne". Semilir angin menerpa sekujur badan. Jubahnya berkelepak mirip kuping gajah. Melewati jalan desa bersama bayang-bayang. Meliuki aspal menyantap pemandangan.

"Bedo banget karo jamanku". Tubuh panglima ringan hingga aku merasa jok belakang tanpa penumpang. Sampai pada sebuah tempat, matic aku pelankan kemudian berhenti pada sebuah pintu besi.

Kami turun.

"Lho mas, teng mriki meleh? Nopo wonten ingkang kesupen?", Kata bu Sainem, seorang penjual makanan yang tadi telah saya datangi.

"Mboten, bu. Niki ajeng mbaleni. Tesih kepingin kanginan"

"Oalah...yo monggo"

"Merdeka!" pekikku dalam hati. Tepat diatas jam 12 lebih beberapa menit aku bersama pria kurus itu berdiri dihamparan tanah lapang di Monumen Jendral Soedirman. Aku menuntunnya pelan. Tapi ia inginnya bergegas.

Bu Sainem, penjual makanan dan minuman disisi timur monumen menatap beberapa kejap tingkah polahku. Ada rasa keheranan dengan caraku melangkah. Kami terus menjauhi lapaknya, sepatuku mengendusi rumput lapangan. Cabikan panas matahari tidak mampu menggagalkan langkah kami mengitari area monumen. Rumput yang tertanam berupaya agar tetap hidup, walau banyak bagiannya menuju sakaratul maut, mati kering merangas. Padu padan coklat kuning tanda kematian bersembulan diantara sedikit hijau tua muda berserakan.

Monumen Jendral Soedirman (Dokumen Pribadi)
Monumen Jendral Soedirman (Dokumen Pribadi)

Langit desa mempersembahkan cerah berbinar dengan gumpalan awan gemawan bertaburan. Hati ini terpapar ikut merasakan cerahnya langit. Sebongkah semangat '45 tersemat kuat disanubari. Rasa senang bercampur bangga menetes berat membekap diri.

Pandangan liarku masih sempat menelisik sudut-sudut lapangan dengan pikiran semrawut oleh penyusup lain yang turut mencampuri.

Tempat ini lengang. Hanya ada segelintir manusia. Aku dan panglima. Dua pedagang di sisi timur dan sisi barat serta empat anak muda dibawah kaki patung sang Jendral tampak dari kejauhan. Gelegak bunyi sang saka merah putih cukup menyita perhatian. Ditampar sang bayu tak berkesudahan menciptakan lenggang-lenggok keperkasaan dipuncak tiang. Tali yang membelit turut serta menjadi permainan sang angin, terbanting-banting dibadan tiang hingga menimbulkan bunyi,"Trang...trang...trang...." mirip genderang perang. Padahal hanya benturan elemen logam dengan tali tambang plastik.

Sang saka merah putih tak menyapa kehadiranku. Karena dia tahu, aku hanyalah pemuda tengil, bukan pejuang yang dulu ikut menuntaskan kemerdekaan. Tak apalah. Kain dwi warna itu hanya mau memberi hormat pada Panglima dengan cara meliuk-liukkan diri. Masih dalam posisi berdiri, kami tengadah menatap kibarannya yang flamboyan. Badai topan aku rasa tidak akan mampu merobek tubuhnya. Kuat. Betapa patriotik. Dari atas dia melihat wilayah membentang berbatas cakrawala. Kami bagian dari alam yang terlihat.

"Sopo sing mbangun iki?". Panglima besar sudah tidak sabar.

"Nanti saya jelaskan. Kita datangi dulu tempat itu". Pandanganku mengarah pada puncak disana.

Mendatangi patung, karena itulah daya tarik awal. Sebuah patung panglima besar perang kemerdekaan republik Indonesia. Berdiri tegak memegang tongkat menghadap utara penuh wibawa.

