Sinar matahari mulai condong ke barat. Sorotnya kian lemah. Aku gelisah. Niatku ingin menyudahi perbincangan ini.
"Panglima, bagaimana kalau saya antar kembali ke markas?".
"Mengko dhisik. Aku ijek kepingin neng kene"(nanti dulu. Aku masih kepingin disini)
Waduh! Jemari tangan aku sapukan kekepala. Remasannya memberi tanda kalau aku kecewa dengan jawaban panglima.
"Hari beranjak sore, panglima". Aku mengingatkan.
"Kenapa kalau sore?"
"Saya ingin pulang", kataku. "Butuh tiga jamman untuk sampai ke Solo. Saya berharap sebelum maghrib sampai rumah"
Panglima menatap tajam. "Dulu kami berjuang tak kenal waktu. Diterjang peluru, mortir, hantaman mesiu. Kamu baru tiga jam perjalanan sudah buat alasan". Kata-kata itu menukik bagai sembilu menyasar relung hati. Aku malu. Aura kekecewaan tebersit dari wajah beliau. "Permenmu tak gowo"(permenmu saya bawa). Beliau meraup gundukan permen, memasukkannya ke kantong jubah. Berdiri pelahan, memegang tanganku menuruni undak-undakan. Mendatangi kumpulan orang-orang yang sedari tadi mengawasi kelakuanku. Semakin mendekat, kumpulan itu memundurkan diri. Mereka takut. Hanya mbah Redi yang tetap bergeming. Sikap hormat dia berikan pada panglima. Senyum tulus membalas pada pria tua itu.
Motor aku hidupkan. Panglima Besar Jendral Soedirman menempatkan posisinya seperti yang aku harapkan.
Motor melaju ringan kembali ke rumah gerilya. Orang-orang membuntuti karena jaraknya tidak jauh. Disana, rumah gerilya telah dikerubungi puluhan orang. Kabar tentang seorang pengunjung yang bertingkah aneh menarik perhatian. Kasak-kusuk menyambut kedatangan kami.