"Kalau saya berniat jahat. Sudah sejak tadi saya lakukan". Aku berargumen.
Kemarahannya menyurut. Apa yang aku utarakan menembus nalarnya.
"Coba panglima perhatikan sekitar rumah ini. Ada yang janggal tidak?"
Pandangannya menyapu. Sepi. Hanya decit burung bersahutan di deretan pohon samping rumah.
"Mana anak buahku?". Beliau cepat tanggap tapi bingung. "Nolly!... Nolly!". Teriakannya menyeret kupingku.
"Putra bupati Temanggung itu tidak akan mendengar panggilan panglima", kataku mengingatkan. "Perbedaan dimensi dan waktu memisahkan Panglima dengan para pengawal"
"Kowe ngomong opo? Soyo suwe malah mbingungke!"
"Mari saya jelaskan. Kalau sambil duduk bagaimana, Panglima?". Bokongku aku letakkan pada undakan tanah samping rumah. Panglima besar tetap njegegeg ugek-ugek. Bergeming. Kewaspadaan menyala. "Kemarilah, panglima. Duduklah disini". Aku tunjukkan tempat disebelahku. "Percayalah, saya bukan orang jahat". Usahaku berhasil. Beliau duduk disebelahku.
"Ayo jelasno. Kowe sopo lan ngopo nggeret aku"(ayo jelaskan. Kamu siapa dan mengapa menyeret aku)
Hembusan napas terlontar dari hidungku. Kedua tanganku menangkup. Jari menyilang kebibir.
"Saya Kuncoro. Asal Solo", ucapku