Untuk sampai ke patung, kami wajib melintasi tangga batu berundak berjumlah 70 dibagi tiga trap. Trap pertama 45 anak tangga, trap kedua 8 anak tangga, dan yang terakhir 17 anak tangga. Angka-angka tersebut mewakili hari kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu 17 Agustus 1945. Dengan pelan Pak Dirman aku bimbing. Melangkah, setapak demi setapak. Hingga ujungnya terlampau. Beliau terengah-engah, kepayahan. Keringat bercucuran.

"Monumen beserta patung setinggi 7 meter ini dibangun oleh salah seorang pengawal bapak". Segera kuurai pertanyaannya. "Sebagai penanda sejarah akan kehebatan bapak selama memimpin perang gerilya, juga rasa hormat buat mantan panglimanya"

"Sopo jenenge?"

"Roto Soewarno. Panglima ingat?"

"Bocah kuwi aku ngerti". Pak Dirman menengadah lama. "Sebenarnya tidak perlu. Aku tidak butuh penghormatan. Berjuang itu keikhlasan".

Sebagian pernyataan beliau tidak aku setujui. Apapun maksud dibalik pembangunan monumen ini, adalah baik bagi generasi bangsa supaya mengetahui sejarah perjuangan para pahlawannya.

Kami duduk mengelesot. Mengambil sobekan bayangan. Tatapan Pak Dirman menjelajah  seantero tempat. Diamnya memunculkan dugaan-dugaan.

"Saiki sopo presidenne?"

"Joko Widodo"

"Presiden ke piro?"

"Ke delapan, itu jika Syafruddin Prawiranegara diikutkan", kataku.

Ketika  presiden Soekarno dan wakil presiden Muhammad Hatta ditangkap dalam agresi Belanda II, Syafruddin Prawiranegara ditugaskan membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Dalam keputusan rapat di Bukit Tinggi, Sjafruddin ditunjuk sebagai ketua PDRI. Dengan wakilnya Teuku Mohammad Hasan. Mereka membentuk kabinet pemerintah darurat.

"Merdeka seko taun '45 muk  wolong presiden?". Dari pada salah mengerti, aku mencoba jelaskan sebisa mungkin, bahwa, intrik dikalangan elitis penyumbang kegaduhan-kegaduhan di republik ini. Ada presiden yang diturunkan paksa, difitnah, memimpin beberapa bulan saja, ditolak pertanggungjawabannya, dan....

"...Suharto paling lama menjadi presiden", jelasku

"Suharto? Anak buahku?". Kepalaku mengangguk, mengiyakan.

"Pirang taun?". Pertanyaan ini sudah aku duga sejak awal.

"32 tahun, panglima"

"Suwe men?". Keherannya menimbulkan desir kemarahan. "Opo ora ono sing ngelekke?"

"Sebenarnya ada beberapa orang terdekat mengingatkan. Tapi pak Harto koppig".

Seseorang yang memegang kekuasaan terlalu lama akan lepas kontrol, berdampak penyalahgunaan kekuasaan hingga memunculkan budaya abs(asal bapak senang).

Aku ceritakan proses terjadinya alih kekuasaan dari presiden Soekarno ke Suharto. Sejarah itu aku jabarkan sekuat daya pengetahuanku. Bagaimana pak Harto mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam mengelola negara ini beserta kontroversinya, pun dianggap memberikan milestone bagi perjalanan bangsa. Pelupuk mata beliau menggelembung oleh cairan. Dan akhirnya tumpah. Ujung jubah ia jadikan penyesap air mata. Beliau menangis tersedu-sedu. Goncangan tubuhnya menyiratkan kekecewaan

"Suharto kok dadi ngono? Padahal nek tak sawang, bocah kae apik"

Aku menunduk, menyesal dengan semua ucapan yang telah aku lontarkan, "Maafkan kalau apa yang saya ceritakan membuat panglima sedih"

"Kowe ora salah, Kun. Terusno..". Beliau menyuruhku jangan berhenti bercerita.

