"Solo? Dadi kowe anak buahe Slamet Riyadi? Piye kondisi pasukanne?"
Aku terdiam. Ada penyesalan membekap pikiran. Aku melakukan blunder. Kenapa mengajak beliau ke era ini. Perasaanku sudah tidak enak. Kuatir kalau mantan guru Muhammadiyah ini akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Firasatku mendekati kebenaran.
"Saya bukan anak buah Slamet Riyadi"
"Jare seko Solo. Ngomong sing bener!"
Aku tercekik. "Semua ini gara-gara tabir, Panglima".
Dengan lugas aku jelaskan apa itu 'tabir' memakai serangkai kalimat sederhana. Beliau manggut-manggut. Matanya mengunci wajahku. Ada perasaan segan berhadapan dengannya. Aku berharap perkataanku mampu membuatnya paham.
***
Kegaduhan menyeruak di rumah bayan Karsosoemito yang dijadikan markas gerilya. Tjokropranolo kebingungan. Supardjo Roestam ketar-ketir. Suadi Suromihardjo blingsatan, marah besar.
"Siapa yang terakhir bersama pak Dirman!?". Tjokropranolo menyesal, kenapa dia tadi terlalu lama kencing. "Kita telisik sekitar tempat ini. Jangan sampai lewat", ucap Supardjo Roestam. Para pengawal panglima besar cemas berkepanjangan.
Sementara ditempat yang sama tapi dengan tahun berbeda, aku membujuk panglima agar mau melihat kondisi wilayah dimana dia bermarkas selama bergerilya. Mulanya beliau ragu. Tapi akhirnya luluh.
"Panglima naik dibelakang", kepalaku menoleh kesamping. "Pegangan pundak saya"