"Sedangkan bangunan didepan sana(kami telah mendatangi walau hanya sebentar) dibangun diera pemerintahan SBY"

"SBY? Siapa dia?"

"Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau berasal dari wilayah sini"

"Elok men?"

"Begitulah, Panglima. Setelah era reformasi, estafet kepemimpinan silih berganti. Siapapun berpeluang bisa memimpin republik ini"

Tas yang melingkar dibadan aku buka. Dua botol air mineral aku ambil. "Minum dulu, panglima". Aku putar dengan cekatan. Segera kuteguk. Kesegaran menghujam tenggorokan. Pria disebelahku mengamati kelakuanku. "Kenapa, panglima?". Dia hanya mengamati botol air. "Jamanmu makin membingungkan juga menakjubkan". Dia letakkan kembali botolnya. Wajahnya belum beranjak dari kesedihan. "Aku tidak haus".

"Permen?". Segenggam permen aku tawarkan, aku rogoh dari dalam kantong kecil. Aku sebar dihamparan batu hitam. Aku sobek satu lalu memasukkannya kemulut. Aroma kopi menguar tajam menganggu penciuman. Pria kurus menatapku, "Apakah perjuangan pendahulumu hanya dibalas dengan jualan air dan permen?"

"Bukan begitu. Jangan salah paham, panglima"

"Ceritamu tentang jaman Suharto memberi gambaran kalau kedamaian, pemerataan dan keadilan masih jauh dari harapan". Wajahnya muram. "Boleh minta permennya?". Bunyi sobekan menggelincir. Benda kotak aku sodorkan, meloncat ke mulut panglima. Mengulumnya, "Enak". Perubahan paras terlihat, tenang.

Tanpa kami sadari, keberadaanku  dengan Panglima Besar mengundang orang-orang sekitar tempat tersebut. Mereka memandang kami dari kejauhan. Mbok Sainem kasihan melihat polahku, "Mase ngomong dewe. Opo kesambet penunggu kene?"

"Sopo sing kondo dewek an?"(siapa yang bilang sendirian). Laki-laki tua muncul. Jalannya pelan, mendekati mereka. "Mase lagi omong-omong karo pak Dirman"

"Lho, mbah Redi".

"Dia beruntung bisa bertemu pejuang besar". Mbah Redi, pria berumur 83 tahun. "Aku ijek kelingan. Mbiyen simbokku masakke dinggo tentara sing neng omah kae"(aku masih ingat. Dulu simbokku memasak buat tentara yang di rumah itu). Tangannya menunjuk ke lokasi rumah gerilya. "Wektu kuwi umurku 12 taun, kerep kon ngewangi karo wong ndeso"(waktu itu umurku 12 tahun, sering disuruh membantu sama orang desa).

Sinar matahari mulai condong ke barat. Sorotnya kian lemah. Aku gelisah. Niatku ingin menyudahi perbincangan ini.

"Panglima, bagaimana kalau saya antar kembali ke markas?".

"Mengko dhisik. Aku ijek kepingin neng kene"(nanti dulu. Aku masih kepingin disini)

Waduh! Jemari tangan aku sapukan kekepala. Remasannya memberi tanda kalau aku kecewa dengan jawaban panglima.

"Hari beranjak sore, panglima". Aku mengingatkan.

"Kenapa kalau sore?"

"Saya ingin pulang", kataku. "Butuh tiga jamman untuk sampai ke Solo. Saya berharap sebelum maghrib sampai rumah"

Panglima menatap tajam. "Dulu kami berjuang tak kenal waktu. Diterjang peluru, mortir, hantaman mesiu. Kamu baru tiga jam perjalanan sudah buat alasan". Kata-kata itu menukik bagai sembilu menyasar relung hati. Aku malu. Aura kekecewaan tebersit dari wajah beliau. "Permenmu tak gowo"(permenmu saya bawa). Beliau meraup gundukan permen, memasukkannya ke kantong jubah. Berdiri pelahan, memegang tanganku menuruni undak-undakan. Mendatangi kumpulan orang-orang yang sedari tadi mengawasi kelakuanku. Semakin mendekat, kumpulan itu memundurkan diri. Mereka takut. Hanya mbah Redi yang tetap bergeming. Sikap hormat dia berikan pada panglima. Senyum tulus membalas pada pria tua itu.

Motor aku hidupkan. Panglima Besar Jendral Soedirman menempatkan posisinya seperti yang aku harapkan.

Rumah bayan Karsosoemito(sudah dipugar) yang dijadikan markas gerilya panglima besar Jendral Soedirman (Dokpri)
Rumah bayan Karsosoemito(sudah dipugar) yang dijadikan markas gerilya panglima besar Jendral Soedirman (Dokpri)

Motor melaju ringan kembali ke rumah gerilya. Orang-orang membuntuti karena jaraknya tidak jauh. Disana, rumah gerilya telah dikerubungi puluhan orang. Kabar tentang seorang pengunjung yang bertingkah aneh menarik perhatian. Kasak-kusuk menyambut kedatangan kami.

"Minggir, minggir". Peringatan meledak agar memberi jalan buat motorku. Standar samping aku turunkan dan segera panglima aku bimbing menuju tabir. Aku menyusur lekuk dapur. Tabir itu tidak ketemu. Kecemasan menggelayut kebingungan menusuk.

"Ketemu, mas?". Mbah Redi tahu-tahu telah disampingku, memahami kecemasanku. "Pas mau, neng ngendi panggone?"

"Ya disekitar sini, mbah"

"Sabar dhisik. Kadang tabir kuwi pindah sak geleme dewe. Coba tak ewangi nggolek i". Menelusuri rumah gerilya akhirnya, "Lha iki neng kene!". Teriakan mbah Redi mengagetkan kami. "Ada dikamar beliau. Tuntun ke sini, mas"

Segera kugandeng tangan panglima. Kamar itu berbau pengap karena lama tidak dibuka. Sempit.

"Cepat, jangan pakai lama", saran mbah Redi. "Ditakutkan tabir itu pindah lagi"

Salah satu ruangan rumah gerilya (Dokumen pribadi)
Salah satu ruangan rumah gerilya (Dokumen pribadi)

Sebelum berpisah aku peluk panglima besar. Beliau menatapku berkaca-kaca. Kedua tangannya memegang pundakku. Dengan mengucapkan bismillahirrohmanirrohim berdua menembus tabir. Kemudian aku meloncat cepat kembali ke asal. Aku kelelahan. Mbah Redi menyuruhku istirahat. Ternyata, kali pertama yang menemukan tabir di rumah gerilya adalah mbah Redi. Makanya dia tidak panik ketika orang-orang melihat tingkahku yang janggal. Mbah Redi sering menembus tabir. Cuma dia belum pernah membawa orang-orang di tahun 1949 ke masa sekarang. Ternyata hanya orang-orang tertentu yang diberi kemampuan menemukan tabir.

Aku pamit. Orang-orang menyalamiku. "Kalau ada waktu, sempatkan main lagi kesini, mas". Aku terharu dengan sambutan mereka, tapi aku tidak janji. Aku kuatir jika berkunjung kembali, tabir itu menampakkan diri. Dan ketika melongokkan kepala, yang aku jumpai Tjokropranolo. Itu tidak aku harapkan. Kuatir kapten jebolan PETA(Pembela Tanah Air) menghajarku karena telah menculik panglimanya. Karena aku tahu, karakter pria kelahiran 21 Mei 1924 itu sedikit temperamental.

Segera kutinggalkan dukuh Sobo bersama kebaikannya, bersama pucuk-pucuk pinusnya, bersama sapa ramah warganya. Lambaian tangan mengiringi deru motorku. Kupacu dengan putaran lembut melewati gerbang bertulisan "Kemerdekaan sudah digenggam, jangan dilepaskan"[]

Solo, 23 Februari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun